------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 28 Desember 2022
Tuhan
Sendu_Mu
Oleh:
Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi,
Budayawan)
Memang dunia ini,
bersifat senda gurau dan kesan idiomnya bersandiwara_dan memang telah
dinyatakan jelas oleh Allah di dalam QS Ankabut, ayat 64, yang artinya:
“Dan kehidupan dunia
ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat
itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.”
Ayat di atas,
dinukilkan di dalam Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili (2016,
cet.2), pakar fiqih dan tafsir Negeri Suriah, beliau menjelaskan esensinya,
adalah mesti dipahami dengan logika yang sesungguhnya dan dimaknai, bahwa
kehidupan dunia ini tidak lain kecuali seperti hiburan dan permainan anak-anak.
Mereka bertemu dengan
kiamat kemudian mereka terpisah-pisah. Sesungguhnya kehidupan rumah akhirat
adalah kehidupan hakiki yang abadi, tidak akan hilang, karena tidak ada
kematian setelahnya.
Jika, mereka mengetahui
hal itu, sungguh mereka tidak akan mengunggulkan dunia atas akhirat.
Sekalipun, idiomnya
hanya tersiratkan dunia ini ‘senda gurau dan permainan’ atau bersandiwara guna
dilakoni oleh aktor-aktor Bani Adam yang bersettingan latar panggung layar
lebarnya. Namun, bukan jua untuk dinikmati berlebihan semau gue I do dengan
berakting fatamorgana pula, __berhingga meresahkan sendi nadi kehidupan
bersama.
Di sini, indahnya
dianugerahi logika pikiran dan nurani oleh Tuhan guna menimang keseimbangan
nilai kehidupan. __ Dunia dan akhirat mesti ditimang seirama antara gelora
perbedaan nilai rasa satu sama lainnya.
Maka, esensi perbedaan
nilai rasa dalam fiqh agama secara fardu kifaya sehingga ada pembagian tugas
antara Bani Adam agar tidak monoton dan juga tidak dimonopoli secara individualistik
saja.
Fardhu kifaya
berselaras, baik ibadah atau aktivitas nyata yang wajib dilakukan, namun ketika
sudah dilakukan oleh yang lain, maka kewajiban itu pun gugur. Sekalipun, domain
bersifat hiburan atau pekerjaan bertata kerumahtanggaan berhingga
ketatanegaraan yang beragam langgam recehan dimainkannya.
Di sini letak dinamik
untuk saling menghargai, saling asah, asuh dan asih sehingga yang lain tidak
terluka rasa batin jiwa raganya, di dalam memainkan sandiwara dunia ini__ nan
fana penuh fatamorgana.
Kalaulah, kesendagurauan
berlebihan dalam ocehan recehan rabun ayam yang berasas selera. Lalu, kemudian
ngocehin jangan terlalu serius menjalani kehidupan dunia ini _mesti dinikmati.
Mungkin itu, ngocehan memang ada benarnya, namun hal itu seakan melupakan
dimensi keberadaan fardhu kifaya dan penekan terakhir dari anak kalimat
QS Ankabut ayat 64 di atas.
Manakala demikian,
menjadi prinsipil ocehan bagi Bani Adam, maka boleh jadi diksinya
diindikasikan, ia terlalu takabur tanpa meyakini lagi pesan Tuhan pada Ayat
Ankabut dimaksudkan di atas ini.
Nilai rasa takabur
melampui pesan ayat Ankabut pun, mungkin tidak jauh beda dengan sifat arogansi.
Selalu berdomain pada
dimensi arogan merupakan sifat yang dikesankan tidak terpuji, beraroma selalu
menyombongkan diri. Berkarakter demikian, selalu diidentikkan dengan memiliki
niat untuk menguasai semua hal, demi memenuhi keinginan diri sendiri atau
kelompoknya saja.
Menganggap diri dan
kelompoknya lebih baik dari orang lain. Sekalipun, berasesoriskan keagamaan
yang melengket dan menempelin tubuhnya.
Padahal aksesoris rasa
kesombongan, justru akan membakar diri sendiri_baik di dunia maupun akhirat nan
menanti dengan setia_ hanya soal waktu bertakbiran dan bersalaman__
Kalau demikian salaman
menjadi gincu aksesoris dalam berkarakter Bani Adam, maka hal itu telah mengkhianati
pesan Tuhan-nya yang menciptakannya. Boleh jadi esensi lalat pun lebih unggul
dibandingkan aksesoris kesombongan Bani Adam.
Maka, tantangan Tuhan
dalam menggelitik logika yang berpikir waras pun akan bersemanyam dalam
dirinya, sebagaimana di QS Al Hajj ayat 73, __yang artinya,
“Dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari
lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah.”
Mungkin, ibrar fardhu
kifaya makhluk sebagai Lalatan akan lebih bermakna, dan lebih mengerti makna
kehidupannya. Sekalipun, lalat berumur 28 hari, namun tidak menyia-nyiakan
melahirkan belatung, dan sebagai pengabdiannya kepada Tuhannya tanpa takabur.
Mungkin juga lalat
bersenda gurau berlebihan dalam mengoceh yang bersifat arogansi tak berguna,
namun tidak berlebihan seperti Bani Adam merasa lebih dari yang lain. Bahkan,
sebagian Bani Adam telah merampas mandat bersifat keiblisan yang telah dikutuk
oleh Tuhan__atas ocehan kesombongan dikarenakan tercipta dari nyalanya api.
Kalau demikian, mungkin
tidak terlalu keliru, manakala nyala api ocehan sendu gurau berlebihan menjadi
bagian penting sebagai salah satu permintaan iblis, dan untuk ditangguhkan
kehidupankannya dunianya hingga kiamatan bertakdiran.
Supaya Bani Adam dapat
digoda dengan kenikmatan senda gurau, dan dapat melupakan esensi sebagai mukmin
yang berkeyakinan di antaranya pada QS. Al Mukminun ayat 3 yang artinya;
“... dan orang-orang
yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.”
Memang dunia ini mesti
dinikmati dengan kadar kelenturan yang berguna dan berdampak kebun firdausin
keakhiratan. Tanpa menafikan fardhu kifaya hiburan berdimensi serasi antara QS
Ankabut ayat 64 dan al Mukminun ayat 3, sehingga tidak terkesan arogansi.
Akibat melampaui batas
ocehan bersenda gurau hingga melumpuhkan pesan Tuhan, dikarenakan telah mengambil
alih tugas kerorganasian keiblisan. Berhingga, tidak terasa menggiring ocehan
hingga mempertuhankan senda guraumu, __tanpa berasaskan logika memadai pula.
Apalagi ocehan berdasarkan logika rasa iri berdaki kedengkian yang
dipertuhankan pula.
Bertuhan
Kedengkian
Kalau hanya sekadar
untuk memuaskan rasa naluri nafsu kedengkian kepada orang lain, tidak ada
gunanya di hadapan Tuhan.
Bahkan, hanya
menambalin beban batin yang dapat melumati jantung berhingga maut kematian, _
lebih dahsyat kesadisannya sebelum takdir sesungguhnya bertakbiran untuk diri
sendiri_🔥
Walaupun, QS
Al-Hujuraat: 12 telah diindahkan dengan terang dan nyata, sebagaimana artinya__
“Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,_
Sesungguhnya sebagian
prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang
lain__
dan janganlah sebagian
kamu menggunjing sebagian yang lain.
Sukakah salah seorang
di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah
kamu merasa jijik kepadanya.
Dan, bertakwalah kepada
Allah.
Sesungguhnya, Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”__
Namun, esensi domain
kesan diksi di atas ini, hampir punah dan buram plus rabun ayam, baik dalam
dimensi institusi pendidikan berkarakter didesain maupun pada lantunan orasi
mimbar agama berperilaku nyata di lapangan.
Bahkan domain dekil
dalam kedengkian telah menaburi, baik di institusi pendidikan maupun labelan
keagamaan yang gamang dalam realitas berkenyataan__
dan akibatnya,
berhingga akar rumput hingga pelosok pun tercerabut, __terhinggapi kebrutalan
dalam keliaran rasa dengkinya dipertuankan.
Bahkan, rasa kedengkian
dipertuhankan demi kepuasan naluri nafsu arogansi sendumu, sekalipun bernilai
sampah neraka di hadapan Tuhan.
Wallohu a’lam bissawab
-----
UHAMKA Jakarta tetap
jaya
dan unggul tanpa ingkar
janji