Rusdin Tompo (kiri)
foto bersama Walikota Makassar, Danny Pomanto, sambil memegang buku berjudul “Masa
DPan Makassar”. (ist)
------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 21 Januari 2023
Harun
Al Rasyid, Sakka Pati, Buku, dan Makassar Kota Layak Anak
Oleh:
Rusdin Tompo
(Koordinator
Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
Sendiri atau bersama,
ide itu harus diwujudkan. Patut diakui, tidak semua ide, bisa kita eksekusi
sendiri. Kadang butuh kolaborasi, butuh jejaring, butuh campur tangan orang
lain, untuk bisa melaksanakannya.
Di tahun 2014, saya
punya ide membuat gerakan 1000 taman bermain. Ide ini diposting di beranda akun
Facebook saya. Saya memang punya kebiasaan membuat catatan sederhana untuk
merekam ide-ide saya.
Saya punya buku ide,
berisi tulisan tangan dan peta pikiran (mind map) seputar ide itu. Maklum, saya
tipikal otak kanan, yang suka corat-coret. Tapi era FB, ide langsung diposting.
Sesuai pertanyaan jejaring media sosial karya Mark Zuckerberg itu, “Apa yang Anda
pikirkan?”
Syahdan, saya
mensosialisasikan gagasan itu, dan sempat diundang wawancara di Radio Fajar FM.
Anggota DPD RI, periode 2014-2019, AM Iqbal Parewangi, melalui line telepon
merespons ide gerakan 1000 taman bermain, kala itu, yang dinilai positif.
Penelepon lain juga mengapresiasi ide tersebut.
Singkat cerita, ide itu
tak berlanjut. Padahal poinnya sederhana, bagaimana kita memanfaatkan lahan
terbatas di lingkungan tempat tinggal atau kompleks dengan membangun taman
bermain.
Bisa juga memanfaatkan
lahan sisa pembebasan, yang tak seberapa luas dan tidak terpakai. Tantangannya,
karena perlu mengidentifikasi lahan-lahan itu di tiap kelurahan.
Rumusan taman bermain
di sini, di kepala saya, adalah tempat main anak, yang bisa saja hanya berupa
ayunan, jungkit-jungkitan atau perosotan. Di lokasi itu ada ruang terbuka, yang
hijau, dengan fasilitas pendukung, seperti perpustakaan kecil dan lain-lain.
Sumber dana pembangunannya, bisa swadaya masyarakat atau dari CSR (corporate
social responsibility) perusahaan yang ada di sekitar situ.
Ide ini perlahan terlupakan.
Namun muncul ide baru, setelah terbit opini berjudul “Lorong” di Harian Fajar
(8/5/2014), yang ditulis Prof TR Andi Lolo. Tulisan Guru Besar Sosiologi
Universitas Hasanuddin (Unhas) itu, menggelitik saya untuk membuat buku bunga
rampai seputar lorong.
Tema lorong ini menjadi
wacana politik setelah terpilihnya Mohammad Ramdhan Pomanto dan Syamsu Rizal
MI, pasangan Walikota dan Wakil Walikota Makassar, periode 2014-2019.
Saya kemudian
mengumpulkan semua opini dan artikel yang mengkaji lorong dari berbagai
perspektif. Termasuk tulisan Danny Pomanto, sapaan akrab Moh Ramdhan Pomanto,
di Tribun Timur (30/10/2014), berjudul “Makassar Future City.”
Para penulis yang saya
masukkan tulisannya, saya hubungi untuk meminta izin. Saya juga ke redaksi
Harian Fajar dan Tribun Timur, untuk melakukan hal yang sama, meminta izin
pemuatan tulisan ke dalam buku.
Setelah tulisan-tulisan
itu disistematikakan menjadi draf buku, mulai terpikirkan bagaimana cara
menerbitkannya. Saya teringat teman satu angkatan di Fakultas Hukum Unhas.
Namanya Harun Al
Rasyid. Mengapa Harun Al Rasyid? Ya itu karena di pikiran saya, saat itu, teman
saya yang pernah jadi Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Hukum
Unhas, tahun 1990, dan pengurus Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu
(IPMIL), tahun 1989 ini, berada di lingkaran DIA, akronim pasangan Danny-Deng
Ical.
Saya lalu menghubungi
Harun Al Rasyid, Direktur PT Katalis Indonesia yang bergerak di bidang
pengembangan SDM dan konsultan marketing politik. Kami bertemu di Starbucks,
Mal Ratu Indah (MaRI).
Rupanya dia bersama
Sakka Pati, sekarang sudah doktor, adik letting kami di Fakultas Hukum Unhas.
Dr Sakka Pati merupakan dosen yang berkarier di almamaternya, Fakultas Hukum
Unhas. Ada banyak hal yang kami obrolkan, tapi poinnya adalah saya menawarkan
ide pembuatan buku, dan tentang gerakan 1000 taman bermain yang lama mengendap.
Soal ide pembuatan
buku, tidak mudah saya komunikasikan, karena akan mendokumentasikan satu produk
janji politik dari Danny-Deng Ical. Apalagi Danny Pomanto sering merepresentasikan
dirinya sebagai “Anak Lorong na Makassar”. Ide tentang gerakan 1000 taman
bermain itu yang agak alot lantaran harus dibahasakan lebih sederhana tapi
visioner.
Kepada Harun Al Rasyid
dan Sakka Pati, saya sampaikan bahwa ide besar dari gerakan 1000 taman bermain
adalah Kota Layak Anak (KLA).
Saya kemukakan, konsep
KLA itu berawal dari penelitian Kevin Lynch, seorang arsitek dari Massachusets
Institute of Technoligy di 4 kota, yakni Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico
City. Penelitian tentang Childrens Perception of the Environment ini jadi cikal
bakal lahirnya gagasan KLA, yang dimotori UNESCO, UNHABITAT, dan UNICEF.
Eureka. Benang merahnya
didapat. Jadi, kami bersepakat akan menyampaikan perlunya menjadikan Makassar
sebagai Kota Layak Anak, karena pencetusnya di dunia juga berlatar belakang
arsitek, sama dengan Danny Pomanto. Oleh Harun Al Rasyid, saya diajari cara
mengkomunikasikan ide itu secara sederhana, lugas, dan memikat.
Hari berikutnya, Harun
Al Rasyid dan Sakka Pati, mengajak saya menemui Danny Pomanto untuk
menyampaikan dua ide itu: buku dan KLA. Di sela-sela agenda walikota yang
terbilang sangat padat, kami akhirnya bisa menemui Danny Pomanto, di kantor
arsiteknya di Jalan Lanto Daeng Passewang.
Selepas Magrib, Harun Al
Rasyid, Sakka Pati, saya, dan Mahmud BM (saat itu Kepala Dinas Pendidikan Kota
Makassar), bertemu Walikota Makassar, Danny Pomanto, di kantornya yang berada
satu gedung dengan Kafe Enak-Enak.
Penyampaian kedua ide
itu terasa mengalir lancar, setelah Danny Pomanto menyampaikan bahwa di
kantornya dia punya kebijakan membolehkan staf-stafnya membawa anak-anak mereka
ke kantor.
Satu visi. Itulah titik
kesamaan pijak kami, ketika ide tentang buku dan KLA ditawarkan. Meski secara
teknis, pada tahap awal, kami diminta berkoordinasi dengan Tim Penggerak
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Makassar dan Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) soal KLA.
Dalam pelaksanaan
deklarasi KLA, selain kedua institusi itu, terlibat pula Dinas Pendidikan Kota
Makassar. Sedangkan untuk urusan buku, kami berkoordinasi dengan Badan Arsip,
Perpustakaan dan Pengolahan Data Kota Makassar, sekarang Dinas Perpustakaan
Kota Makassar.
Buku yang merekam
pemikiran para penulis terkait lorong, dan implementasi 8 Jalan Masa Depan yang
jadi visi misi Danny Pomanto-Deng Ical, pada masa 100 hari pemerintahannya,
akhirnya diluncurkan di Jalan Amirullah, Makassar, pada Jumat, 30 Januari 2015.
Selain sebagai kontributor tulisan, saya juga merupakan editor buku berjudul “MasaDPan
Makassar, Dinamika Demokrasi dan Pemerintahan” itu.
Sebelumnya, pada Senin,
22 September 2014, dilakukan deklarasi Kota Layak Anak di Lapangan Karebosi,
yang merupakan Titik Nol Kota Makassar. Deklarasi ditandai dengan pembubuhan
tanda tangan pada prasasti oleh Walikota Makassar, Danny Pomanto, Ketua DPRD
Kota Makassar, Rahman Pina, dan sejumlah perwakilan stakeholder.
Usai deklarasi, Ibrahim
Saleh, Sekretaris Daerah Kota Makassar, saat itu, mendekati saya sambil
berkata, “Saya tahu, siapa di belakang layar acara ini.”
Komentar itu saya
dengar, saat saya baru saja melayani wawancara sejumlah media yang meminta
tanggapan atas deklarasi KLA yang dilakukan. Ibrahim Saleh merupakan mitra saya
ketika beliau menjabat Kepala Dinas Sosial Kota Makassar.
Saya, Harun Al Rasyid, dan Sakka Pati memang tidak tampak menonjol selama dan hingga acara selesai. Kami lebih berperan sebagai support system.***