------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 30 Maret 2023
OPINI SASTRA
Puasa,
Korupsi, dan Ular Piton
Oleh:
Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi,
Budayawan)
Tahun 2013, saya
menggores topik, “Puasa, Pemimpin vs Ular Piton”, dan ini telah dinukilkan di
dalam buku “Mamonisme: Doridungga berhingga BJ Habibie dalam diksi Bermada
Cinta” (2019). Nukilannya, setelah dimodivakasi, yakni sbb.
Bulan tak pernah
Tukazdziban (dustakan) adalah Bulan Ramadhan. Bukan hanya bulan dimaknai dengan
“tidak minum dan tidak makan”, akan tetapi bulan penghapusan dan pembakaran
dosa-dosa.
Sejak kita berniat
berpuasa pada esok hari, artinya kita juga hijrah ke arah kebaikan dan
meneruskannya hingga ke akhir hayat. Padatnya, bulan Ramadhan adalah bulan
pembakaran dan penghapusan segala dosa-dosa sebagaimana sabda Nabi: “Barangsiapa
yang berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan berharap ridha Allah, maka akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Al-Bukhari)
Dan insya Allah
keesokan hari akan berjumpa makna daripada sabda yang artinya: (Malam) Lailatul
Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan)
keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.” [Tahayalisi
349, Ibnu Khuzaimah 3/231, Bazzar 1/486, sanadnya Hasan]
Tentu hal ini, diyakini
dengan berdasarkan kedalaman iman dalam wujud dihadirkan rasa keadilan; minimal
jujur pada diri sendiri, pada keluarga, dan terutama sekali kepada diri sebagai
seorang pemimpin pemerintahan.
Sesungguhnya, Allah
akan memberikan tempat yang paling mulia di dunia dan di akhirat, bagi siapa
saja; terutama kepada pemimpin yang adil yang mesti bertanggungjawab kepada
Allah dan manusia dipimpinnya.
Pemimpin yang akan
menjadi contoh terbaik dalam perilaku keseharian, minimal dalam melahap
makanan, baik pada bulan puasa maupun di bulan yang lainnya, agar sesuai dengan
firman Allah QS Al Mu'minun ayat 25, yang artinya, “Wahai para Rasul, makanlah
dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal saleh.”
Dengan sumber makanan
yang baik, maka seseorang akan menjadi baik dan benar, cepat dan tepat di dalam
bertindak, terutama di saat ia sebagai seorang pemimpin. Dia (pemimpin) tidak
akan lamban bertindak seperti Ular Piton berperilaku setelah melahap mangsanya
yang lebih besar, di mana geraknya pun menjadi lamban. Itu karena perutnya
perlu masa lama untuk memroses pengolahan mangsa yang besar di dalam ususnya.
Kemudian, di dalam Unikgaul
(2011) dijelaskan bahwa; selama pengolahan makanan itulah, ular bisa tahan
tidak makan dan minum, atau berpuasa selama berhari-hari, hingga 2, 3 minggu,
dan bahkan sebulan.
Saat berpuasa penuh,
biasanya ular tidak akan melakukan aktivitas apa-apa kecuali hanya akan
bersembunyi, berdiam diri dan atau merendam diri dalam air, namun setelah masa
puasa berakhir akan tampak lebih agresif, ganas, dan aktif dalam mencari mangsa
untuk dilahapnya lagi.
Mirip gaya bahenolan
para pelakon dagelan pengalihan isu rupiah, demi recehan hingga triliunan
melebihi kepitonan.
***
Semoga perilaku Ular
Piton ini tidak menjadi sifat yang diidentikkan sebagai sifat diri seorang
pemimpin dan kita dalam perilaku setelah berpuasa ramadhan namun sifat tersebut
mestinya dibakar habis, baru bisa terbebas dari dosa-dosa, … kalau tidak, ya
masih berasaskan puasa Tukazdziban bah pemimpin vs Ular Piton.
Namun, ular Piton
memang sunnahtullahnya mesti demìkian menjadi takdirnya, memang memangsa buruan
dari jebakannya, dan bukan hasil korupsian. Sekalipun, ular Piton tak mengenal
kasihan dengan menelan tanpa ampun dan tersisa, itu dianggap wajar ia melahap
dari hasil keringat sendirinya dalam berburunya. Bukan dari hasil korupsi
dengan merampok uang rakyatnya __atasnamakan kekuasaan dalam gaya kesilumanan
pitonannya.
Puasa,
Korupsi dan Ular Piton
Tabir di balik Ramadhan
yang penuh berkah ini, adalah menjadi prosesi tahanus sujud guna menembus tirai
pengendalian diri di dalam penguasaan egoisme, dan juga sebagai usaha mengatasi
kesenangan-kesenangan jasmani demi meraih keridhoan dan kecintaan Allah yang
penuh berkah.
Kedekatan kepada-Nya
yang didasarkan kepada sifat ikhlas dan kasih sayang sehingga tujuan akhir daripada
nilai taqwa adalah sesuai firmaNya; “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu,
agar kamu bertakwa" (QS al-Baqarah:183). Hal ini hingga tercapai dan
teraplikasi dalam kehidupan 11 bulan yang akan datang.
Secara teori syariat
dan makrifat, Ramadhan hadir sebagai pengendali dan obat bagi jiwa yang telah
lama dihiasi oleh kecenderungan hawa nafsu yang sesaat membisikkan kalbu, atas
konsumsi yang berlebihan, minimnya empati dan simpati terhadap sesama yang
selama 11 bulan terdahulu menjadi hal yang biasa dan tidak bisa hilang karena
ego yang membabi buta.
Sebenarnya, Ramadhan
tidak hanya memiliki agenda ritual pribadi semata, lebih dari sekedar ibadah
mahdlah tetapi juga ghairumahdhah. Ibadah ghairumahdhah atau umum ialah segala
amalan yang diizinkan oleh Allah. Ibadah ghairumahdhah misalnya; belajar,
dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya.
‘Ramadhan menyimpan
banyak tabir misteri mengenai keutamaan yang ada di dalamnya. Sehingga banyak
kajian ilmu pengetahuan saintik dari syariat hingga hakikat, dengan berupaya
mengungkap makna yang tersembunyi di balik Ramadhan yang penuh berkah ini’
(Suwardi, 2013).
Ketika tidak sedang
puasa, baik pada makan sahur atau berbuka puasa, kita bisa bebas menyantap
makanan apa saja akan tetapi janganlah berlebihan bah ular Piton;
Sesungguhnya (Allah)
tidak suka kepada mereka yang berlebih-lebihan.” (Al-’Araf: 31). Hal tersebut
kenapa demikian, sebab di samping membuat diri kita malas, juga bisa
menyebabkan perut sakit.
Walaupun hadist ini
sanadnya mungkin dhaif, namun tak mengapalah sebagai panduan kata: “Makanlah
ketika kamu lapar dan berhentilah sebelum kamu kenyang.”
Selanjutnya, Nabi SAW
bersabda: “Tidaklah anak Adam itu memenuhi bekas yang paling hina dari
perutnya. Sesungguhnya yang memadai anak Adam itu makan beberapa suap yang
membolehkan berdiri tulang belakang (bekerja kuat). Sekiranya, ia tidak mampu
melakukan (makan yang sedikit itu), maka hendaklah ia membagikan perutnya sepertiga
untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk
pernafasan.
Allah berfirman yang
artinya ”Wahai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah
amal shaleh (QS AL Mu`minun 23:51).
Oleh kerana itu, ibadah
puasa adalah sebagai satu latihan untuk mengawal akan makan dan minum seseorang
agar supaya kita senantiasa menjaga makanan dan minuman yang berguna untuk
kesehatan yang baik dan benar.
Apabilah demikian, maka
tidak akan melakukan yang tidak benar seperti melakukan kebohongan dan korupsi.
Orang melakukan perbuatan buruk seperti korupsi, bila dilihat dari sudut
psikologi menurut Hariyanto Imadha (2009); adalah “orang melakukan korupsi
karena tidak mampunya mengendalikan rasio dan emosi secara positif. __
Terpenting, memanfaatkan kesempatan korupsi yang terbuka lebar. Apalagi ada
kemauan dan kemampuan untuk melakukan korupsi. Maka, faktor kesempatan, kemauan
dan kemampuan korupsi didukung lemahnya pengendalian rasio dan emosi secara
positif, maka terjadilah korupsi itu” dengan jangkauan rasionya hanya bah ular
piton melahap bulat-bulat mangsanya tanpa tersisa!
Maka, sudah seharusnya
orang yang melakukan korupsi berasio gaya puasa ular Pitonan, mungkin akan lebih
elokan dilakukan hukuman tegas berkeadilan sesungguhnya gaya pitonan
pula._Kalau pantas dan patut diberikan gelar pemangsa bah Pitonan,_ Atau
sekalian saja bila tidak berlebihan, lebih baik digiring ke lubang Piton
raksasa yang sedang habis masa penetrasi dalam semedinya dari berpuasa
sebulanan hingga syawalannya.
Maka, hingga kiamat pun
mungkin tidak ada yang akan nekat mau korupsian, lebih memilih kutukan menjadi
gaya pitonan triliunan sekalian saja.
Wallohu'alam bissawab
..
UHAMKA Jakarta dan
Unismuh Makassar, tetap berekositem dalam Mencerahkan Pendidikan yang
berkeadaban, _Tentu menjauhi kesan pitonan dalam berkuasa dan berpuasa_