Pada hakikatnya wacana penundaan Pemilu guna menghindari konflik adalah rekayasa politik dan kudeta konstitusi yang dilakukan dengan sengaja, karena melanggar konstitusi. - Achmad Ramli Karim - |
------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 09 Maret 2023
Mewaspadai
Konflik Tunda Pemilu Rekayasa Politik dan Kudeta Konstitusi
Oleh:
Achmad Ramli Karim
(Pengamat Politik &
Pemerhati Pendidikan)
Tahapan dan jadwal
penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah secara resmi ditetapkan oleh
Pemerintah melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 3 Tahun 2022.
Dengan terbitnya
peraturan KPU ini, maka semua pihak harus menghormati keputusan Pemerintah dan
mengikuti seluruh tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pemilu 2024 tersebut.
Dengan ditetapkannya
peraturan KPU No. 3 Tahun 2022, maka penyelenggaraan Pemilu 2024 harus
terlaksana sesuai tahapan dan jadwal Pemilu yang telah ditetapkan, untuk menghindari
emage negative dan kemungkinan terjadinya konfllik.
Untuk itu,
penyelenggaraan Pemilu 2024 tidak bisa ditunda lagi karena telah ditetapkan
tahapan dan jadwal penyelenggaraanya, kecuali terjadi keadaan darurat di satu
tempat atau konflik di wilayah tertentu. Penundaan Pemilu pun hanya berlaku bagi
daerah yang terkena bencana atau disuatu wilayah konflik (keadaan darurat).
Sesuai dengan amanat
Pasal 2 Peraturan KPU No. 3 Tahun 2022, Pemilu dilaksanakan secara efektif dan
efisien dengan memperhatikan asas yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil (Luber dan Jurdil).
Selanjutnya dalam
penyelenggaraan Pemilu, penyelenggara (KPU, Panwas, Bawaslu) wajib melaksanakan
Pemilu berdasarkan prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib,
terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efekti dan efisien.
Prinsip-prinsip
tersebut harus menjadi acuan dan pedoman bagi penyelenggara Pemilu dalam
menyelenggarakan Pemilihan Umum 2024 nanti. Sebab dengan mengikuti acuan
tersebut, niscaya penyelenggaraan Pemilu 2024 akan berlangsung dengan aman
tanpa konflik.
Kecuali jika
penyenggara Pemilu memiliki niat curang (terselubung) untuk membuat kesepakatan
bersama (politik transaksional). Sebab dengan niat curang sebelumnya, pasti
akan melahirkan kewaspadaan dan keraguan, akan munculnya kegagalan.
Mengamati kondisi
perpolitikan nasional sekarang ini, dan melihat fakta kondisional di tengah-tengah
masyarakat, seperti langit dan bumi, jauh harapan dan kenyataan atau antara Das
Sollen dan Das Sein tidak sejalan, kenapa?
Karena harapan regulasi
yang ditetapkan pemerintah (eksekutif dan legislatif) telah menetapkan tahapan
serta jadwal penyelenggaraan Pemilu. Begitu juga prinsip-prindip yang harus
menjadi acuan dan pedoman bagi penyelenggara (KPU, Panwas, Bawaslu), melalui
Peraturan KPU No. 3 Tahun 2022.
Namun sayang seribu sayang,
tidak selamanya idealisme sejalan dengan kenyataan yang dilakonkan oleh
penyelenggara. Karena terkadang idealisme dan harapan yang seharusnya sesuai
aturan atau regulasi (Das Sollen) adalah hal yang tidak dikehendaki oleh
kelompok penyelenggara itu sendiri (Das sein).
Akibatnya dapat
melahirkan rasa kekhawatiran dan keraguan akan menuai kegagalan. Apalagi jika
penguasa (rezim) memiliki harapan agar penggantinya nanti adalah sosok yang
diinginkannya, sementara masyarakat umum (publik) sepertinya memiliki keinginan
yang berbeda, sudah pasti akan melahirkan rasa was-was dan keraguan bagi rezim
yang berkuasa.
Pada hakikatnya wacana
penundaan Pemilu guna menghindari konflik adalah rekayasa politik dan kudeta
konstitusi yang dilakukan dengan sengaja, karena melanggar konstitusi.
Dimana roda pemilihan
umum itu sendiri, berputar setiap lima tahun sekali sebagaimana diatur dalam
UUD 1945 pada pasal 22 E (1): “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Begitu juga
melanggar Peraturan KPU No. 3 Tahun 2022.
Bagaimana bisa seorang
Pimpinan Parpol sekaligus Menteri dalam kabinet rezim berkuasa, mengusulkan
penundaan Pemilu untuk menghindari konflik horisontal. Sementara ia sendiri
diduga terlibat merancang dan merekayasa perpanjangan masa jabatan tersebut
yang merupakan sumber konflik itu sendiri.
Justru yang memicu konflik
adalah mereka para promotor yang merancang tiga periode masa jabatan Presiden,
perpanjangan jabatan termasuk perpanjangan masa jabatan Kepala Desa, atau
penundaan Pemilu, baik melalui isu, propaganda, maupun melalui regulasi.
Ini berarti seorang
maling berteriak memberi pesan kalau sedang terjadi pencurian.
Rakyat dan peserta Pemilu
tidak memiliki potensi untuk berbuat curang karena tidak punya peluang untuk
itu. Justru penyelenggara Pemilu yang punya potensi berbuat curang karena
memiliki peluang tersebut.
Oleh karena itu, konflik
horisontal yang dikhawatirkan akan terjadi adalah tipu daya dan rekayasa
politik, untuk menutupi dugaan rencana kecurangan yang mudah terbaca oleh
publik.
Dan jika rencana
penundaan Pemilu tersebut jadi terlaksana, maka hal itu merupakan rekayasa
kudeta konstitusi yang tidak boleh dibiarkan. Sebab tidak ada hal yang perlu
dikhawatirkan oleh rezim dan penyelenggara Pemilu, jika berjalan pada rel yang
telah ditetapkan oleh pemerintah.
Pada dasarnya tidak
akan lahir konflik horisontal dengan isu SARA, jika tidak ditanam (dirancang)
sebelumnya oleh pihak berkepentingan di balik konflik tersebut. Sebab bangsa
Indonesia sudah berabad-abad hidup di Nusantara dengan damai tanpa konflik, kecuali
air jernih itu bisa keruh jika diaduk.
Secara jujur, rasa
takut dan was-was kelompok tertentu yang berkepentingan akan kegagalan jika Pemilu
dilaksanakan 2024, sehingga dapat diduga menghindari kegagalan tersebut.
Rekayasa komplik
diurungkan dan mengganti dengan rekaya politik menunda Pemilu dengan berlindung
di balik isu konflik itu sendiri. Karena kelompok ini telah membaca sinyal
politik publik dan ragu menuai kegagalan.***
------
Penulis: Drs. Achmad
Ramli Karim, SH.,MH adalah Ketua Dewan Kehormatan APSI Provinsi Sulsel, Anggota
AP3Knl Sulsel, Alumni PMP/PKn Angkatan 81 FKIS IKIP Ujungpandang, Alumni FH 92
UMI Makassar.