Puisi satire adalah puisi yang berisi sindiran halus atau kritik kepada penguasa atau orang yang memiliki kedudukan (jabatan).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2022), satire diartikan sebagai gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang.
-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 12 Desember 2022
Sumpuna
Satire
Oleh:
Maman A Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi,
Budayawan)
Dinukilkan dalam tajuk salah
satu koran harian nasional (2022), satu cara terbaik untuk mengekspresikan
kemarahan terhadap seseorang adalah sarkasme. Cara unik yang bisa kamu gunakan
adalah gaya bahasa sindiran dengan pantun nasehat yang lebih halus,
tetapi tetap membuat orang tersebut tersinggung.
Cara ini telah menjadi
fenomena yang tersebar luas di masyarakat. Ini adalah bentuk pembalasan
terhadap orang-orang yang telah bertindak terlalu jauh dalam melakukan atau
mengatakan sesuatu yang dianggap melanggar.
Melalui sindiran, dia
bisa menarik perhatian orang-orang yang membaca kelakuan buruknya. Lemparkan
beberapa sindiran dan kamu akan merasa nyaman dan tenang.
Ada banyak jenis
sindiran yang bisa diungkapkan, seperti salah satunya menggunakan pantun.
Pantun ini secara tidak langsung dapat menyampaikan ucapan unek-unek dalam
pikiranmu.
Terutama tanpa kamu
harus khawatir membuat masalah baru karena pantun bisa terkesan lebih luwes dan
candaan. Berikut ini contoh pantun sindiran yang bisa kamu gunakan untuk
menasehati atau menyindir orang yang melakukan kesalahan dan sebagainya, di
antaranya sebagai berikut.
Obat
tabib sangat manjur
Badan
sakit ditutup selimut
Kusangka
teman yang jujur
Rupanya
musuh dalam selimut
Raja
membangun satu dinasti
Jangan
ada yang mencelakai
Lain
di mulut lain di hati
Berteman
hanya melukai
Hidup
bahagia karena iman
Nafsu
maksiat akan terkekang
Bagaimana
disebut teman
Dia
menusuk dari belakang
...
Pantun sindiran di
atas, tentu berbeda jenis dengan syair puisi sindiran yang dikategorikan nama
barunya dengan istilah satire dalam aliran puisi bersifat kontemporer.
SATIRE
Satire diartikan
sebagai gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran
terhadap suatu keadaan atau seseorang. Puisi Satire berisi sindiran halus,
seperti contoh berikut ini. Sebagaimana Oleh Lathifa Rulia Sadyyah dalam
Dkatadata (2022), dengan menulis puisinya, yakni.
Kau
Menang Dalam Hati
Kecil
hingga Besar kau mencari keberhasilan
Bodoh
hingga Pintar kau merangkai kesuksesan
Kau
gores dengan noda yang pilu
Demi
sekejap kenikmatan yang tabu
Kepala
demi Kepala menunggumu di belakang
Mengais
sedikit sumbangan untuk sesuap nasi
Tidakkah
kau terlalu melambung
Melampaui
batas kerendahan hati
Dahulu
kau cari mereka semua
Dahulu
kau berjanji kepadanya
Dahulu
kau susah payah bersama
Tapi
sekarang Kau buang kami seperti tidak ada
Kemarin
kau termangu seperti orang tak punya arah
Hari
ini kau tersenyum seperti orang hebat
Besok
kau akan menggongong di depan pasrah
Lusa
kau akan masuk kedalam hutan yang penat
Kau
berlari amat jauh seperti maling
Kau
tidak tentram seperti angin topan
Semua
itu kau rasakan sebagai balasan
Yang
Maha Kuasa tentu akan melarang
Esensi puisi di atas
ini, tentu terkesan agak halus, namun sangat dalam bila dimaknai dengan logika
kecerdasan, maka sangat menohok kepada pihak yang dituju oleh penulisnya
bersifat satire.
Puisi
satire adalah puisi yang berisi sindiran halus atau kritik
kepada penguasa atau orang yang memiliki kedudukan (jabatan).
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI, 2022), satire diartikan sebagai gaya bahasa yang
dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan
atau seseorang.
Sedangkan dikutip dari
laman Pelajaran.co.id, (2022), satire berasal dari bahasa latin yaitu
satura yang berarti kritikan atau kecaman tajam terhadap suatu
fenomena; dan tidak puasnya hati suatu golongan (pada pemimpin yang zalim).
Lebih singkatnya,
pengertian Satire adalah salah satu jenis puisi baru yang berisikan sindiran
atau kritikan. Sebagaimana puisi Lathifa Rulia Sadyyah, di atas dalam Dkatadata
(2022).
Namun, masih ada lagi
bentuk pantun dan syair puisi bersifat lokal yang belum diangkat di permukaan,
bahkan kesan pesannya pun tidak kalah dibandingkan dengan puisi bersifat satire
bersifat akademis juga. Di antaranya, sebagaimana diluncurkan oleh saya pada
tautan facebook (10/12/2022), tentang “Sumpuna atau boleh diartikan ujungnya”
dan diksi syair pepatah berbahasa Bima.
SUMPUNA'
Kemarin, ada yang japri
saya di whatsapp berisi pepatah bahasa Bima. Walaupun, saya_orang asri
ndeso, masih belum juga dapat memaknainya secara maksimal_ mengenai diksi
berikut ini.
*_Kambae ja'ku sumpuna'
ma sampula sampangké si
ro londo cowa
kukukekômū
aîjänā ndi 'supu hompa
ro ndi cumpu kai nawa
menamu
kone ndi ncai ma rombo
ntiri
_au wali ndi dana ma
dembi
ma ncempa ro made
ncangkiku
mbune sumpa huni lambo
afu_
Peas_si ndi aina ma
kento
kone sahe ma keceiku
Syehe
ro mbote mákaruma
mbatuku*
....
Diksi syair di atas,
memang terkesan sederhana dilantunkan. Namun, bisa multi tafsiran dan punya
makna berkesan filosofis untuk saling mengingatkan satu sama lainnya dengan
lirikan sindiran gaya satire.
Bahkan saya kurang
terlalu memperhatikan, sekalipun kejaprian ini bukan ditujukan ke saya, namun
kepada pihak kurang elok dan wajar dalam melakoni kekuasaan dan kekeluargaan
yang bertetangga di sana.
Kemudian saya
menggoreskan di akhir kalimat, dengan diksi karena saya bukan ahlinya, semoga
ada ahli pantun Bima yang berkenan membantu memaknainya!
Selanjutnya, muncul
beberapa like dan komentar, baik tidak maupun diminta, di antaranya berikut
ini.
Oleh Irwan Ompu Wali,
berkomentar
"Sungguh dalam
maknanya, bahkan ke tulang sum-sumnya". Lalu, saya balas "Oh gitu,
tolong diartikan dong ?", kemudian dibalas: "heheehehehee ... panjang
dan perlu satu buku ntar, kalau diartikan🙏__. Walaupun, jawaban koment
saudara Irwan yang terakhir ini agak terkesan apologi dan lebay karena
sesungguhnya dalam ketakberdayaannya untuk memaknainya.
Selanjutnya, saya balas
agak santun melupakan ke_lebay_an saudara Irwan. Kalau begitu bung Irwan, kita
colek kepsek Mutlak Dodobi, dinda Apen Makese, Satria Madisa , dan Habib Sahrul
sebagai ahli dalam pemaknaan diksi ini.Semoga beliau2 berkenaan untuk membantu
memaknainya_🤝.
Kemudian, hampir
menjelang malam, lalu muncul komentar Habib Sahrul; _apalagi mada, kanda.
Selalu merasa perlu mengkaji lebih dalam terkait tulisan yang penuh sindiran
semacam itu. Nuansanya nuansa dendam, ditulis agar si penerima geram dan merasa
tersungkur lebih dalam. Mada pikir tidak ada alasan untuk merespon kiriman
berbau sindiran semacam itu, jika begitu tujuan si pengirim, kanda. Terlebih
lagi mada tidak terima dengan sikap orang itu yang merasa lebih dan sok tau._
saya merasakan getaran rasa empantinya yang berkemanusiaan sangat tinggi dari
diksi komentarnya dari dinda Habib, dia kira goresan syair tersebut ditujukan
kepada saya.
Dan saya membalas
komennya, Kesannya, mungkin demikian dinda Habib Sahrul, namun saya hanya
melihat dari sisi nilai seni sebagai kreativitas logika berpikir. Sekalipun,
mungkin agak menohok secara argumentatif bersifat negatif, tetapi dalam kajian
keilmuan secara kritis mesti objektif, boleh saja dianggap berkesan negatif dan
dapat juga bermuara positif.Tks.
Coment di balas oleh
Habib lagi,__mada tidak ingin orang bebas mengirim hujatan terhadap orang yang
membesarkan nama Doridungga. Di sisi lain Ita adalah guru bangsa. Guru bagi
kami generasi berikutnya.
Walaupun, mungkin kesan
komentar dinda Habib ini, saya anggap berlebihan mengenai diri saya, tetapi
terasa wajar karena rasa bersifat empati sebagaiman saya diksikan di awal
komentarnya tadi, dikira muara goresan syair japrian itu ditujukan kepada diri
saya. Kemudian, saya balas *__Dinda Habib Sahrul, Kontennya, bukan jua
diarahkan kepada saya, tetapi ada pengantar japrinya, namun saya tak
menampilkannya di tautan fb.
Semoga, insya Allah ada
waktu saya goreskan dengan analisis agak lebih luas di media online nanti. Dan
itu sehingga saya minta tanggapan dari dinda semua, supaya memperkuat data
analisa dalam sisi yang berbeda, berdasarkan kadar logika masing-masing__tks*
Selanjutnya, muncul
komentar dari jurnalis muda dan demonstran pendombrak, dinda Satria Madisa:
Berat ini kanda Dr. __Berat untuk dicerna.. lalu saya berkomentar *Oh gitu,
dinda Satria Madisa
Saya pun kurang
maksimal memaknainya.__Tks*.
Selanjutnya, tampil
penyair muda yang sangat berbakat alami, dinda Apen Makese,
berkomentar__Bait-bait yang tidak asik untuk dibaca secara serius, tapi bagus
untuk dicerna dengan baik ini, bang. Tak elok untuk dideklamasikan di muka
umum. Kalau dilihat sebagai seni, sajak-sajak begini rasanya prospektif,
apabila memiliki ruang yang khusus.🙏
Dan saya bebalas
komentar dinda Apen Makese, lebih kurang begini,
Dinda Apen, Saya agak
setuju dengan pesan logis disampaikan oleh dinda penyair muda yang berbakat ini👌dan saya
berharap semoga dinda untuk dapat melanjutkan studi lagi.
Tetapi, diksi begini
kita mesti mengkajinya sehingga esensinya aga tajam di dalam berkarya seni.
Boleh saja berbeda muaranya, akan mengarah kepada sifat negatif maupun positif,
namun dimensinya tetap menyejukan dan mencerahkan, dengan tanpa meresahkan.
Dan semua komentar ini
pun, semoga saya bisa mendesain dengan goresan yang bisa berkesan positif,
insya Allah__🤝Tks*
Lalu, dinda Apen Makese
membalas dengan diksi logisnya; Siap, ta bang. Diksi semacam ini tergantung
bagaimana polesan barangkali, bang. Kalau dibaca di ruang Stand Up Comedy akan
berbeda penerimaannya. Kalau dikaji sebagai satu seni dan sastra, mada kira
kekuatan pesan dan maknanya lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan kata-kata
atau bahasa yang digunakan sebagai pengantar dari tujuan atau maksud yang
ditujukan oleh penulis. Ini hanya pendapat mada ta, bang. Lembo ade ita, sehat
dan sukses selalu.🙏__
Saya pun, follow_nya
dengan Ok, dinda Apen Makese, Tks
Terlepas dari muncul
komentar beragam pro-kontra rasa empanti mengenai kehadiran japrian syair
bersifat satira berbahasa Bima di atas. Namun, kehadiran karya sastra berupa
puisi atau pantun yang menjamuri media sosial yang semakin liar dan
berkeliarannya, baik bersifat kritis teologis maupun apologistis tanpa
beraturan satiranya, __mesti dikaji untuk menemukan solusi dengan kesehatan
pikiran akademis pula. Tidak mesti dikutuk atau dibekukan, seiring kemajuan
teknologi media sosial bah limbah dalam rimba belantara, dan yang semakin
merobek nurani kesantunan logika brilian bersifat akademis kemanusiaan.
Semoga, dengan muncul
karya karya berimbun rimba berantara, akan membuka ruas logika para akademis,
untuk mengkaji lebih tajam. Sesungguh ilmu kreatif dalam berkarya dapat lahir
besifat alami__tanpa mesti melalui formalitas linieritas kekakuan beku gaya
mesin administratif bank akademis I do semata.
Dan semoga kesan
dilakoni oleh para pengrajin berkerajaan akademis selama ini, tidak bermuara
hanya Sumpuna Satire pula.
Wollahu'alam
..
UHAMKA Jakarta, semoga
tetap berjaya__