-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 26 Maret 2023
OPINI SASTRA
Tumbuhan
pun Berpuasa
Oleh:
Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi,
Budayawan)
Mengenang pada tahun
2013, saya pernah menggores “Tumbuhan pun Berpuasa” dengan aroma gaya bahasa
Melayu yang lebih kurang berikut ini:
Esensi puasa tidak
hanya menjadi tradisi umat Islam, melainkan juga menjadi tradisi banyak agama
dunia (Ghafur, 2011): Yahudi, Kristen, Hindu, dan Budha dengan kadar kapasiatas
masing-masing, dan sesuai apa yang diyakininya.
Puasa juga bukan menjadi
aktivitas manusia saja, melainkan juga menjadi aktivitas sebagian binatang dan
tumbuh-tumbuhan.
Misalnya, pohon jati
pun, sering melaksanakan puasa, terutama di musim kemarau, dan begitu pula
pohon-pohon yang lainnya.
Menurut Abdul Basith
Jamal & Daliya Shadiq Jamal (2011) “Tumbuh-tumbuhan sebagai makhluk hidup
terdiri dari batang tubuh dan berbagai jaringan sel dan sel. Sel
tumbuh-tumbuhan ini mempunyai kelebihan dibandingkan sel makhluk hidup lainnya.
Ia, mempunyai lapisan plasma yang memiliki kemampuan untuk melakukan penyeleksian
sesuai kehendaknya.”
Berdasarkan kajian,
tumbuh-tumbuhan, terutama yang berbiji belah (dicotyl) berpuasa pada setiap
tahun pada musim gugur. Daun bukan saja berfungsi sebagai menahan pengapan,
menampung cahaya, menyerap udara, malah berfungsi sebagai pengasimilasian serta
mengatur makanan.
Sesudah musim gugur,
daun muda mulai tumbuh disusul musim bunga dan berbuah. Bagi tumbuh-tumbuhan
yang musim gugur daunnya tidak teratur, berakibat datangnya musim buah yang
tidak sempurna pula, namun ia tetap melakukan puasa sesuai kadarnya masing-masing.
Terlepas, benar atau
tidak kajian tersebut, jelas kita meyakini akan ayat Allah QS. Ar-Ra’d : 4,
yang artinya:
“Dan di bumi ini
terdapat bagian-bagian yang berdampingan dan kebun-kebun anggur, tanam-tanaman
dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air
yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain
tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Kenapa kita tidak berpikir
bahwa tiadalah sia-sia, semua apa yang diciptakan dan diperintahkan oleh Allah
kepada makhlukNya, tentu untuk dinikmati dan direnungkan dengan pikiran
menggelitik, sebagaimana QS Ar Rahman Ayat 13 dan seterusnya, berhingga
diulang 31 kali dari 78 ayat, dan artinya: “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah
yang kamu dustakan?”
Tentu, kita tidak ada
yang bisa berdusta di hadapan Tuhan. Sekalipun telah sering melakukan dusta di hadapan
sesama tanpa mesti diingkari, __memang telah mungkin selalu terjadi. Manakala,
kita jujur apa adanya pada diri selagi berpuasa sehingga tidak seperti Hyaina
dibandingkan pula sebagai strata tingkatan kerakusannya, baik dalam berpuasa
maupun saat tidak berpuasa.
Puasa
Agar Tak Hyaina
Esensi puasa sebenarnya
supaya diri tidak rakusan, dengan bercermin pada saat berbuka dan sahur dalam
menyantap makanan sekedarnya.
Namun, terasa
nikmat dan bahagia sungguh luar biasa__ sekalipun dengan segelas air putih dan
sebutir kurma pun terasa puas dalam menghilangkan dahaga rasa lapar seharian__
Jadi, puasa sebenarnya
membakar arogan raga agar tidak rakusan berlebihan dalam kebuasan untuk
memangsa kehidupan dunia yang penuh kefanaan sehingga menjadi fauna hyaina yang
hina__
Namun, domain kata hina
fauna Hyaina di atas ini, tentu tidak sama dengan esensi dihina oleh orang
lain, sebagaimana goresan berikut ini
Alhamdulillah,
Telah Dihina
Walau, susah memang
pada awalnya menerima, bila kita dihina atau dicacimaki. Apalagi, datangnya
tiada duga-duga dengan tiba-tiba tanpa ada angin dan hujan. Sungguh menyakitkan
hati, dan itu wajar sebagai manusia biasa.
Namun, manakala kita
tanggapi, _setimpal dengan apa yang dihinakan; dan apakah itu lebih bisa
menguntungkan atau justru kita semakin setara dengan penghina itu sendiri atau
justru sebaliknya.
Logisnya, sebagai orang
cerdas dan berhati manusia beriman tak akan melakukan penghinaan terhadap
sesama manusia. Walaupun, berbeda suku dan ras sekalipun. Tetapi, justru berdoa
agar sesama lebih baik, manakala dinilai ada kekurangannya, dan itu lebih utama
dijamin lebih mulia.
Dan kita dihina
sekalipun, dianjurkan untuk berdoa semoga penghina menyadari akan dirinya yang
telah merendahkan dirinya sendiri. Dikarenakan esensi menghina sesama mahluk
Tuhan; _sama dengan menghina dirinya sendiri lebih hina dan lebih melata dari
binatang melata sekalipun atau asfala safilin.
Maka, ucapan termulia
yang dipuji oleh Tuhan, ketika ada penghinaan kepada kita, adalah ucapkan
alhamdulillah!
Kenapa diucapkan alhamdulillah,
karena orang yang mudah menghina orang lain adalah bukan orang yang mulia.
Jangan-jangan dia lebih
hina dari orang yang sedang dia hina. Sebagaimana Firman Allah dalam QS Al-Hujarat,
ayat 11, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari
mereka yang mengolok-olokan.”
Dan terbukti jejak itu
dalam sejarah, baik kepada para kaum Nabi Adam hingga Rasulullah SAW pun telah
dihina, namun buktinya Kaum Nabi-nabi tersebut tetap Mulia bukan?
Logisnya, kita doakan
agar penghina dibukakan pintu hati nuraninya oleh Allah sehingga menyadari
dengan tulus, dan mau bertobat agar dirinya tidak terhina di mata Tuhan dan
manusia serta pada tumbuhan sekalipun.
Berharap, semoga
menyadari dirinya dengan renungan yang dalam, bah tumbuhan yang dengan penuh
keyakinan sejati seperti pohon jati, sekalipun daunnya berguguran tetap
berpuasa guna pengabdian kepada Tuhan-nya.
Semoga
Wallahu a’lam bissawab
...
UHAMKA Jakarta dan
Unismuh Makassar, tetap berekosistem dalam Mencerahkan Peradaban Dunia, _tanpa
mengingkari Nikmat Tuhan yang Sesungguhnya_