-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 18 Maret 2023
OPINI SASTRA
Ekosistem Tahi Lalatan
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Secara umum, mazhab dapat dimaknai sebagai pendapat para pakar ilmu agama tentang hukum, mengetahui setiap jenisnya berdasarkan kajian mengenai agama Islam.
Dalam ajaran Islam, terdapat beberapa mazhab yang bisa dianut oleh setiap umat muslim, di antaranya imam; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Mazhab merupakan pandangan atau pendapat imam tentang hukum yang berlaku tentang dalil agama yang dikajinya sehingga mudah dipahami dan dipercaya akan kevalidannya.
Mazhab yang valid dapat dijadikan sebagai kaidah “mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”; sekiranya suatu urusan tidak akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya.
Alat wajib adanya, adalah menjadi dasar mazhab berpikir guna melahirkan kreativitas gerakan pembaharuan untuk saling mencerahkan, baik antara sesama manusia maupun dengan ekosistim alam yang lainnya.
Manakala ekosistem dimaknai sebagai mazhab suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya, maka ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi.
Termasuk, gerak gerik berdagelan Kelalatan dan Kemonyetan menjadi gerakan rotasi alami untuk menjadi itibar atau pembelajaran.
Maka, tantangan Tuhan dalam menggelitik logika yang berpikir waras pun akan bersemayam dalam dirinya, sebagaimana di QS Al Hajj ayat 73, __yang artinya,
“Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah.”
Manakala, esensi menyembah dan disembah menjadi dipertuankan, maka boleh jadi Lalatan lebih berarti di hadapan Tuhan dibanding tuan.
Tuan Lalatan
Kalaulah lebah berkerumun meramu tetesan sari madu jadi obatan, mungkin aku sangat menghargai kalian dengan doa bersalaman
Dikarenakan lebah sungguh berguna, _juga mereka saling menghargai satu sama lain, dan melepas belenggu bungkusan arogansi pengabdiannya_
Tetapi, kalaulah hanya kerumunan bagaikan lalat hijau _dan kesannya bertuan bah pengrajin yang hanya pandai meramu butiran telur belatung temurun untuk membangkaikan raga berongga jiwa alami_
Maka, _ jujur mata jiwa apapun tiada akan mengenang_ apalagi menghargai raga arogansi demikian, _dan kesannya tuan hanya bah lalatan,juga telah melampaui lupa daratan dari tapak jejak berjiwa ketulusan_ nan dititahkan QS. Al-Fajr:27-30:
“Yaa Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah, irji'i ilaa rabbiki raadhiyatam mardhiyah, Fadkhuli fii'ibadi, wadkhuli janaati: Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoi-Nya.
Lebih elok kita bersalaman dengan berekosistem diridhai oleh Tuhan menjadi poros keyakinan tanpa mengingkarinya.
Tentu, Tuhan tak akan ingkari takdirNya manakala hambaNya tetap pada rotasi yang dilandasi keyakinan sejati tanpa mendustai iqrar janjinya dengan fondasi cinta, sebagaimana dititahkanNya dalam QS. Al-Fajr:27-30 di atas.
Sekalipun, dengan jujur terkadang kita berkelahi dengan naluri birahi duniawi nan fana berdimensi fauna semata__ guna keluar dari bingkai demikian sehingga tidak sampai berdomain primata Monyetan.
Monyetan
Banyak orang berantipati dengan kelakuan monyetan. Dikarenakan kelakuannya yang tidak berperi kemonyetan pada saat perebutan dan saling menguasai rampasan makanan.
Tetapi, giliran dirinya bahkan lebih dari kelakuan monyetan bila dalam posisi kekuasaan, dengan memilih diksi dibalutin jubahan agama demi kemaslahatan.
Sungguh ambigiutas Tarsanan
Padahal bukan lagi logika terkadang _ namun, orang selalu berfilosofis jubahan monyetan, terpenting diri untung tak perduli dengan yang lain buntung_ asal pipi membekak, tangan, kaki, kiri_kanan pegang, sekalipun dengkulannya tak bisa digendonginnya___
Mungkin kehadiran goresan inipun, tidak dapat dipungkiri akan hadir pro kontra; suka atau tidak, bahkan bergundam hingga munncul rasa kebencian. Namun, hal wajar tidak mesti diambil hati dengan kebencian pula, __tetap berprinsip ekosistem;
Kalau ada membencimu hingga dia pening berkunang-kunang__
Biarkan,_kita tetap taburkan rasa cinta berongga tiada berhingga kepadaNya_ dengan ekosistem nurani keyakinan masing-masing.
Sekalipun, ekosistim kencintaan kita berupa setitik tahi lalatan sebagai pemanis aura wajah diberkahi Tuhan. Wallohu 'alam bisawab
…...
UHAMKA Jakarta dan Unismuh Makassar tetap Mencerahkan ekosistem pendidikan yang berkemajuan dan berkeadaban tinggi.