Membaca judulnya, timbul kesan di pikiran saya bahwa Kumpulan Puisi ini pasti luar biasa. Paling tidak, humanisme dan fenomena kemanusiaan akan menggaung dari ceruk gua paling pekat. Mengapa? Karena para penyair yang diutus mewakili negaranya tentu orang-orang pilihan. Rupanya pikiran saya terlampau berharap. Puisi-puisi yang terhimpun di buku ini tergolong amat sederhana. Ia tidak menuntut pisau bedah untuk menguliti berbagai dimensi puitik yang ada.
PEDOMAN KARYA
Selasa, 17 Januari 2023
Membaca
Antologi Puisi Penyair ASEAN ‘The Voice of Humanity’:
Tergerus
Apa Kredo Sutardji
Oleh:
Mahrus Andis
(Sastrawan, Kritikus
Sastra)
Mendapat buku puisi
dari kawan, Dr Asia Ramli Prapanca, saya langsung melahap. Desain covernya
cantik dengan kata pengantar Editor, Mohamad Saleeh Rahamad dari Kuala Lumpur.
Antologi berjudul Suara
Kemanusiaan (The Voice of Humanity) menggunakan Bahasa Indonesia disertai
terjemahan dalam Bahasa Inggris.
Berisi 100 puisi lebih,
buku setebal 275 halaman dan diterbitkan Institut Terjemahan & Buku Malaysia ini ditulis
oleh peserta Pertemuan Penyair ASEAN,
2015.
Penyair yang menulis
puisi di buku ini berasal dari negara-negara ASEAN, yaitu Malaysia, Brunei
Darussalam, Filipina, Kamboja, Myanmar, Singapura, Thailand dan Indonesia.
Umumnya, penyair bicara soal kemanusiaan. Tapi, tidak sedikit juga yang
menggelinding keluar dari tematik yang “disyariatkan” panitia.
Puisi
Penyair Kita
Biasa-biasa
Saja
Membaca judulnya,
timbul kesan di pikiran saya bahwa Kumpulan Puisi ini pasti luar biasa. Paling
tidak, humanisme dan fenomena kemanusiaan akan menggaung dari ceruk gua paling
pekat.
Mengapa? Karena para
penyair yang diutus mewakili negaranya tentu orang-orang pilihan. Rupanya
pikiran saya terlampau berharap. Puisi-puisi yang terhimpun di buku ini
tergolong amat sederhana. Ia tidak menuntut pisau bedah untuk menguliti
berbagai dimensi puitik yang ada.
Amat sederhana tidak
berarti jauh dari standar kreatif penciptaan. Karya-karya yang terhimpun di
dalam buku ini terkesan cukup mengusung tema-tema filosofis,
humanisme-universal.
Kesederhanaan puisinya
terletak pada teknik pengungkapan ide yang tidak memberatkan imaji pembaca.
Lebih tepat disebut: diafan, yakni puisi dengan gagasan ringan dan bahasa yang
sederhana.
Contoh puisi yang saya
maksud dapat dibaca pada karya Marsli N.O, seorang penyair asal Malaysia,
sebagai berikut:
INGINKAH
KAULIHAT
Inginkah
kaulihat negeri ini terus membusuk?
Ketika
semua pemimpin saling melemparkan tuding
Dan
atas nama demokrasi
Fiksi
demi fiksi dicipta
Oleh
si bijak politik
Untuk
membunuh dan melenyapkan lawan
Atas
nama kaum dan bangsa
Berduyun
para pemabok
Menjunjung
bangga dan pura
Mempermainkan
kebingungan jelata
Inginkah
kaulihat negeri ini terus membusuk
Dan
merelakan politikus mabuk
Berlagak
cerdik dan sibuk
Memaksa
jelata hanyut dan sesat di tengah kabut?
-08 Desember 2008-
Penulis puisi ini
bernama asli Ramli Selamat. Ia lahir 07 Oktober 1957 di Malaysia. Dia sudah
menerbitkan beberapa buku antologi puisi. Pernah mewakili negaranya ke Second
ASEAN Writer's Conference Workshop (Poetry) 1995 di Manila, Singapore Writer's
Festival 2003, Korea ASEAN Poets Literature Festival 2009 dan 2011.
Penyair ini pun pernah
memenangkan hadiah saguhati kategori puisi Sayembara Penulisan 2 anjuran
ITBM-PENA-BH 2014.
Saya tidak paham di
sisi mana istimewanya puisi tersebut. Struktur fisik dan batinnya biasa-biasa
saja: bahasanya vulgar dan ideologi puitiknya pun sekadar mengusung pertanyaan
retorik tentang situasi negerinya. Suara kemanusiaan (voice of humanity) hanya
serupa riak air yang kurang muncerat di dalam puisi ini.
Saya sengaja memilih
satu puisi dari penyair mancanegara di atas. Sekadar ingin meyakinkan batin,
bahwa pengalaman berkeliling dunia dan memenangkan sayembara penulisan puisi,
bukanlah jaminan atas kualitas kepenyairan seseorang.
Di buku Antologi ini
juga dimuat beberapa puisi penyair Indonesia sebagai peserta dalam Pertemuan
Penyair ASEAN 2015 di Malaysia. Mereka adalah Acep Zamzam Noor, Ahmadun Yosi
Herfanda, Asrizal Nur, Fatin Humama, Free Hearty dan Sutardji Calzoum Bachri.
Membaca puisi-puisi
mereka, kesannya tidak jauh berbeda ketika saya menikmati puisi Marsli N.O di
atas. Tidak ada keistimewaan yang menonjol. Salah satu kelebihannya hanyalah
karena keenam sastrawan negeri ini bernasib baik menjadi peserta pertemuan
penyair di luar negeri.
Saya mencoba menelusuri
puisi-puisi keenam penyair ini, ternyata, di antaranya, ada puisi yang lebih “biasa-biasa”
dari puisi Marsli N.O di atas.
Acep Zamzam Noor,
penyair yang sudah banyak mengenyam asam-garamnya perpuisian, masih tetap eksis
dengan fitur bahasa figuratifnya yang kelam.
Demikian pula Ahmadun
Yosi Herfanda, penyair asal Kendal, Jawa Tengah, yang padanya telah sarat
penghargaan sastra dari Pusat Bahasa. Puisinya di dalam antologi ini pun kurang
lebih sama dengan puisi Acep Zamzam Noor: rimbun dengan diksi-diksi individual.
Referensi tasawuf ada
terasa di bait akhir puisinya yang berjudul “Terdengar Panggilan Itu Lagi”, namun
struktur teksnya seakan dibuat-buat agar terkesan penyair sedang “mabuk” di
lautan Cinta (dengan C besar).
Gaya “pelarian sufistik”
seperti ini sering terjadi ketika seorang penyair terdesak oleh momen sesaat
dalam ruang imaji yang ranggas.
Coba kita perhatikan dua
bait terakhir puisi Ahmadun Yosi berikut:
"...
terdengar panggilan itu lagi, ya, panggilan itu lagi/
bersama atom-atom udara yang menyusup dada/
dan mengadzaniku dari bilik jantung tua/
terdengar suara itu lagi, memenuhi kamar/
dan menggetarkan tubuh renta
terdengar suara itu lagi, serasa suara Rindu/
nafas zuhudku yang makin dekat padaMu/
akan kupeluk Engkau/
dengan segenap Cinta ! "
(Judul: Terdengar Panggilan Itu Lagi, Hal.
172)
Agak berbeda dengan
Asrizal Nur. Penyair yang sudah banyak menulis antologi puisi dan mengikuti
pertemuan sastra ini, masih terasa menjanjikan diksi-diksi perenungannya.
Puisinya yang berjudul “Belajarlah Pada Bahasa Hewan”, walaupun panjang dan
prosais, namun ada setitik pesan humanisme yang dapat diteguk.
Pemanfatan ruang wacana
dalam teks yang panjang itu pun bermakna kausalitas. Penyair ingin menemukan
proses monologia untuk menjustifikasi terjadinya degradasi humanis terhadap
kodrat sesama makhluk Tuhan.
Untuk contoh saja, saya
akan petikkan tiga bait terakhir puisi Asrizal di bawah ini:
"...
kenapa harimau mudah mengaum/
lalu mencakar dan menyeringaikan taring/
kemudian menerkam anaknya/
lantas kau fitnah
mereka keliru menggunakan cakar taring?
kaulah muasalnya/
tersebab hasrat menguasai/
peluru nafsu kau tembakkan/
kemudian mesiu kekuasaan/
mengacaubalau rimba dan mengeruhitam biru lautan
kehidupan/
sehingga mereka lupa kedamaian alam/
yang biasa bertabur cinta kasih sayang
belajarlah pada bahasa hewan/
agar paham makna kemanusiaan
(Judul: Belajarlah Pada Bahasa Hewan. Hal.
176)
“Voice of Humanity”
seperti tema yang dirancang even Pertemuan Penyair ASEAN cukup terasa di puisi
ini. Belajar pada bahasa hewan adalah ruang penggeledahan diri atas
fungsi-fungsi manusia sebagai khalifah di atas bumi. Lewat puisinya, Asrizal
Nur berhasil menggelitik batin kita untuk menemukan kembali keseimbangan hidup
antara manusia dengan alam sekitarnya.
Puisi panjang Fatin
Hamama di buku itu pun patut direnungi. Bait-bait pada struktur puisinya hadir
sebagai bentuk dialektika causaprima tentang hakikat besi.
Penyair kelahiran
Padang Panjang, 15 November 1967, ini menulis puisi berjudul “Al Hadid”.
Seperti judulnya, puisi tersebut berkisah tentang hakikat besi yang diciptakan
Tuhan untuk manfaat bagi manusia. Namun ketika sebatang tombak dan sebilah
pisau menemukan dirinya sebagai alat untuk membunuh, kodrat besi seakan
menolak. Ia tak ingin seperti itu.
Pada puisi tersebut
terdapat sentuhan sensitivitas “voice of humanity”. Paling tidak, terpancar
naluri penolakan kodrat besi (tombak dan pisau) atas kebiadaban manusia dan
moralitas rasa syukur sebuah peniti yang ditakdirkan menjadi penyemat baju
seorang sufi.
Di bait ending
puisinya, Fatin Hamama menukilkan dialektika puitiknya sebagai berikut:
"...
ketika besi-besi yang menjadi senjata/
berubah fungsi/
diam-diam peniti mensyukuri/
'aku menjadi penyemat baju/
seorang sufi setiap hari aku dibawa/
rukuk sujud dan mensyukuri/
nikmat Tuhan yang diberi/
aku tidak ingin patah/
biar berkarat aku kini".
(Judul: Al Hadid. Hal. 186)
Sutardji
Kehilangan Kredo?
Penyair yang paling
senior utusan Indonesia di Forum Pertemuan ASEAN 2015, adalah Sutardji Calzoum
Bachri. Di Antologi Puisi “Suara Kemanusiaan” ini, Sutardji menulis dua buah
puisi pendek: ciri khasnya sejak tahun 1970-an. Kedua puisi tersebut berjudul “BAH”
dan “AGAR”, semuanya bicara tentang tsunami.
Sutardji, seperti
karakter puisinya selama ini, selalu hadir dengan impresi permainan
diksi-diksi. Jika permainan itu memang baru dan menawarkan kesadaran estetika
yang tinggi, seperti dulu, tentu bagus.
Tapi yang demikian saya
tidak temukan lagi pada kedua puisinya tersebut. Tentu dapat dimaklumi. Dua
puisi itu tak bertanda tahun penciptaan. Boleh jadi ia tulis di saat Sutardji
sudah berusia 70 tahun. Artinya, relasi kreatif antara otak dan imaji sudah
berada di ambang kelelahan.
“The Voice of humanity”
yang disyariatkan oleh tema penulisan buku itu tidak berhasil tergali secara
detail dalam puisi Sutardji. Kemanusiaan yang dia suarakan tidak lebih dari
kemanusiaan universal, referensi semua manusia, yang bersifat imanensial. Mari
kita baca puisi Sutardji yang berjudul “Bah” berikut:
BAH
tsunami
airmata
ini mata air hari/
airmata
ini dukakalian kami/
airmata
ini mutu manikam hati/
airmata
ini puncak sedih tak sudahsudah/
airmata
ini inti darah berubah/
airmata
ini buah segala bah/
airmata
ini buah hati tumpah/
airmata
ini guratan sejarah/
airmata
ini luap doa duafah (h-? pen.)/
airmata
ini matamata nurani/
airmata
ini tanahair kami.
(The Voice of humanity,
hal. 202)
Kredo puisi Sutardji
Calzoum Bachri yang pernah menggaung di era 70-an, tidak lagi terasa di
puisinya ini. Hakikat kata tetap istikamah pada fungsinya sebagai “pipa”
penyalur ideologi penyair.
Janji Sutardji untuk
mengembalikan fungsi kata kepada mantra tidak tercapai. Salah satu sebabnya,
puisi karya penyair adalah bahasa manusia yang harus tergali dari kesadaran
nurani.
Seperti puisi yang
berjudul “BAH” di atas, itu bahasa Sutardji lewat tata kata dan tata makna
(sintaksis dan semantik). Majas anafora, epifora atau pun permainan rima dan
ritme pada struktur puisi menjadi penanda bahwa itu ekspresi kreativitas akal
budi. Artinya, puisi Sutardji yang berjudul “BAH” dan “AGAR” pada buku antologi
ini bukanlah bahasa jin melalui mantra-mantra.
Jika demikian, lalu
tergerus oleh apa kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri itu? Atau, mungkin kredo tersebut
telah hilang ditelan bah-tsunami perpuisian. Wallahu a'lam. *
Makassar, 17 Januari
2023