“Memandang wajahmu nan cantik
Hatiku tersentuh pedih
Kuingin berkata padamu
Aku telah jatuh cinta”
-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 13 Januari 2023
OPINI SASTRA
Tidak
Semua Kata-kata Indah Itu Puisi
Oleh:
Mahrus Andis
(Kritikus Sastra,
Budayawan)
Seorang teman menulis
beberapa kalimat seperti ini:
“Memandang
wajahmu nan cantik
Hatiku tersentuh pedih
Kuingin berkata padamu
Aku telah jatuh cinta”
Kemudian kalimat itu
dia kirim ke saya disertai pertanyaan; “Adakah ini termasuk puisi?”
Saya merenung. Terlalu
ekstrem jika saya langsung memvonis bahwa itu bukan puisi. Namun apabila
dikatakan itu puisi maka tersingkaplah “kebohongan Puitika” saya.
Lalu saya teringat
ucapan Plato, seorang filsuf di zaman Yunani Kuno. Dia bilang, puisi harus
mengandung 3 unsur hakikat, yaitu estetika, etika, dan logika.
Penyair Sapardi Djoko
Damono pun pernah menulis bahwa puisi dibangun di atas 3 konvensi, yaitu
linguistik, sastra, dan konvensi filsafat.
Berkait dengan itu,
saya mencoba mengamati kalimat ungkapan teman tersebut. Dari larik-lariknya
saya temukan struktur sintaksis yang tersusun indah (estetis). Pesan moralnya
pun terasa, yakni ingin berkata jujur (etis). Namun, daya ungkapnya kurang
tepat (tidak logis).
Coba perhatikan kalimat
atau larik pertama: “memandang wajahmu nan cantik.”
Kalimat ini tersusun
rapi. Ada rima yang membangun strukturnya sehingga terkesan estetis. Walaupun
sesungguhnya, kalimatnya tidak lebih dari bahasa komunikasi biasa (linguistik
level -1). Itu pun menggunakan bahasa klise. Atau bahasa yang sudah kehilangan
getah sastranya (bahasa level -2). Dan konvensi filosofisnya pun sangat
dangkal.
Nilai estetis dan etis
pada ungkapan tersebut tergerus oleh sebuah teks semantis yang tidak logis,
yakni: "hatiku tersentuh pedih". Pertanyaan pembaca, mengapa harus “tersentuh
pedih” di saat ada kenikmatan rasa cinta di dalam hati? Pedih apa di balik
kecenderungan cinta itu?
Maka saya kembali
merenung. Ada dua keputusan produk perenungan saya.
Pertama, ungkapan di
atas belum dapat disebut puisi karena kehadirannya tidak terbangun oleh
struktur bentuk dan isi secara organis (baca: tidak logis). Nilai estetikanya
terasa kurang. Hanya terpancar dari struktur sintaksis di level rendah, yakni
bahasa komunikasi biasa yang sudah kehilangan getah sastra.
Kedua, nilai pesannya
pun sangat dangkal dan tidak menampung intensitas perenungan filosofis yang
mencerahkan dimensi kemanusiaan pembaca.
Begitulah pertimbangan
puitik atas ungkapan hati teman saya. Tulisan ini pun menguatkan anggapan orang
bahwa tidak semua kata-kata yang indah itu puisi.
Bulukumba, 12 Januari 2023