“Baca puisi, ya?” tanya Bang Tardji sambil menepis daun-daun beringin, kemudian duduk di atas akar di samping saya.
“Ya, Bang. Tapi ini puisi iseng. Tanpa maknas,” saya menjawab diiringi ketawa kecil.
“Apakah kamu yakin kalau ada puisi yang tanpa makna?” tanya Bang Tardji lagi.
----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 08 Februari 2023
Puisi
Tanpa Makna:
Lenguh
Sapi di Kandang Sendiri
(Dialog
Imajinatif Bersama Sutardji Calzoum Bachri)
Oleh:
Andi Mahrus
(Sastrawan, Kritikus
Sastra)
Di sore yang sejuk,
daun dan ranting beringin menyisakan butir-butir gerimis. Pohon yang berusia
ratusan tahun itu meneduhkan gedung Fakultas Sastra, tempat saya kuliah di
Unhas Makassar, 1977.
Kembali dari Pusat
Kegiatan Mahasiswa (PKM) di jalan Sunu,
saya singgah di situ. Kebiasaan duduk di sepanjang akar besar menunggu teman bercengkerama.
Hari itu, Fakultas
Sastra sibuk. Besoknya, ada diskusi nasional tentang puisi konkret. Beberapa
penyair Indonesia hadir, termasuk Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Djabbar, Leon
Agusta dan Abd. Hadi.
Sambil membaca puisi
iseng, yang sengaja saya tulis tanpa makna, tiba-tiba pundak saya ditepuk
seseorang. Saya menoleh. Ternyata Bang Tardji, panggilan akrab bagi penyair
Sutardji Calzoum Bachri. Untuk acara besoknya, Bang Tardji nginap di salah satu
rumah dosen di kampus Baraya.
“Baca puisi, ya?” tanya
Bang Tardji sambil menepis daun-daun beringin, kemudian duduk di atas akar di
samping saya.
“Ya, Bang. Tapi ini
puisi iseng. Tanpa maknas,” saya menjawab diiringi ketawa kecil.
“Apakah kamu yakin kalau
ada puisi yang tanpa makna?” tanya Bang Tardji lagi.
“Ya, saya yakin. Ini
contohnya,” balas saya.
“Coba dibaca lagi,”
pintanya.
Saya pun membacakan
kembali puisi iseng yang tadi siang
(sengaja) saya tulis untuk bahan diskusi besoknya.
SESOBEK RINDU
Kutampung dukamu
ouuu...auuuuuoooo
bukitmu embun
aaaaaiiiiii uiiiii
bulan...eaaaaaaiuuu
yang kau... terluka
eeeeeeee ... Ha...ha...
Mendengar puisi yang
saya bacakan itu, Bang Tardji tersenyum pahit, lalu katanya;
“Adakah sesuatu yang
mesti ditangkap dari puisi itu?” geledahnya.
“Saya sudah bilang.
Puisi ini hanya iseng. Nihil dari makna,” jelas saya.
“Ok. Silakan berapologi.
Di sisi mana karyamu itu tidak bermakna?” lanjut Sutardji.
Saya pun menjawab
pertanyaannya dengan fasih. Saya katakan begini:
“Puisi saya ini, memang
terasa indah. Diksinya mengalir mengusung ritme yang harmonis dan nikmatnya meresap
ke lubuk hati.”
Saya terdiam sejenak.
Tardji mendelik dan matanya yang tajam melirik ke wajah saya. Kemudian, saya
lanjutkan:
“Sesungguhnya, puisi
ini hadir tanpa makna. Saya sengaja menulisnya dengan tidak membebani ideologi,
berupa pesan-pesan atau amanah di dalamnya. Saya ingin pastikan, apa benar
puisi yang indah, namun tanpa makna ini, disebut juga puisi?”
Mendengar pertanyaan
itu, Bang Tardji kembali tersenyum. Kali ini senyumnya terasa mengiris;
“Teruskan kredomu itu!”
Maka saya pun
meneruskan bicara, bahwa inilah contoh puisi yang tidak jujur. Banyak puisi
seperti ini. Puisi yang tidak memiliki makna. Hanya tumpukan kata-kata
berbentuk puisi, namun tetap juga dikirin ke media surat kabar. Lalu siapa yang
salah? Bukan redaktur, melainkan penciptanya sendiri. Dan ini sudah menjadi
tradisi di segelintir penyair. Boleh jadi ini sebentuk kolusi; persekongkolan
antara penulis dengan redaktur. Maka, puisi tanpa makna pun dimuat di rubrik
budaya surat kabar.
Tidak jarang saya
menasehati diri sendiri. Saya katakan, bahwa puisi itu adalah pancaran kecerdasan
dan kejujuran seorang penyair. Maka tulislah puisi yang cerdas dan jujur. Puisi
yang membawa pesan jiwa yang indah. Puisi yang hadir untuk menghidupkan rasa
kemanusiaan.
Bermakna atau tidaknya
suatu puisi, bergantung pada kecerdasan puitik yang kita miliki. Karena itu:
“Nikahilah bahasa dengan
sopan
Akrabilah sintaksis secara
manis
Dekapilah semantik penuh
kelembutan
Hamilkan diksi-diksi hingga
bernas
Dan lahirkanlah puisimu
seperti bayi yang menggemaskan.”
Saya terjeda. Sutardji
segera angkat wajah. Matanya merah (mungkin sejak tadi ia tidak tidur),
kemudian katanya:
“Lanjutkan.
Bagus itu.”
Tanpa peduli wajah
Sutardji yang kembali merunduk (mungkin ia baru merasa ingin tidur), saya terus
berapologi:
“Menghadirkan puisi
yang cantik dan bermoral, harus berhias dengan bahasa nurani. Leluhur Bugis berkata;
Itulah bahasa Tuhan yang terpancar dari Ati
Macinnong (kejernihan nurani), werekkada
mallise (bahasa ungkapan yang cerdas) dan dilapisi ateka malempu (permadani kejujuran). Dan ...”
“Cukup!”
Tiba-tiba Sutardji
bangkit dari duduknya. Seraya berbisik ke saya :
“Pertahankan kredomu
itu. Nanti besok dilanjut. Saya pulang dahulu. Maaf, ngantuk.”
Kami sepakat berpisah.
Pohon beringin yang rimbun itu tampak semakin kokoh. Bang Tardji sedang ngantuk.
Saya melenguh, tetapi saya bukan sapi. Entah makna apa di balik lenguh saya ini:
“Serentetan
hurup-hurup
hidup
o...i...u...eeee...
mirip puisi Tardji,
di
kandang saya
sendiri”
***
Makassar, 10 Desember
2022