--------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 21 Maret 2023
Strategi
Politik Dakwah Datuk Ri Bandang di Timur Nusantara Lahirkan Pemimpin Amanah
Oleh:
Achmad Ramli Karim
(Pengamat Politik &
Pemerhati Pendidikan)
Datuk ri Bandang
merupakan muballigh pertama penyebar Islam di wilayah Sulawesi Selatan, yang atas
jasanya, Islam menjadi agama mayoritas rakyat Gowa-Tallo pada awal abad ke- 17.
Datuk ri Bandang (Abdul
Makmur) dengan gelar “Khatib Tunggal” adalah seorang ulama dari Minangkabau yang
menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di wilayah Timur Nusantara, yaitu
Kerajaan Luwu, Gowa, Tallo, dan Kerajaan Gantang (Sulawesi), serta Kerajaan
Kutai (Kalimantan) dan Kerajaan Bima (Nusa Tenggara).
Sejak kedatangannya
pada penghujung abad ke-16, Datuk ri Bandang bersama dua orang saudaranya yang
juga ulama, yaitu: Datuk Patimang (Datuk Sulaiman) dengan gelar “Khatib Sulung”,
dan Datuk ri Tiro (Nurdin Ariyani) dengan gelar “Khatib Bungsu” bersama
temannya “Tuan Tunggang Parangan” melaksanakan dakwah Islam hingga akhir
hayatnya.
Pada mulanya, Datuk ri
Bandang bersama Datuk Patimang melaksanakan dakwah Islam di wilayah Kerajaan
Luwu, sehingga menjadikan kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara yang menganut agama Islam.
Dengan pendekatan dan
metode yang sesuai, dakwah Islam yang dilakukan Datuk ri Bandang dan Datuk
Patimang dapat diterima Raja Luwu dan masyarakatnya.
Pada awalnya, Datuk ri
Bandang berdakwah di Makassar (Kerajaan Gowa-Sulsel), tetapi karena situasi
politik kolonialisme yang belum kondusif dan belum memungkinkan meneruskan
dakwahnya, maka Datuk ri Bandang memilih pindah ke Kerajaan Kutai (Kalimantan)
dan melaksanakan dakwah Islam bersama temannya Tuan Tunggang Parangan di
kerajaan tersebut.
Namun akhirnya dia
kembali lagi ke- Gowa karena melihat kondisi politik yang juga belum kondusif,
sedangkan temannya Tuan Tunggang Parangan tetap bertahan di Kutai, dan pada
akhirnya berhasil mengajak Raja Kutai (Raja Mahkota) beserta seluruh petinggi
kerajaan masuk Islam.
Setelah kembali lagi
ke- Makassar Datuk ri Bandang bersama dua orang saudaranya, yaitu Datuk
Patimang dan Datuk ri Tiro, menyebarkan
agama Islam dengan cara membagi wilayah dakwah mereka berdasarkan keahlian
masing-masing yang mereka miliki dan sesuai kondisi serta budaya masyarakat Sulsel
atau budaya Bugis/Makassar ketika itu.
Datuk ri Bandang yang
Ahli Fikih berdakwah di Kerajaan Gowa dan Tallo, sedangkan Datuk Patimang yang Ahli
Tauhid melakukan dakwah Islam di Kerajaan Luwu, sementara Datuk ri Tiro yang Ahli
Tasawuf , berdakwah di daerah Tiro (Bantaeng) dan Bulukumba.
Pada mulanya, Datuk ri
Bandang bersama Datuk Patimang melaksanakan dakwah Islam di wilayah kerajaan
Luwu, sehingga menjadikan kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulsel, Sulteng
dan Sultra yang menganut agama islam.
Dengan pendekatan dan
metode yang sesuai, dakwah Islam yang dilakukan Datuk ri Bandang dan Datuk
Patimang dapat diterima Raja Luwu dan masyarakatnya.
Bermula dari masuk Islam-nya
seorang petinggi kerajaan yang bernama Tandi Pau, lalu berlanjut dengan masuk Islam-nya
Raja Luwu yang bernama La Pattiware Daeng Parabung, pada 4-5 Februari 1605,
beserta seluruh pejabat istananya setelah melalui “dialog yang panjang” antara
sang ulama dan raja tentang segala aspek agama baru yang dibawa itu.
Setelah itu agama
Islam-pun dijadikan agama kerajaan dan hukum-hukum yang ada dalam Islam-pun
dijadikan sumber hukum bagi kerajaan.
Datuk ri Bandang
merupakan ulama yang pertama kali memperkenalkan orang Makassar dengan Islam.
Pada sejumlah literatur disebutkan, Datuk ri Bandang berperan memperkenalkan
ajaran Islam kepada Raja Tallo dan Raja Gowa di awal abad ke- 17.
Berkat pengaruhnya,
Mallingkaan Daeng Manyonri yang juga Raja Tallo XV, bersedia memeluk Islam. Dia
merupakan orang pertama di Sulsel yang memeluk Islam melalui pengaruh Datuk ri
Bandang. Oleh karena itu pula, Kerajaan Tallo sering disebut-sebut sebagai
pintu pertama Islam di daerah ini.
Setelah Raja Tallo
memeluk Islam, menyusul Raja Gowa XIV Sultan Alauddin, yang mengucapkan dua
kalimat syahadat.
Setelah proses peng-Islam-an
berlangsung di kalangan istana, Raja Gowa kemudian secara resmi mengumumkan
bahwa Kerajaan Gowa dan seluruh daerah kekuasaannya resmi beragama Islam. Sejak
saat itu pula, Datuk ri Bandang diberi keleluasaan untuk mengajarkan Islam
kepada rakyat Gowa-Tallo.
Sebelum masuknya agama
Islam di Sulsel, masyarakat masih menganut kepercayaan animisme. Setelah
memeluk Islam, Sultan Alauddin juga berupaya menyebarkan Islam ke kerajaan
tetangganya, antara lain kerajaan Soppeng (1607), Wajo (1610), dan Bone (1611).
Sultan Alauddin bahkan masih
melanjutkan penyebaran Islam ke Buton, Dompu (Sumbawa), dan Kengkelu (Tambora,
Sumbawa). Dispersip.kamparkab.go.id. (http://id.wikipedia.org/wiki/Datuk_R)
Begitu juga dakwah para
Wali Songo di Pulau Jawa. Mereka berdakwah dengan damai penuh kelembutan dan
menggunakan pendekatan budaya masyarakat setempat dan berbagai macam media
dalam penyampaiannya. Dakwah yang santun dan tidak menggunakan kekerasan,
dimana saat Wali Songo berdakwah belum ada agama lain yang masuk di Pulau Jawa.
Tertulis melalui tinta
emas dalam sejarah Islam di Indonesia, bahwa Datuk ri Bandang bersaudara sangat
mahir dan lihai memainkan strategi politik dakwahnya, sehingga mampu melakukan
pendekatan kekuasaan kepada raja-raja penguasa di belahan timur Nusantara.
Akibatnya, raja-raja di
belahan timur Nusantara berhasil meng-Islam-kan rakyatnya secara totalitas
melalui kekuasaannya. Demikian juga secara nasional para ulama telah berhasil
melakukan pendekatan strategi politik dakwah yang jitu, guna membentuk watak
dan karakter Nasionalis-Islami bagi para pemimpin Nusantara (raja-raja).
Pendekatan
Kebudayaan
Sejarah mencatat Datuk
ri Bandang bersama saudaranya dengan keahlian masing-masing yang berbeda,
tetapi sepakat berdakwah dengan menggunakan pendekatan politik kekuasaan,
kultur dan budaya masyarakat setempat (budaya Bugis/Makassar), sedangkan para
Wali Songo (wali sembilan) di Pulau Jawa, juga berdakwah dengan menggunakan
pendekatan kebudayaan.
Sama seperti Datuk ri
Bandang, Wali Songo juga menyebarkan agama Islam menggunakan pendekatan
kebudayaan dengan menyerap seni budaya lokal (ajaran Hindu-Budha) yang
dipadukan dengan ajaran Islam seperti tembang Jawa, gamelan, wayang, upacara
adat yang digabungkan dengan unsur-unsur Islam.
Mereka memasukkan
nilai-nilai agama Islam ke dalam budaya tersebut, sehingga kedua unsur dalam
ajaran Hindu-Budha bergabung bersama unsur ajaran Islam membentuk sebuah
keserasian.
Strategi dakwah Wali
Songo pun masih dapat dilakukan di era globalisasi sekarang melalui seni budaya
dan medsos seperti berdakwah melalui syair lagu bernuansa Islami, mempublish
kata-kata yang mengandung nilai-nilai ajaran Islam, hal tersebut tentu akan
membawa pengaruh kepada masyarakat yang lebih luas.
Wali Songo menggunakan
kebudayaan sebagai metode penyebaran Islam, seperti Sunan Kalijaga mengenalkan
ajaran Islam lewat pertunjukan wayang. Dia memiliki kemampuan yang menakjubkan
sebagai dalang wayang yang ahli memainkan wayang.
Bahkan dulu dalam
sejarah kita mengenal Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam tertua setelah Kerajaan
Perlak di Aceh. Kerajaan Perlak yang berlokasi di Aceh bagian timur, yang
didirikan pada tahun 840 Masehi. (http://Indonesia baik.id.infografis).
Berdasarkan sejarah
bangsa tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa Nusantara dan bangsa Indonedia
dibangun oleh para ulama, di atas fondasi nilai-nilai dan peradaban Islam.
Untuk itu, tidak
sepantasnya kekuatan politik dan kelompok tertentu (oligarki), mencita-citakan
atau mengubah fondasi bangsa Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi
negara yang berhaluan kemerdekaan dan kebebasan mutlak di atas paham
sekuler-sosialis, melalui pendekatan kepentingan (politik transaksional),
amandemen UUD, dan kudeta konstitusi.
Dari sejarah pula kita
mengenal bahwa karena kebodohan rakyat dan buta politik, sehingga dapat dipecah
belah melalui politik devide et invera
oleh Belanda di zaman kolonialisme (ronrongan dari luar).
Begitu juga rakyat
berhasil dipecah dan diadu domba melalui politik pecah belah bambu, oleh PKI (Partai
Komunis Indonesia) di Masa Orde Baru (ronrongan dari dalam).
Sekarang di saat bangsa
kita maju di segala aspek, justru diperhadapkan pada ancaman, tantangan,
hambatan, dan gangguan (ATHG) yang lebih serius, akibat percaturan politik
global dan kepentingan ekspansi negara kapitalis pada negara yang memiliki
kekayaan alam (SDA) yang melimpah seperti Indonesia.
Di sisi lain, secara
internal, muncul indikasi kebijakan publik yang cenderung melahirkan konsep
sekulerisme, yang memisahkan antara agama dan politik kekuasaan.
Karena secara
prosfektif bisa berdampak pada runtuhnya kedaulatan negara dan bubarnya bangsa
Indonesia sendiri. Artinya, ke depan, bangsa kita bisa mengalami degradasi dan
dekadensi moral, karena kebijakan publik yang memisahkan antara politik atau
sistem pemerintahan dengan agama, dimana agama menjadi urusan pribadi
masing-masing, khususnya terkikisnya peradaban Islam dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.***
------
Penulis: Drs Achmad
Ramli Karim SH MH adalah Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi
Sulsel, Ketua Presidium Forum Generasi Muda Islam (GEMUIS), Ketua Koorda Alumni
IPM/IRM Kabupaten Gowa.