DIALOG AKHIR TAHUN. Suradi Yasil (paling kanan) tampil sebagai pembicara bersama Kritikus Sastra Mahrus Andis (paling kiri) dan Ketua DPP IPMI Muhammad Amir Jaya), pada Dialog Akhir Tahun bertema “Prospek Menulis dan Dakwah 2023” yang diadakan DPP IPMI, di Perpustakaan Terpadu Kampus Poltekkes Kemenkes, Jl. Monumen Emmy Saelan III, Makassar, Jumat, 23 Desember 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)
-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 27 Desember
2022
Catatan
dari Pengukuhan Pengurus DPP IPMI dan Dialog Akhir Tahun (2):
Suradi
Yasil Doktor di Usia 73 Tahun, Tetap Menulis di Usia 77 Tahun
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Usia kalender itu hanya
angka. Usia kalender tidak ada hubungannya dengan pemikiran dan aktivitas
seseorang. Orang yang usianya sudah lebih 70 tahun, tidak harus menghabiskan
waktu menunggu kematian.
Malah sebaliknya, orang
yang sudah pensiun sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan sudah berusia lebih
dari 70 tahun, tetap bisa berkarya, menulis karya-karya sastra, menulis buku,
bahkan meraih gelar doktor.
Dan itu terjadi pada
diri Suradi Yasil. Pria kelahiran Limboro, Kecamatan Limboro, Kabupaten
Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, 11 Mei 1945, masih tetap aktif
menulis, masih tetap aktif berkarya, dan bahkan masih tetap tampil sebagai
pembicara pada kegiatan diskusi.
Suradi Yasil tampil
sebagai pembicara pada Dialog Akhir Tahun bertema “Prospek Menulis dan Dakwah
2023” yang diadakan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Penulis Muslim Indonesia
(IPMI), di Perpustakaan Terpadu Kampus Poltekkes Kemenkes, Jl. Monumen Emmy
Saelan III, Makassar, Jumat, 23 Desember 2022.
Ia tampil bersama
kritikus sastra Mahrus Andis dan Ketua Umum DPP IPMI Muhammad Amir Jaya, pada
acara dialog akhir tahun yang dirangkaikan soft launching buku “30 Tahun,
Sebuah Rahasia” karya Sri Rahmi (Anggota DPRD Sulsel), dan pengukuhan pengurus
DPP IPMI Periode 2023-2027.
Suradi Yasil meraih
gelar doktor dalam bidang ilmu linguistik dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, pada 18 Mei 2018, dalam usia 73 tahun.
Tentu saja langka.
Jarang terjadi. Dan Suradi Yasil belum juga berniat pensiun. Ia tetap menulis.
Dan satu lagi, ia ingin menghafal 30 juz Al-Qur’an sebelum ajal menjemputnya.
“Saya ingin tinggalkan
sejarah, khususnya kepada anak cucu saya, bahwa saya terus belajar, sekolah,
menulis dan berkarya hingga hari tua,” kata Suradi menjawab pertanyaan salah
seorang peserta dialog akhir tahun.
Tentang tema dialog
yakni “Prospek Menulis dan Dakwah 2023”, ia mengatakan, secara pribadi dirinya
tidak lagi melihat prospek.
“Saya tidak melihat
prospek. Saya menulis saja, tapi (penulis) yang muda, butuh prospek,” kata Suradi
yang menjadi ASN Guru SMEA Negeri Tinambung, Polewali Mandar (1969-1977), serta
Peneliti pada Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar 1977 sampai
pensiun tahun 2001.
Secara akademik, Suradi
memperoleh gelar Bachelor of Arts (BA) dari Jurusan Sastra Timur, Fakultas
Sastra, Unhas, tahun (1968). Kemudian meraih
gelar Sarjana Kesusastraan Indonesia, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya
Unhas tahun 1978. Selanjutnya, merah gelar Magister Ilmu Komunikasi Unhas tahun
2009, dan meraih gelar Doktor Ilmu Linguistik Unhas tahun 2018.
Dengan latar belakang pendidikan
dan pengalaman yang dimiliknya, Suradi pernah menjadi dosen tidak tetap pada
Fakultas Sastra Unhas, dengan mengampu mata kuliah Kesusastraan Mandar.
Sejak tahun 1960-an,
Suradi sudah banyak menulis cerita pendek (cerpen) dan puisi yang dimuat di beberapa
media massa, dan kemudian bergabung menjadi Anggota Penulis Buku Kesusastraan
Indonesia di Sulawesi Selatan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Depdikbud, Jakarta (1984).
Buku-buku yang terbit
dan termasuk penulis di dalamnya antara lain “Di Tengah Padang Ilalang” (kumpulan
puisi Lingkungan Hidup, WALHI, Jakarta, 1991), “Misteri Sihir Hutan” (kumpulan
puisi) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Misterious of
the Enchantment’s Forest”, oleh WJK Liotohe, dang beredar di kalangan LSM / NGO
dalam dan luar negeri.
“Orang yang sudah pensiun, ketika mengisi kolom pekerjaan di KTP atau yang lainnya, biasanya menulis pekerjaan pensiunan. Pensiunan itu bukan pekerjaan. Kalau saya, di kolom pekerjaan saya tulis pekerjaan pengarang,” ungkap Suradi. (bersambung)
-----
Tulisan bagian 3:
Berdakwah dan Menulis Butuh Kecerdasan