-------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 04 Maret 2023
Aneh, PN Memutus Menunda Pemilu dalam Yurisdiksi PTUN
Oleh:
Achmad Ramli Karim
(Pengamat Politik &
Pemerhati Pendidikan)
Hukum publik berbeda dengan
hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang mengatur interaksi antara warga
dan Negara, serta kepentingan umum, sedangkan hukum privat adalah hukum yang
mengatur hubungan antar-manusia terkait kepentingan perorangan. Oleh sebab itu,
sengketa Pemilu masuk dalam wilayah hukum publik, karena terkait kepentingan
umum (publik).
Sebagaimana diketahui secara
umum bahwa hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari hukum publik dan
diturunkan dari Hukum Tata Negara.
Hukum administrasi
negara mengatur tindakan, kegiatan, dan keputusan yang dilakukan dan diambil
oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan (negara)
sehari-hari.
Di Indonesia sendiri,
hukum administrasi negara diuji dan dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Hukum administrasi negara atau hukum tata pemerintahan
merupakan keseluruhan hukum yang berkaitan dengan administrasi, pemerintah, dan
pemerintahan.
Secara global dapat
dikatakan bahwa hukum administrasi negara merupakan instrumen yuridis yang
digunakan oleh pemerintah untuk secara aktif terlibat dalam kehidupan
kemasyarakatan dan di sisi lain hukum administrasi negara merupakan hukum yang
dapat digunakan oleh anggota masyarakat untuk mempengaruhi dan memperoleh perlindungan
dari pemerintah.
Bahwa Pengadilan Negeri
(PN) Jakarta Pusat dalam amar putusannya memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) dari awal lebih kurang
2 tahun 4 bulan 7 hari.
Setiap putusan
pengadilan sudah sepantasnya dihormati dan ditaati jika tidak mengandung cacat
hukum yang fatal, sehingga menyebabkannya menjadi tidak dilaksanakannya putusan
tersebut.
Namun putusan PN
Jakarta Pusat tersebut atas dasar gugatan yang dimohonkan oleh Partai Prima,
telah memerintahkan KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu, adalah
putusan yang inkonstitusional dan jelas-jelas mengandung cacat hukum yang
mendasar, karena bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana diatur pada Pasal
22E, bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan setiap lima sekali.
Begitu pula putusan PN
tersebut telah melampaui kewenangan yurisdiksi, sehingga menyebabkan putusan
tersebut tidak dapat dilaksanakan (non executable).
Karena sengketa Pemilu
berkaitan dengan hukum administrasi negara atau hukum publik yang merupakan
wilayah kewenangan (yurisdiksi) Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan bukan
yurisdiksi Pengadilan Negeri. Apa maksud di balik bilik peradilan sehingga
Pengadilan Negeri (PN) memutus sengketa Pemilu yang bukan merupakan kewengan
yurisdiksinya?
Pemilu adalah sarana
perwujudan demokrasi yang melibatkan partisipasi publik (rakyat) untuk memilih
perwakilannya dari peserta Pemilu (parpol), yang akan duduk dalam legislatif (DPR/DPD)
di tingkat Pusat dan DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dalam struktur
pemerintahan, Pemilu dapat berpotensi menimbulkan ketidakpuasan terhadap
prosesnya. Salah satu bentuk ketidakpuasan tersebut dalam Pemilu dikenal dengan
“sengketa proses Pemilu.
Sengketa Pemilu meliputi
sengketa yang terjadi antara peserta Pemilu (parpol) dan sengketa antar-peserta
Pemilu dengan penyelenggara Pemilu (KPU), sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan KPU, KPU Provinsi, atau Keputusan KPU Kabupaten/Kota, sesuai dengan
Pasal 466 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Mengenai penyelesaian
sengketa Pemilu, Bawaslu Kabupaten / Kota berwenang menyelesaikan sengketa
proses Pemilu, memeriksa dan memutus sengketa proses Pemilu paling lambat 12
(dua belas) hari sejak diterimanya permohonan.
Objek
Sengketa Pemilu
UU No. 7 Tahun 2017
tentang Pemilu dalam Pasal 466 telah mengkualifikasi bahwa sengketa proses Pemilu
terjadi karena; (a) hak peserta Pemilu (Parpol) yang dirugikan secara langsung
oleh peserta Pemilu (parpol) lain, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU,
KPU Provinsi, atau Keputusan KPU Kab./Kota, atau (b) hak peserta Pemilu yang
dirugikan secara langsung oleh tindakan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kab./Kota,
sebagai akibat dari dikeluarkannya Keputusan KPU tersebut.
Untuk itu, sesuai
regulasi yang berlaku, sengketa Pemilu terbagi menjadi sengketa proses dan sengketa
hasil Pemilu.
UU Pemilu telah
memberikan kewenangan masing-masing lembaga otoritasnya dalam penyelenggaraan Pemilu.
Penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 467 dan Pasal 470 UU No. 7 Tahun 2017
sedangkan komplik antara Partai Prima dan KPU RI merupakan jenis sengketa
proses Pemilu, bukan sengketa hasil.
Kesalahan Majelis Hakim
PN Jakarta Pusat adalah memutus perkara Pemilu yang merupakan Hukum
Administrasi Negara (hukum publik) yang bukan wilayah yurisdiksi Pengadilan
Negeri, melainkan yurisdiksi PTUN.
Setiap lembaga
peradilan memiliki wilayah kerja masing-masing yang disebut dengan “yurisdiksi”.
Tidak bisa perkara hukum pidana disidangkan oleh PTUN. Demikian juga
sebaliknya, tidak bisa perkara hukum administrasi negara disidangkan oleh Pengadilan
Negeri atau peradilan umum.
Seharusnya PN Jakarta
Pusat menolak permohonan pihak pemohon dalam hal ini Partai Prima, dan tidak
melakukan proses hukum terhadap sengketa proses Pemilu tersebut. Karena
sengketa Pemilu bukan wilayah kewenangannya, melainkan wilayah yurisdiksi PTUN,
sehingga jika ada parpol yang tidak lolos dalam verifikasi administrasi karena
belum memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 173 ayat 2 UU Pemilu, maka
parpol tersebut tidak dilanjutkan memasuki tahapan verifikasi faktual.
Setiap peserta Pemilu (parpol)
harus melewati tahapan verifikasi, baik verifikasi administrasi maupun verifikasi
faktual. Syarat Parpol menjadi peserta Pemilu, selain memiliki Akte Notaris
Kepengurusan di tingkat Pusat, keterwakilan perempuan, parpol juga harus
memiliki kepengurusan di seluruh Provinsi di Indonesia (34 Provinsi).
Selain itu, setiap provinsi
harus memiliki kepengurusan 75% dalam Wilayah Kab./Kota dalam suatu Provinsi,
dan di setiap Kab/Kota harus memiliki kepengurusan 50% Kecamatan dalam
Kab./Kota atau 1000 orang per Kab./Kota ( 1/1000).
Berdasarkan hasil
verifikasi administrasi, Partai Prima tidak memenuhi ketentuan Pasal 173 ayat 2
UU No. 7 Tahun 2017 Jo Pasal 7 dan 8 Peraturan KPU No. 4/2022 berkaitan dengan
persyaratan parpol menjadi peserta pemilu.
Tidak seperti Partai
Ummat yang dinyatakan resmi menjadi peserta Pemilu 2024 setelah rekapitulasi
ulang verifikasi faktualnya memenuhi syarat (MS) di 34 Provinsi.
Selanjutnya setiap
peserta Pemilu (parpol) harus lolos dalam verifikasi faktual berikutnya, yaitu
mampu memperoleh perolehan suara di atas 4 % (ambang batas parlemen) pada Pemilu 2024.
Sudah menjadi ketentuan
dan amanah konstitusi, bahwa Pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali
dan tidak boleh ditunda kecuali dalam keadaan “darurat sipil” atau dalam
situasi perang antar-bangsa yang dikenal dengan :darurat militer”.
Oleh karenanya, setiap
komponen bangsa, termasuk lembaga peradilan, harus tunduk pada konstitusi
negara sebagai konsekuensi negara hukum tanpa pandang bulu (equality before the
law).
Proses
Adjudikasi
Proses Adjudikasi
merupakan lanjutan yang akan dilakukan jika tidak tercapainya kesepatan pada
proses mediasi. Adjudikasi dilaksanakan melalui mekanisme persidangan yang dibuka dan terbuka untuk umum.
Adapun tata cara
pengajuan permohonan, yakni pemohon atau pihak yang merasa dirugikan mengajukan
permohonan kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kab./Kota secara
tertulis dalam bahasa Indonesia, yang memuat identitas pemohon, identitas
termohon, kedudukan hukum pemohon dan termohon, dan uraian yang jelas mengenai
tenggang waktu pengajuan permohonan, serta uraian alasan pemohon.
Majelis adjudikasi yang
memimpin penyelesaian sengketa proses Pemilu paling sedikit 2/3 dari jumlah
anggota Bawaslu. Majelis adjudikasi ini dibantu oleh Tim Adjudikasi yang
merupakan tim pendukung Majelis Adjudikasi, dengan fungsi utama untuk menunjang
kerja-kerja majelis sidang Adjudikasi sengketa proses Pemilu.
Tim Adjudikasi paling
sedikit terdiri dari 4 orang pegawai Bawaslu, yang terdiri atas 1 (satu) orang
sekretaris, 1 (satu) orang asisten majelis sidang, 1 (satu) orang notulen, dan
1 (satu) orang perisalah.
Pemerikasaan permohonan
sengketa di persidangan Adjudikasi dilakukan dengan menggunakan standar hukum
pembuktian dengan alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Peraturan
Bawaslu (Perbawaslu) No. 9 Tahun 2022 tentang tata cara penyelesaian sengketa
proses Pemilu.
------
Penulis: Drs Achmad
Ramli Karim SH MH adalah Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel,
Ketua Presidium Forum Generasi Muda Islam (GEMUIS), Ketua Koorda Alumni IPM/IRM
Kabupaten Gowa.