Bioskop di Makassar dulu begitu banyak bertebaran di sudut-sudut kota. Bioskop-bioskop itu memajang baliho-baliho film nasional dan film produksi dari mancanegara yang menghias setiap gedung bioskop. |
-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 04 April 2023
Dulu, Bioskop di Makassar Begitu Banyak Bertebaran
Oleh: Ramli S. Nawi
(Wartawan, Seniman)
Rupanya 30 Maret 2023, adalah Hari Film Nasional. Memperingati Hari Film
Nasional saat ini rasa-rasanya hambar. Bagaimana tidak, karena saat ini seolah-olah
dimatikan dengan munculnya perangkat teknologi komunikasi canggih, seperti Hp,
laptop, dan semacamnya.
Di Hp misalnya, ada konten tiktok, Youtuby dan konten hiburan lainnya.
Dengan adanya Hp, semua perhatian tertuju kesana tanpa ada jeda.
Ketika film-film produksi Indonesia masih ramai, semua perangkat alat
komunikasi canggih itu belum seramai seperti sekarang. Mari kita cerita soal dulu
tentang bioskop di Kota Makassar.
Bioskop di Makassar dulu begitu banyak bertebaran di sudut-sudut kota.
Bioskop-bioskop itu memajang baliho-baliho film nasional dan film produksi dari
mancanegara yang menghias setiap gedung bioskop.
Ya, ramailah kota ini dari hiburan film saat itu. Beberapa puluh tahun
kemudian, terjadilah pergeseran secara perlahan. Gedung-gedung bioskop diubah
bentuk dan pemiliknya membuka usaha lain. Perubahan itu menandai pupusnya era
film layar lebar.
Dulu, di Jalan Gunung Bulusarauang, Makassar, ada tiga bioskop. Bioskop
Dewi (khusus memutar film-film India), Bioskop Jaya (memutar film Indonesia),
dan Bioskop Paramount (memutar film Barat).
Ketiga biskop itu memiliki penggemar. Ramailah Jalan Gunung Bulusaraung
waktu itu, apalagi menjelang jam tayang diputarlah lagu-lagu India di bioskop
Dewi, dan terdengarlah lewat pengeras suar dan menarik perhatian orang-orang
yang melintas. Penonton lalu datang berduyung-duyung untuk menyaksikan film
kesayangannya masing-masing.
Kebetulan saya pernah duduk dalam kepengurusan Badan Kordinasi Kesenian Nasional
Indonesia (BKKNI) Sulawesi Selatan, dan menempati posisi di bidang film bersama
beberapa pengurus lainnya.
Lewat lembaga kesenia ini, saya berkesempatan mengadakan acara nonton
film di Bioskop Theater Makassar, Jalan Bali. Sesudah nonton diadakan diskusi
film yang kita tonton.
Salah satu film yang waktu itu diskusikan adalah Welcome to Sarajevo,
dan satu lagi film Indonesia. Itulah yang tidak terjadi sekarang.
Wartawan diberi pendidikan tentang kritik dan analisis film, yang
diselenggarakan PT Citra. Saya termasuk salah satu peserta pada saat itu. Peserta
diajak menonto film nasional yang berjudul “Gay” yang dibintangi oleh Mathias
Muchus.
Habis nonton kita pulang ke tempat diadakannya workshop selama tiga hari,
lalu peserta diminta membuat tulisan kritik dari film “Gay”, yang habis
ditonton.
Dulu betapa besar perhatian pemerintah terhadap dunia perfilman
nasional. Kini tinggalah sebuah kenangan tentang film Indonesia. Rupanya 30
Maret lalu, Hari Film Nasional. Ingatan kita hanyalah lintasan tentang film-film
nasional yang baru saja diperingati.***