-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 01 Januari 2022
Dahlan
Abubakar Guru Jurnalistik Pertama Saya
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Terus terang saya tidak
punya pengetahuan, apalagi pengalaman jurnalistik ketika mendaftar sebagai
calon reporter Harian Pedoman Rakyat pada tahun 1992.
Pada waktu yang hampir bersamaan,
saat saya mengajar sebagai guru honorer di STM Dharmawirawan Pepabri Bulukumba
(sekarang SMK Dh. Pepabri Bulukumba), saya juga mendaftar sebagai calon guru
PNS di Makassar.
Saya berani mendaftar
jadi calon wartawan karena saya seorang penulis dan tulisan saya cukup banyak
yang dimuat di Harian Pedoman Rakyat selama masih kuliah (1986-1991).
“Tentu nama saya sudah
cukup dikenal di redaksi Pedoman Rakyat,” pikir saya waktu itu.
Pengumuman calon guru
PNS hampir bersamaan dengan pengumuman calon reporter Harian Pedoman Rakyat.
Hasilnya, saya tidak lulus jadi guru PNS, tapi lulus jadi calon reporter Harian
Pedoman Rakyat.
Saya diterima sebagai
calon reporter bersama sekitar 25 orang calon reporter lainnya. Namun ternyata,
kami belum diterima secara penuh, karena masih ada masa percobaan selama tiga
bulan, kalau tidak salah Januari hingga Maret 1992.
Tiga bulan kemudian,
keluarlah pengumuman dan saya dinyatakan lulus bersama enam orang lainnya,
yakni Asnawin, Mohammad Yahya Mustafa, Mustam Arif, Rusdy Embas, Ely
Sambominanga, Indarto, dan Elvianus Kawengian.
Sejak itulah, kami
menjadi wartawan Harian Pedoman Rakyat, sampai akhirnya Harian Pedoman Rakyat
tidak terbit lagi pada September 2007.
Menjadi wartawan
sebenarnya bukan cita-cita saya. Ayah saya (kami memanggilnya Tetta, sapaan
orang Makassar kepada ayah, kakek, atau orangtua yang dihormati) seorang guru
dan sejak kecil saya bercita-cita jadi guru.
Karena cita-cita
itulah, saya kemudian kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
Ujungpandang tahun 1986, dan memilih jurusan Pendidikan Olahraga pada Fakultas
Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK).
Setelah kuliah selesai
dan menyandang gelar Doktorandus (Drs), saya dan teman-teman pun melamar jadi
guru PNS (pegawai negeri sipil). Dua tahun berturut-turut mendaftar, tapi
ternyata tidak lulus.
Guru
Jurnalistik Pertama
Saat kami dinyatakan
lulus sebagai calon reporter sebanyak kurang lebih 25 orang, kami terlebih
dahulu diikutkan inhouse training Jurnalistik di Lantai Tiga Kantor Harian
Pedoman, di Jalan Arief Rate 31, Makassar.
Beberapa pemateri waktu
itu yang saya ingat antara lain Ishak Ngeljaratan (dosen Unhas), dan Verdy R
Baso (wartawan senior Pedoman Rakyat).
Selesai training selama
beberapa hari, kami dilepas ke lapangan selama kurang lebih tiga bulan, dan itu
masih merupakan bagian dari rangkaian tes penerimaan calon reporter Harian
Pedoman Rakyat.
Tes yang cukup panjang
dan berliku itu ternyata sudah lebih dari cukup untuk membuat kami yang lulus
kelak, benar-benar sudah siap menjadi reporter andal.
Selama tiga bulan
tersebut, beberapa teman kami terlihat sangat menonjol, karena berita hasil
liputan mereka selalu termuat di halaman satu. Maka menjadi aneh bagi saya,
karena mereka yang tadinya hampir saya pastikan akan lulus pada tes akhir ini,
ternyata dinyatakan tidak lulus.
Saya yang belum punya
pengalaman jurnalistik, justru dinyatakan lulus, padahal saya merasa
biasa-biasa saja. Entah apa pertimbangannya, tapi saya memang tidak pernah
berupaya menonjolkan diri. Saya meliput dan bikin berita secara biasa-biasa saja,
apa adanya.
Saat dinyatakan lulus
bersama enam teman lainnya (Asnawin, Mohammad Yahya Mustafa, Mustam Arif, Rusdy
Embas, Ely Sambominanga, Indarto, dan Elvianus Kawengian), dan pertama bertugas saya ditempatkan
pada Desk Pendidikan.
Redaktur Desk
Pendidikan waktu itu Pak Dahlan Abubakar. Maka saya pun menganggap Pak Dahlan
sebagai guru jusnalistik pertama saya. Dan rupanya, Allah SWT memberikan saya
guru terbaik.
Pak Dahlan ternyata
bukan hanya seorang wartawan, melainkan juga seorang Humas Universitas
Hasanuddin (Unhas) Makassar, seorang penulis buku, dan juga pengurus Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Selatan (kalau tidak salah jabatannya ketika
itu Sekretaris PWI Sulawesi Selatan).
Sebagai redaktur, Pak
Dahlan benar-benar mendidik dan mengajar saya dengan baik, dan saya pun merasa
sangat cepat memahami penulisan berita yang baik, dengan bahasa yang runut dan
enak dibaca.
Tentu saja saya pun
mengalami berita yang saya buat, diacak-acak oleh Pak Dahlan, kadang-kadang
juga dibuang di tong sampah (waktu itu berita masih diketik di mesin ketik,
kemudian hasil ketikan diserahkan kepada redaktur untuk diedit). Dua tiga tahun
berjalan, barulah kami menggunakan komputer.
Pasti menyakitkan hati
bila berita yang sudah kita ketik dibuang di tong sampah atau tidak dimuat,
bahkan saya sering kecewa karena Pak Dahlan mencabut berita saya pada malam
hari saat sudah selesai dilay-out di percetakan, dan mengganti dengan
beritanya. Dan itu baru ketahuan esok hari setelah koran Pedoman Rakyat terbit.
Rupanya itu adalah
bagian dari proses pematangan mental bagi diri saya sebagai seorang reporter,
seorang wartawan.
Sebagai murid langsung,
saya tentu saja banyak mengikuti atau terpengaruh gaya penulisan berita Pak
Dahlan, tapi saya harus akui Pak Dahlan jauh lebih hebat, karena beliau sering
keluar sebagai juara lomba penulisan dan Pak Dahlan juga seorang penulis buku.
Mengajar
di Kampus
Beliau juga seorang
dosen dan mengajar pada beberapa perguruan tinggi. Saya juga mengikuti jejaknya
menjadi dosen, tapi saya tidak pernah menjadi dosen tetap sebagaimana beliau
yang dosen tetap di Unhas.
Saya menjadi dosen luar
biasa pada beberapa kampus tentu tidak lepas dari didikan Pak Dahlan.
Saya pernah mengajar di
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar (2008-2014), di Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Makassar (tahun 2010, saat masih berkampus di
Jl. Cenderawasih), di Universitas Negeri Makassar (UNM, tahun 2020), serta di
Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, dan di Universitas Pancasakti
(Unpacti) Makassar (masih mengajar sampai sekarang).
Pengurus
PWI Sulsel
Jejak Pak Dahlan
sebagai pengurus PWI Sulawesi Selatan pun saya ikuti. Saya jadi pengurus dan
pernah mendapat amanah sebagai Ketua Seksi Pendidikan. Lagi-lagi saya masih
berada di bawah posisi Pak Dahlan yang pernah menjadi Sekretaris PWI Sulawesi
Selatan.
Pak Dahlan bahkan
pernah jadi calon Ketua PWI Sulawesi Selatan, walaupun akhirnya kalah dengan
perbedaan suara sangat tipis dari Agus Salim Alwi Hamu.
Sebagai wartawan senior
dan sudah diakui secara nasional, Pak Dahlan juga mendapat kehormatan sebagai
pemegang Kartu Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Utama, sedangkan saya masih
pemegang kartu UKW Madya.
Pelatih
Wartawan
Entah ada campur tangan
Pak Dahlan atau tidak, ketika masih aktif di Pedoman Rakyat, saya beberapa kali
diikutkan pelatihan jurnalistik mewakili Harian Pedoman Rakyat, antara lain
pelatihan jurnalistik tingkat nasional di Yogyakarta tahun 1997, yang diadakan
oleh Departemen Penerangan (Deppen) RI.
Tahun 2006, saya
mewakili PWI Sulawesi Selatan mengikuti Training of Trainer (ToT) Pelatih
Nasional Wartawan PWI yang diadakan PWI Pusat, di Semarang.
Saya juga pernah
mengikuti Pelatihan Foto Jurnalistik Tingkat Nasional yang diadakan PWI Pusat
di Makassar.
Dengan berbagai
pengalaman dan pelatihan yang pernah saya ikuti, saya cukup sering diminta
membawakan materi pada berbagai pelatihan jurnalistik, termasuk merancang dan
sekaligus menjadi pemateri berbagai pelatihan jurnalistik.
Semua itu tentu tidak
terlepas dari hasil didikan Pak Dahlan, dan bahkan sampai sekarang, Pak Dahlan
masih terus menerus menjadi pembimbing saya, baik secara tidak langsung maupun
secara langsung.
Pak Dahlan yang
kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat, 02 Oktober 1953, “menarik saya” masuk
sebagai pengurus Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Sulsel dan beliau
sendiri sebagai ketua.
Pak Dahlan pun sering
mengoreksi tulisan-tulisan saya di media massa (www.pedomankarya.co.id) dan di
media sosial, dan itu saya anggap bagian dari bimbingan beliau sebagai guru
saya kepada saya selaku muridnya.
Saya harus mengakui
bahwa “kelas” saya berada di bawah “kelas” beliau, apalagi saya sampai saat ini
masih berangan-angan menjadi penulis buku, sementara Pak Dahlan entah sudah
berapa puluh atau berapa ratus buku yang telah ditulisnya.
Terima kasih Pak Dahlan,
terima kasih guruku, yang terus menerus membimbingku sejak tahun 1993 sampai
saat ini.
Ilmu yang engkau
berikan kepada saya insya Allah akan menjadi amal jariyah, karena ilmu-ilmu itu
juga sudah saya bagikan kepada banyak orang, baik secara langsung maupun secara
tidak langsung.***