- Achmad Ramli Karim -
-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 18 Februari 2023
Das
Sein & Das Sollen Politik Kekuasaan Kontradiktif
(Pengamat Politik &
Pemerhati Pendidikan)
Das Sein dan Das Sollen
pada hakekatnya dua istilah yang sama-sama diambil dari bahasa Jerman, meskipun
makna di antara keduanya berbeda akan tetapi saling terkait satu sama lainnya.
Dimana “das sein” ini
lebih mengacu pada suatu peristiwa konkret yang terjadi di dalam masyarakat,
sedangkan “das sollen” mengacu pada peraturan hukum yang bersifat umum atau
bisa juga dikatakan sebagai hal-hal yang dicita-citakan, dikehendaki, atau
diharapkan terjadi meskipun belum juga terjadi. Hal ini bertolak dari pengertian
kedua istilah tersebut.
Objek kajian sosiologi
terkait dengan “das sein” dan “das sollen” hakekatnya mengacu pada ekspresi
kesenjangan sosial antara kenyataan (fakta) yang terjadi dalam masyarakat,
dengan harapan yang diinginkan.
Disini sangatlah jelas
jikalau “das sein” adalah realitas sosial yang terjadi, sedangkan “das sollen”
adalah apa yang dikehendaki yang seharusnya dilakukan. Dengan kata lain, “apa
itu dan apa yang seharusnya”.
Sudah betul jika ada pertanyaan
tentang das sein dan das sollen dalam mogen, bisa diartikan
sebagai boleh atau kebolehan, akan tetapi harus sesuai dengan norma dan kaidah
sosial yang berlaku (kehendak masyarakat).
Atau dengan kata lain
mogen ialah, segala sesuatu yang memperbolehkan kita untuk berpikir atau
bertindak dengan cara tertentu dalam menghadapi masalah tertentu pula. Akan
tetapi tidak boleh melanggar norma dan kaidah sosial tersebut, apalagi
mengutamakan kepentingan kelompok tertentu dan merugikan kepentingan umum
(publik). Karena jika hal ini terjadi, adalah bentuk pelanggaran norma sosial
dan norma hukum.
Demikian juga kaitannya
dengan kedaulatan politik rakyat, dimana setiap stakeholder politik khususnya
pimpinan parpol dan anggota legislatif, harus mampu memahami makna kedaulatan
rakyat dan kedaulatan hukum sebagaimana termaktub dalam amandemen UUD 1945,
pada Pasal 1 yang berbunyi; (1). Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang
berbentuk Repoblik, (2). Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD, (3). Negara Indonesia adalah negara hukum.
Dimana Indonesia
merupakan salah satu negara yang menganut kedaulatan rakyat, sedangkan
kedaulatan rakyat merupakan konsep politik yang mengacu pada rakyat sebagai
pihak yang memiliki kekuasaan tertinggi, dan bukan pada pimpinan parpol atau
fraksi-fraksi DPR sebagai perpanjangan tangan parpol di legislatif.
Oleh sebab itu,
merancang instrumen hukum guna melindungi kepentingan kelompok adalah bentuk
penghianatan kedaulatan rakyat, karena tidak sesuai dengan kehendak rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Upaya merancang
instrumen hukum yang merugikan kepentingan umum demi melindungi kepentingan
kelompok, adalah faktor utama terjadinya kesenjangan sosial. Karena antara das sein dan das sollen politik tidak sejalan. Dengan kata lain jauh panggang
dari api.
Jika kita cermati arah
kebijakan politik dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan di Indonesia,
sepertinya penguasa menganut dan berpedoman pada ajaran Niccolo Machiavelli
dalam buku “II Principe”, yaitu seorang raja harus dapat menjadi binatang, yang
merupakan kancil dan singa sekaligus.
Merupakan kancil supaya
ia tidak terjerat dalam jaring-jaring orang lain, dan merupakan singa supaya ia
tidak gentar menghadapi raungan singa. Demikianlah antara lain kata-kata
Niccolo Machiavelli dalam bukunya ll Principe, artinya sang raja atau buku
pelajaran untuk sang raja.
Dalam buku tersebut
dijelaskan tentang pedoman dan tuntunan bagi sang raja dalam menjalankan
pemerintahannya. Adapun inti dari ajaran Machiavelli tentang tujuan negara
adalah mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan, dan ketentraman.
Dan untuk mencapai
tujuan tersebut, “seorang raja harus mempunyai kekuasaan yang absolute” dan
negara harus mengejar tujuan dan kepentingannya dengan cara-cara yang paling
tepat, bahkan bila perlu dengan cara yang sangat licik sekalipun.
Untuk itu, ajaran
Machiavelli menekankan perlunya dilepaskan pemikiran-pemikiran moral dan
kesusilaan dalam konteks asas-asas bernegara. Pemikiran dan ajaran Machiavelli
ini, sangat kontradiktif dengan asas-asas ketatanegaraan Indonesia yang
menganut sistem “Demokrasi Pancasila” yang menjunjung tinggi nilai-nilai
spritual (Ketuhanan YME), norma moral dan norma sosial.
Apakah
anda manusia kontradiktif?
Manusia kontradiktif
adalah orang-orang yang menginginkan sesuatu hal yang diucapkan, tetapi
melakukan hal lain yang berlawanan ucapannya.
Meskipun Presiden
sebagai pemimpin pemerintahan dan kepala negara, namun rakyat tetap menjadi
penguasa tertinggi dalam sistem demokrasi. Konsep kedaulatan rakyat tidak hanya
dianut oleh negara Indonesia, tetapi banyak negara yang menganut sistem
demokrasi yang menempatkan rakyat pada hierarki kekuasaan tertinggi.
Karena negara kita
menganut sistem demokrasi Pancasila, maka seharusnya penyelesaian setiap isu
politik mutlak berdasarkan suara dan kehendak rakyat banyak (publik), bukan
berdasarkan aspirasi yang mengatas-namakan rakyat. Seperti mempolitisir dan
menjadikan para Kades sebagai kuda tunggangan untuk kepentingan kelompok
tertentu.
Salah satu contoh
implementasi kedaulatan rakyat adalah proses pemilihan umum (Pemilu) yang
dilakukan untuk memilih pemimpin negara hingga pemilihan Kepala Daerah.
Selain itu, kedaulatan
rakyat juga dapat diwujudkan dengan memberikan ruang demokrasi langsung kepada
rakyat untuk menyuarakan pendapat dan hak-haknya. Permasalahan kedaulatan
rakyat yang sekarang terangkat kepermukaan adalah terjadinya penundaan
Pemilukada secara langsung oleh rakyat baik pemilihan Gubernur,
Bupati/walikota, maupun Pilkades di seluruh wilayah Indonesia.
Kemudian pemerintah
dalam hal ini Mendagri mengambil kebijakan publik dengan mengangkat langsung
pejabat Gubernur oleh Presiden, sedangkan pejabat Bupati oleh Mendagri.
Kebijakan ini ditetapkan sejak 2022 selama masa jabatan kurang lebih 2,5 tahun
ke depan.
Muncul pertanyaan
apakah kebijakan publik ini sesuai kehendak rakyat, ataukah kehendak kelompok
tertentu untuk kepentingan “politik transaksional” dalam rangka melanggengkan
kekuasaan?
Secara faktual sudah
banyak indikasi dan fenomena yang menunjukkan terjadinya “politik transaksional”,
yang bertentangan dengan norma hukum dan norma sosial yang dapat dikategorikan
sebagai bentuk kekuasaan absolute dengan mengkhianati kedaulatan rakyat itu
sendiri.
Yang seharusnya
kepentingan dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama oleh kebijakan
penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sebab
mengutamakan kepentingan umum dengan mengesampingkan kepentingan kelompok atau
golongan, adalah wujud nasionalisme dan jiwa patriot pancasilais.
Mengamati faktor
penyebab carut marutnya penyelenggaraan kekuasaan di Indonesia, salah satunya
adalah adanya indikasi transaksi “cinta segi tiga politik”, yaitu perjanjian
politik antara penguasa, pimpinan parpol, dan pengusaha (pemilik modal), atau
lebih dikenal dengan istilah politik transaksional.
Dan hal tersebut, lebih
mengedepankan kepentingan kelompok (oligarki) daripada kepentingan umum. Dan
hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk pengkhianatan kedaulatan rakyat
sekaligus mengkhianati kedaulatan negara. Inilah yang disebut jauh panggan dari
api atau antara Das Sein dan Das Sollen politik kekuasaan tidak sejalan
(kontradiktif).
Sekarang mari kita
amati dan cermati fakta-fakta lain, yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
Indonesia yang bersifat majemuk dan plularisme agama. Yaitu kondisi faktual
percaturan politik di Indonesia, yang menganut sistem demokrasi Pancasila.
Menjelang suksesi
kepemimpinan nasional melalui pagelaran Pemilu 2024, semakin kencang upaya
pembentukan opini publik oleh kelompok tertentu melalui penggiringan isu
sentral yang bersifat adu domba.
Seperti isu radikal,
politik identitas, dan sebagainya, serta adanya upaya pembunuhan karakter tokoh
tertentu, dengan tujuan dan sasaran tidak lain untuk memecah belah umat serta
menghindari terbentuknya kekuatan kelompok pada tokoh tertentu yang dianggap
lawan saingan yang dapat mengancam serta melemahkan kekuatan kelompoknya.
Padahal di balik isu
sentral tersebut, hanya kedok dan strategi untuk membangun opini publik, agar
publik merasa takut dan menghindari kelompok tertentu yang menjadi sasaran dari
isu sentral tersebut (teror sosial).
Dan lebih parah lagi
justeru isu itu sengaja diarahkan kepada kelompok agama tertentu. Sekarang
sudah era keterbukaan dimana sistem dan teknologi informasi sudah canggih,
sehingga rakyat tidak muda lagi terhasut dan gampang dipecah belah.
Politik pecah belah,
politik adu domba, atau devide et impera
adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan
mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar (Islam)
menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan.
Dalam konteks lain,
politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu
menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Dengan kata lain mencegah dan
menghindari bersatunya antara ormas-ormas Islam, menjadi satu kekuatan besar (political
power).
Apa yang terjadi pada
perpecahan internal di tubuh parpol seperti PKS dan Partai Gelora, begitu pula
pada PAN dan Partai Ummat, adalah bukti konkret wujud politik pecah belah dan
kuasai.
Dampak negatif dari
penggiringan isu sentral tersebut, justeru membentuk opini publik terbalik dari
sebagian besar rakyat. Yaitu hilangnya kepercayaan publik pada pemimpinnya
karena sikap arogansi dan terbawa arus politik pecah bambu, hanya untuk
melindungi kepentingan kelompok tertentu, yang berupaya memecah belah bangsa
demi melanggengkan serta melindungi kepetingan bisnis kelompoknya
(kapitalisme).
Hilangnya kepercayaan
publik pada pemimpinnya, karena pemimpin tidak mampu memperlihatkan integritas
dan tanggungjawab moralnya, sebagai pemimpin bangsa yang berdiri tegak di atas
kepentingan negara dengan mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan
kelompok dan partai.
Demikian juga runtuhnya
integritas dan moralitas pejabat publik dan penegak hukum, disebabkan karena
diperbolehkanya pendekatan kepentingan dalam menyelesaikan isu politik melalui
sistem politik transaksional.
Akibatnya, pejabat
publik beserta penegak hukum tidak mampu menempatkan dirinya sebagai pelindung
dan pengayom masyarakat, karena pengaruh pendekatan kepentingan tersebut.
Seperti suburnya gratifikasi, unsur KKN, serta korupsi berjamaah dalam
birokrasi pemerintahan dari pusat hingga pemerintah daerah.
Terkait hal suksesi kepemimpinan
nasional menjelang Pemilu 2024, konstelasi politik nasional membuat masyarakat
terpolarisasi yang bisa mengancam terjadinya perpecahan bangsa.
Hal ini disebabkan oleh
penyebaran isu politik identitas yang merugikan kelompok tertentu, yang bisa
berdampak pada komplik SARA. Karena rakyat lebih memilih adanya perubahan
total, dan sudah muak dengan tipu daya kebohongan dan adu domba yang dapat
memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Fenomena yang terjadi
dalam masyarakat, dimana pemimpin mengharapkan rakyat ke arah timur, justeru
rakyat memilih arah barat. Lihatlah contoh bagaimana terpuruknya polling Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto
yang diharapkan muncul sebagai pelanjut rezim, justeru rakyat banyak dari
Sabang sampai Marauke sangat mengharapkan terjadinya era perubahan.
Hal ini mereka
perlihatkan melalui sikap gotong royong dan secara sukarela berbondong-bondong
mendeklarasikan dukungan ke figur Anies Rasyid Baswedan (ARB). Semoga
masyarakat makin sadar akan pentingnya persatuan dan kesatuan, agar tidak mudah
diadu domba dan dipecahbelah demi meraih kepentingan kelompok tertentu.***
------
Penulis: Drs Achmad Ramli Karim SH MH adalah Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Mantan Ketua Bidang Advokasi & Perlindungan Hukum APSI Pusat, Ketua Koorda Alumni IPM/IRM Kabupaten Gowa.