-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 13 Desember
2022
Orasi
Sastra Akhir Tahun:
Otonomi
Daerah dan Otonomi Sastra, Ada Apa?
Oleh:
Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan,
Kritikus Sastra)
Otonomi
Daerah: Menengok Masa Lalu
Lebih 30 tahun saya
berkiprah di dunia birokrasi pemerintahan. Banyak persoalan publik yang saya
benahi. Antara lain, meluruskan kebijakan pimpinan yang merusak citra
pemerintahan, menolak honorarium dari kegiatan projek fiktif, menjadikan moral
agama dan budaya sebagai referensi politik, serta membekali para guru dengan
ilmu seni mendidik melalui ungkapan-ungkapan To Riolo (baca: kearifan lokal).
Itu semua berlangsung
seiring peralihan sistem pemerintahan dari Sentralisasi ke Desentralisasi.
Sistem ini disebut Otonomi Daerah di era reformasi birokrasi (1998).
Di masa Sentralisasi,
tidak semua latar belakang pendidikan berhak diangkat dalam jabatan
pemerintahan. Yang dianggap mampu memimpin rakyat, hanya mereka yang tamat
jurusan Sosial Politik atau Administrasi Pemerintahan. Jurusan Sastra?
“Maaf, di Kantor Pemerintahan
tidak ada tempat
untuk berpuisi.”
Begitulah pikiran
miring pelaku birokrasi pemerintahan Orde Baru terhadap eksistensi dunia
sastra. Karena itu, di era Sentralisasi (sebelum Otonomi Daerah), pejabat yang
paling banyak menguasai lini birokrasi di Departemen Dalam Negeri adalah alumni
APDN (baca: berubah menjadi STPDN, kemudian sekarang menjadi IPDN).
Kekuasaan pemerintahan
saat itu terkonsentrasi di Jakarta. Daerah provinsi, kabupaten dan kota
hanyalah petugas operasional (mungkin, sejenis petugas partai?) dalam bingkai
kebijakan pusat.
Selama 30 tahun lebih
pemerintahan Orde Baru menguasai birokrasi pelayanan publik. Sistem
pemerintahan yang militeristik membuat banyak sarjana menganggur. Rekruitmen
pegawai, khususnya sarjana, diprioritaskan dari jurusan administrasi
pemerintahan, seperti APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) dan SOSPOL
(Sosial-Politik). Sisanya untuk jatah staf diambil dari sekolah menengah umum,
kejuruan dan teknis.
Untuk lulus Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS) saat itu pun tidak selalu mulus. Banyak syarat
dilalui, termasuk harus mengantongi surat keterangan Litsus dari Kantor SOSPOL
(sekarang, Kesbangpol?)
Saya sudah melewati
semua itu. Kebijakan di bidang Reformasi Birokrasi, memberikan kesempatan
kepada sarjana jurusan sastra, lulusan universitas, untuk mengabdi sebagai
Aparatur Sipil di Pemerintahan Daerah.
Praktik sistem
militeristik pun berangsur-angsur mulai berakhir. Sarjana sastra, hukum,
ekonomi dan keuangan sudah mendapat porsi yang memadai dalam penerimaan CPNS.
Itu terjadi ketika Presiden Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, red) merombak semua
regulasi birokrasi yang tidak fungsional, termasuk sistem penerimaan pegawai
yang dinilai tidak berkeadilan, sarat kolusi, suap dan nepotisme.
Otonomi
Sastra Terpasung Kolonialisme Sastra
Sejatinya, Otonomi
Sastra berjalan seiring dengan pelaksanaan regulasi Otonomi Daerah. Ternyata
tidak. Kebebasan bersastra di republik ini tercengkeram oleh kolonialisme
sastra yang dibentengi para pemodal dan kekuasaan birokrasi.
Perjalanan kreativitas
sastra di daerah-daerah dalam wilayah republik ini sangat memperihatinkan.
Semua jenis sastra beserta segenap perangkatnya (termasuk sastrawan dan
kritikus sastra) harus berkiblat ke Jakarta.
Tidak ada karya sastra
yang berkualitas tanpa melalui evaluasi Pusat. Kekuasaan sastrawan senior di
Pusat pun sangat kuat. Mirip kekuasaan kolonial di era sebelum Indonesia
merdeka. Banyak sastrawan yang dekat dengan birokrasi penentu kebijakan.
Separuhnya adalah pemilik media massa yang tersebar di seluruh Nusantara.
Sikap kolonialisme
sastra memaksa para sastrawan daerah ber-“kiblat” ke Jakarta. Kalau tidak,
jangan berharap akan terpajang karyanya di halaman budaya media nasional. Atau
paling tidak, jangan bermimpi akan tercatat namanya sebagai sastrawan dalam
sejarah sastra Indonesia.
Besar kemungkinan,
istilah “Presiden Puisi” dan “Panglima Puisi” yang pernah menjadi ikon
stratifikasi kepenyairan di tahun 1970-an, adalah situs peninggalan sejarah
kolonialisme sastra di masa lalu. Dan itu berarti percikan “Politik Etis”
Belanda melalui Balai Pustaka, masih melekat di zaman kemerdekaan.
Sekarang, di era
kebebasan kreatif, semestinya Otonomi Sastra di seluruh daerah mendapat tempat
yang mulia di negerinya sendiri. Kekuasaan persastraan di daerah berada di
tangan para sastrawannya sendiri.
Mereka bebas berkarya.
Cipta kreatif berupa puisi, cerita pendek, novel, drama, esai dan kritik sastra
adalah lahan yang luas untuk membangun moral dan karakter bangsa. Sastrawan
mengisi moralitas karyanya dengan nilai-nilai kearifan lokal, ilmu pengetahuan
modern, dan budaya universal yang ada di sekitarnya.
Satu pemandangan yang
sering membuat hati giris. Penghargaan sastra setiap tahun yang dilakukan oleh
lembaga dinas pemerintahan hanya berlaku bagi sastrawan-sastrawan yang dekat
dengan dapur birokrasi.
Umumnya, sastrawan
semacam itu adalah produk mesin kolonialisme sastra yang dianggap berkualitas
karena sering dimuat karyanya di media nasional.
Di era Otonomi Daerah
saat ini, Otonomi Sastra belum menampakkan wujudnya. Tingkat kualitas karya
sastra masih harus ditunjang sertifikasi pengakuan dari pusat. Karena itu,
tidak mengherankan apabila para penulis daerah merasa bangga apabila buku yang
dia tulis dibubuhi tanda tangan, apalagi kata pengantar, oleh sastrawan dari
pusat, Jakarta.
Otonomi
Sastra di Sulsel
Sudah saatnya para sastrawan
di daerah ini (Sulawesi Selatan, red) bangkit menampakkan aura kekuatannya sendiri.
Apabila di tahun-tahun sebelum era reformasi, dunia persastraan masih dicekam
oleh perilaku kolonialisme sastra, itu bisa dimaklumi. Karena modus operandi
pengembangan bahasa dan sastra saat itu bergantung pada power birokrasi yang
mengendalikan kebijakan umum literasi nasional.
Praktik kolonialisme
sastra di masa lalu sudah wajib kita tinggalkan. Kita harus berkomitmen bahwa
derajat penciptaan dan kualitas hasil sastra yang kita hasilkan, sama seperti
sastra yang ada di Jakarta. Bahkan, dapat diyakini bahwa kadar kesusastraannya
tidak lebih rendah dari pada karya sastra yang telah mendapat penghargaan dari
Lembaga Pemerintah.
Keyakinan seperti ini
harus tumbuh secara sadar di hati masyarakat, tentu melalui keterlibatan Pemerintah
Daerah. Bentuk keterlibatan dimaksud ialah peningkatan kemampuan literasi di
sekolah dan penyediaan anggaran kegiatan sastra melalui APBD Provinsi,
Kabupaten dan Kota.
Membangun
Sinergitas Kerja Literasi
Membangun komitmen,
harus dilandasi kesadaran bersama akan pentingnya pemajuan nilai-nilai sastra
bagi pembangunan karakter masyarakat. Dialektika (baca: komunikasi dua arah)
antara sastrawan dan pemerintah perlu dibangun.
Caranya tidak sulit.
Pemerintah Daerah membuat program literasi setiap tahun dengan melibatkan
masyarakat sastra. Salah satu wujud keterlibatan sastrawan di dalam program
pemerintah yaitu ikut membangun daerah (lebih luas lagi, membangun karakter
bangsa) melalui karya berkualitas. Pemerintah berwenang mendukung upaya
penerbitan dan pengadaan buku-buku sastrawan lokal untuk mengisi perpustakaan
daerah.
Di sisi lain, pihak
kampus tidak boleh vakum. Penelitian, pengembangan dan pelestarian karya sastra
di daerah harus terus dilakukan. Perguruan tinggi yang membuka jurusan ilmu
bahasa dan sastra memiliki tanggung jawab akademis terhadap kajian sastra.
Menghadirkan budayawan
atau sastrawan nasional dari luar daerah, bukanlah sesuatu yang tabu. Namun
demikian, sumber daya lokal pun perlu dilibatkan dalam forum-forum pembicaraan
sastra.
Para budayawan dan
sastrawan daerah, tentu lebih mengerti dan sangat memahami filosofi kultural
yang terhimpun di dalam kearifan lokal masyarakatnya sendiri.
Komitmen membangun
sinergitas literasi-sastra, sebagai sokoguru mencerdaskan bangsa, adalah derap
strategis mewujudkan cita-cita mulia kemerdekaan RI di bidang pendidikan
nasional.
Oleh karena itu, mari
kita mengetatkan simpul sinergitas kerja-kerja literasi antara sastrawan lokal,
Pemerintah Daerah dan dunia kampus. Sinergitas ini akan mampu menjawab
pertanyaan judul di atas: Otonomi Daerah dan Otonomi Sastra, ada apa?
Demikian. Salam Sastra
dan Salam Reformasi! ***
Makassar, 13 Desember
2022