PEMILU TERBUKA. Pemilu sistem proporsional terbuka mungkin tetap diberlakukan pada Pemilu 2024 nanti, sehubungan adanya 8 Parpol peserta Pemilu yang melawan PDIP yang menghendaki diberlakukannya sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024 mendatang.
-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 10 Januari 2023
OPINI
Apa
Salahnya Pemilu Sistem Proporsional Terbuka atau Tertutup
Oleh:
Achmad Ramli Karim
(Pengamat Politik &
Pemerhati Pendidikan)
Pemilihan Umum (Pemilu) pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat melalui Pemilu, dan pertamakali dilaksanakan pada tahun 2004.
Kemudian pada tahun
2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga dilakukan
melalui Pemilu, berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Pemilu.
Pemilu ini menggunakan
sistem proporsional terbuka, yaitu sistem perwakilan proporsional yang
memungkinkan pemilih (rakyat), untuk turut serta dalam proses penentuan urutan
Calon Anggota Legislatif (Caleg) yang akan dipilih.
Sistem ini berlawanan
dengan sistem proporsional tertutup. Selain itu, sistem proporsional terbuka
mengizinkan pemilih untuk memilih individu dari partai yang dikehendaki.
Pilihan yang diberikan oleh pemilih, disebut pilihan preferensi.
Entah kepentingan apa
dan pihak mana yang diuntungkan di balik wacana mengembalikan sistem
proporsional tertutup, yang pernah mengokohkan Partai Golkar sebagai partai
penguasa di masa Orde Baru selama 32 tahun.
Sistem proporsional
tertutup adalah penentuan calon legislatif yang terpilih bukan atas dasar suara
yang diperolehnya, akan tetapi mengacu pada dasar perolehan suara partai
politik (parpol) yang mencalonkannya.
Dengan kata lain, jika
pemilih (rakyat) memilih salah satu calon anggota legislatif (DPR, DPRD), maka
suara tersebut otomatis menjadi suara Parpol yang mengusungnya. Sedangkan
penentuan Caleg terpilih, berdasarkan nomor urut Caleg tersebut jika suara Parpol
yang mencalonkannya mencapai ambang batas kursi.
Pemilih hanya diminta
untuk memilih tanda gambar atau lambang partai, dan bukan memilih nama Caleg
sebagaimana dalam sistem proporsional terbuka.
Menilik kembali
sejarahnya, sistem proporsional tertutup sudah diterapkan sejak pemerintahan
Orde Lama. Muhammad Nizar Kherid dalam bukunya yang berjudul “Evaluasi Sistem
Pemilu di Indonesia 1955-2021” menjelaskan desain proporsional tertutup kala
itu membuat sistem politik menjadi demokrasi terpimpin.
Hal inilah yang
kemudian memberi porsi kekuasaan yang lebih besar kepada eksekutif, sedangkan
di masa Orde Baru, sistem proporsional tertutup berdampak pada menguatnya
sistem oligarki kepartaian, sehingga desain ini dianggap mengikis nilai-nilai
demokrasi.
Lebih-lebih sistem Pemilu
di masa Orde Baru melahirkan hegemoni Parpol besar seperti Golkar. Akibatnya
hubungan partisipasi dan aspirasi publik makin sempit, yang berlangsung selama
enam periode Pemilu.
Bahkan saat Presiden
Soeharto lengser pada 1998, sistem proporsional tertutup masih digunakan pada
Pemilu 1999 lewat UU No. 3 Tahun 1999, sedangkan sistem proporsional terbuka
baru diberlakukan pada Pemilu 2004 melalui UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu,
dan diterapkan sampai sekarang.
Dan mungkin tetap
diberlakukan pada Pemilu 2024 nanti, sehubungan adanya 8 Parpol peserta Pemilu
yang melawan PDIP yang menghendaki diberlakukannya sistem proporsional tertutup
pada Pemilu 2024 mendatang.
Gugatan PDIP ke-
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengembalikan sistem proporsional tertutup,
menimbulkan kecurigaan publik. Apakah PDIP ingin menggantikan posisi Golkar yang
pernah menjadi partai penguasa di masa Orde Baru, atau ingin membangun poros
kekuatan politik oligarki yang semakin kuat?
Sebab tidak menutup
kemungkinan dengan dukungan oligarki, daftar urut caleg 1-5 semua partai dapat
dikuasai.
Sistem proporsional
tertutup adalah salah satu sistem perwakilan berimbang, dimana pemilih hanya
dapat memilih parpol secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat Caleg.
Sistem proporsional tertutup kian santer diperbincangkan menjelang pelaksanaan
Pemilu 2024.
Penulis beranggapan,
bahwa mengantisipasi gejala dan kekurangan dalam pelaksanaan Pemilu, tidak bisa
dibenahi dengan mengganti sistem yang digunakan. Akan tetapi ukurannya pada
jawaban dari pertanyaan; Pemilu dilaksanakan untuk apa dan kepentingan siapa?
Karena hal ini sangat
menentukan tujuan dan sasaran dari Pemilu itu sendiri. Begitu pula niat awal
melakukan seleksi calon penyelenggara Pemilu, baik KPU dan Panwas, maupun Bawaslu.
Apakah untuk mewujudkan
pemilu berkualitas dan jurdil, ataukah untuk menjaring person yang memiliki
kompetensi yang bisa diajak kerjasama, untuk mengamankan kebijakan
transaksional.
Baik sistem
proporsional terbuka maupun tertutup tetap bisa dibobol, jika pendekatan yang
dikedepankan adalah pendekatan kepentingan (politik transaksional).
Untuk mewujudkan “Pemilu
Jurdil”, bukan sistem atau regulasi yang harus ditata ulang, melainkan moral
dan integritas pribadi para penyelenggara Pemilu yang harus di upgrade. Sebab
tidak ada hasil kinerja yang profesional, jika moral dan integritas
penyelenggara Pemilu masih bisa tergadaikan dengan kepentingan.
Justru jauh lebih
bermoral sistem alternatif, yang diusulkan oleh Muhammadiyah. Dimana hasil
Muktamar Muhammadiyah ke-48 Tahun 2022 yang baru saja dilaksanakan di Solo,
telah melahirkan dua usulan ihwal sistem Pemilu 2024.
Yakni “Sistem
proporsional tertutup, atau sistem proporsional terbuka terbatas”. Dimana
pemilih (rakyat) diberi kesempatan memilih caleg yang dikehendakinya dengan
menusuk tanda gambar parpol yang mengusungnnya, atau memilih langsung nomor
urut caleg tersebut.
Jika caleg tersebut
mendulang banyak suara dan memenuhi ambang batas perolehan satu kursi, maka
yang bersangkutan bisa duduk menjadi anggota legislatif (DPR, DPRD) di Dapilnya,
walaupun nomor urutnya pada daftar caleg berada paling bawah, sedangkan
kelebihan suaranya jika ada, diserahkan kepada pengurus partai untuk mengatur
berdasarkan daftar urut caleg.
Dengan sistem
proporsional terbuka terbatas ini, suara pemilih masih terakomodasi dan masih
ada peluang bagi caleg, untuk terpilih meski tidak di nomor urut teratas.
Usulan Muhammadiyah ini
dimaksudkan untuk mengurangi kanibalisme politik, alias saling jegal menjegal
satu sama lain. Karena hal ini berpotensi menimbulkan polarisasi politik.
Selain itu, usulan Muhammadiyah ditujukan agar “money politics” bisa berkurang.
Muhammadiyah
mengusulkan dua sistem ini “Tertutup dan Terbuka Terbatas” agar Parpol
bersungguh-sungguh menyiapkan kadernya yang berkualitas di mata publik.
Dengan demikian, maka
produk legislasi juga akan lebih berkualitas. Tidak seperti sekarang, dimana
produk legislasi DPR kurang berkualitas bahkan jatuh dimata publik, karena DPR
cenderung dijadikan tukang stempel legalitas bagi kepentingan kelompok
(Oligarki).
Saat ini Mahkamah
Konstitusi (MK) tengah menangani perkara gugatan uji materil UU No. 7 Tahun
2017 tentang Pemilu, soal sistem proporsional terbuka. Sebagaimana diketahui
bahwa gugatan ini, diajukan ke- MK pada akhir November 2022, oleh PDIP (Demas
Brian Wicaksono) bersama lima warga sipil.
----
Penulis: Drs. Achmad Ramli Karim SH MH, Ketua Dewan Kehormatan dan Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Ketua Koorda IKA IPM/IRM Kabupaten Gowa, Alumni Angkatan 81 PMP/PKn FKIS IKIP UP, Alumni 92 FH UMI Makassar.