-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 30 April 2023
PDIP
Dijadikan King Maker Pemilu 2024
Oleh:
Achmad Ramli Karim
(Pengamat Politik &
Pemerhati Pendidikan)
Pernyataan “Kami Tidak Butuh
Suara Umat Muslim” bukan berarti tidak membutuhkan dukungan suara dari umat
muslim, namun pernyataan tersebut harus dimaknai sebagai suatu keyakinan
politik, bahwa tanpa suara umat muslim-pun, PDIP berkeyakinan akan menguasai
parlemen (DPR RI) 2024.
Kalau diamati kondisi
politik nasional dan strategi politik PDIP menjadikan Presiden dan kabinetnya
sebagai petugas partai, maka tidak menutup kemungkinkan PDIP memanfaatkan
birokrasi dan penguasa di tingkat daerah sebagai petugas partai eksternal pada
pemilu 2024.
Membaca politik secara
tersurat yang nampak ke permukaan adalah keliru, sementara pernyataan keyakinan
politik PDIP di atas harus dibaca secara tersirat, bukan dibaca tersurat. Jika
publik membaca politik secara tersurat, lugas dan polos, maka publik bisa
tertipu dan kaget melihat hasil prodak politik. Karena politik sekarang
bukanlah sistem politik Pancasila yang berlandaskan moral bangsa (nation's
moral), melainkan sistem “politik transaksi kepentingan” (politik
transaksional).
Menempatkan Presiden
sebagai petugas partai adalah pelanggaran etika politik dan demokrasi, karena
pernyataan tersebut menunjukkan kedudukan Ketua Partai atau partai politik,
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara di atas kekuasaan presiden
(eksekutif). Sama dengan kekuasaan MPR di masa Orde Baru.
Presiden dipilih oleh
rakyat dan bukan dipilih oleh anggota partai atau anggota DPR. Oleh karenanya,
suatu penghinaan demokrasi jika ada ketua partai, yang menempatkan Capres-nya
sebagai petugas partai.
Dan jika capres yang
bersangkutan mengakui dirinya sebagai petugas partai, maka Capres yang
bersangkutan tidak patut dipilih karena ia akan tunduk kepada perintah ketua
partai dan bukan tunduk pada hukum atau kedaulatan rakyat yang memilihnya.
Karena salah satu tugas
utama Presiden sebagai kepala pemerintahan, adalah memastikan pemilihan umum
berjalan dengan jujur dan adil (free and
fair). Sebab dengan power dan jaringan yang dimilikinya, ia mampu
mempengaruhi hasil Pemilu 2024 menjadi jurdil atau curang. Adapun indikator
yang menjadi ukuran dan takarannya, adalah nurani dan kata hati masing-masing
penyelenggara Pemilu.
Jika Presiden menjadi
tim pemenangan Capres tertentu, ibarat permainan sepak bola, wasit ikut jadi
pemain. Akibatnya, arena permainan tidak lagi fair bagi semua pasangan Capres, lebih-lebih Paslon yang tidak
dikehendaki atau tidak mendapat dukungan sang Presiden.
Lengkaplah sudah
permainan kecurangan dan akurasi pernyataan, si Pacul petani akan
dipertontonkan ke publik dengan menjadikan Presiden dan kabinetnya sebagai petugas
partai, yang akan setia dan tunduk pada perintah ketua partai (Boss) untuk
berupaya memenangkan kepentingan partai.
PDIP tidak butuh suara
umat muslim, akan tetapi membutuhkan suara rakyat untuk dapat mendudukkan
kadernya (Capres) sebagai Presiden definitif. Berarti dukungan suara yang akan
diperoleh pada Pemilu 2024 adalah suara rakyat. termasuk suara umat muslim yang
berjumlah sekitar 194 juta jiwa. Kemungkinan kalkulasi politik dari mana
dukungan itu?
Kalkulasi
Politiknya
Jika seandainya
kelompok pengusaha raksasa (Taipan) bersama kekuatan oligarki lainnya dengan
menggunakan sumber daya yang dimilikinya, mengarahkan potensi tenaga Kerja
Asing, pelancong / imigran, dan kelompok minoritas, serta pendekatan kepentingan
jabatan (pelaksana tugas), maka peluang PDIP untuk menguasai parlemen (DPR RI)
pada pemilu 2024 dapat terwujud.
Apalagi jika
memanfaatkan para Plt, Pjs Kepala Daerah, agar mampu berperan menyumbangkan
minimal satu kursi DPR RI. Inilah yang menjadi target bagi PDIP, sehingga harus
dijadikan “King Maker” (Pembuat Raja) pada Pemilu 2024 nanti.
Apalagi jika dikaitkan
dengan strategi politik yang dibangun oleh PDIP untuk menguasai pemerintahan
ketiga kalinya (thrice in power), apa itu strateginya?
Ganjar dipecat adalah
kemungkinan strategi PDIP membentuk opini publik, agar publik mengetahui jika
Ganjar sudah bukan kader PDIP lagi.
Tujuannya agar Ganjar
yang dikehendaki oleh oligarki dukungan power Taipan China menjadi Capres lewat
KIB, sedangkan PDIP akan mencapreskan anak dari Megawati Sukarno Putri (Puan
Maharani).
Target akhir nanti
diharapkan KIB akan melamar PDIP (Puan Maharani) menjadi pendamping (cawapres)
dari Ganjar Pranowo.
Namun tak satupun Ketua
Partai dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang berani melamar Ganjar Pranowo
untuk diusung menjadi Capres dari kelompok politik KIB, karena mereka takut
kehilangan pendukung rakyat, sebab rakyat tahu kalau Ganjar tidak memiliki
kredibilitas serta prestasi yang memiliki nilai dijual di mata publik. Terpaksa
Ganjar dikembalikan ke-PDIP untuk dijadikan petugas partai (Capres).
Pertimbangan logis kelompok
pengusaha Taipan mengharapkan Ganjar yang melanjutkan kepentingan proyek dan
bisnis taipan (RRT) di Indonesia, jika Jokowi tidak bisa tiga periode dan tidak
bisa diperpanjang lagi. Karena hanya Ganjar yang diharapkan bisa mengamankan
kebijakan rezim dan kepentingan bisnis oligarki.
Selain itu, Ganjar
diharapkan mampu menyaingi atau mengalahkan kekuatan umat muslim yang tidak
dikehendaki oleh kelompok.oligarki. Dan untuk melemahkan kekuatan umat muslim,
politik adu domba serta pencitraan buruk melalui Islam radikal dan politik
identitas, disebarkan oleh buzer-buzer anti nilai-nilai Pancasila yang
bersumber dari nilai Islam.
Sementara dapat diduga,
Ibu Megawati Soekarno Putri selain menginginkan anaknya menjadi penerusnya,
sekaligus pelanjut nanti sesudah Ganjar Pranowo. Dimana PDIP kemungkinan
menargetkan tiga periode (thrice in power)
menguasai eksekutif, dan parlemen setelah pemilu 2024.
Dengan ditingkatkannya
status Ganjar Pranowo dari anggota partai menjadi petugas partai sebagai Calon
Presiden dari PDIP, maka dapat dianalogikan bahwa skenario pemecatan Ganjar
agar dapat dipasangkan (Ganjar-Puan) sebagai pasangan Capres dan Cawapres pada
Pemilu 2024 gagal total.
Jika dikaitkan dengan
upaya PDIP yang nekad memaksakan penerapan pemilihan umum dengan sistem
proporsional tertutup melalui gugatan hukum ke MK, maka bisa dipastikan konsep
itu akan diterapkan melalui keputusan MK walaupun waktunya diulur-ulur. Karena
Ketua MK dapat diduga tidak memiliki kemapanan integritas dan keberanian untuk
menolak, walaupun 8 parpol peserta Pemilu tidak mendukung.
Tentu ada maksud di balik
itu. Salah satunya publik menduga untuk mengamankan calegnya yang diragukan
tidak bisa lolos dengan sistem proporsional terbuka. Dan dengan sistem
tertutup, PDIP dapat menempatkan kader-kader andalannya pada posisi nomor urut
1-10.
Selain itu juga
dicurigai adanya bantuan suara dari petugas partai di daerah yang aman karena
tidak bisa terbaca oleh publik dengan sistem tertutup tersebut. Karena suara
masuk atas nama partai, dan bukan atas nama person caleg.
Strategi paling jitu
untuk menguasai parlemen (DPR RI) adalah melalui politik transaksi kepentingan
(politik transaksional) dengan memanfaatkan Plt, PJs, pelaksana tugas Kepala
Daerah (Plt Gubernur, Bupati/Walikota).
Dengan demikian patut
diduga kalau PDIP membangun strategi politik untuk menguasai parlemen, melalui,
pertama; kemungkinan petugas partai akan memberikan KTP sementara bagi TKA dan
pelancong (imigran gelap), agar dapat digunakan suaranya pada Pemilu 2024.
Kedua, akan menempatkan
kader partai setianya pada lembaga hukum termasuk MK dan KPK, yang dapat
membackup kepentingan politiknya.
Ketiga, melalui
regulasi penundaan Pilkada (Gubernur, Bupati/Walikota) sampai tingkat Pilkades,
agar dapat menempatkan orang-orang yang mendukung pemenangan politik oligarki.
Keempat, memanfaatkan
Mendagri yang pernah berhasil membentuk Tim Khusus (Sambo), melalui regulasi
atau amandemen undang-undang dan Surat Edaran Mendagri yang memberi kewenangan
mengangkat Plt, PJs, Pelaksana tugas Gubernur, Bupati/Walikota yang dapat
diduga bertugas memenangkan kelompok oligarki pada Pemilub 2024.
Kelima, memanfaatkan
Prof. Mahfud MD untuk menggiring opini publik melalui kasus Rp349 T, yang
intinya bukan untuk mengungkap kebenaran, melainkan strategi politik untuk
memecah kekuatan umat muslim agar tidak mengarah kepada Capres yang tidak
dikehendaki oleh kelompok Taipan atau kapitalis (RRT-USA).
Apalagi di bulan
Ramadhan 1444 H/April 2024 M muncul gejala suara nahdiyyin mengarah ke kubu
lawan, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dimana sebelumnya
sempat mencuat nama Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawangsa menjadi calon
pendamping dari Capres usungan kelompok partai pembaharuan.
Namun, tiba-tiba
Gubernur Jawa Timur sudah dijemput oleh KPK, sebelum resmi menjadi calon
pendamping Capres dari kelompok partai pembaharuan (Nasdem, Demokrat, dan PKS).
Apakah petugas partai
PDIP dapat diduga memanfaatkan pendekatan kepentingan dan anggaran kepada
setiap Pemda termasuk pelaksana tugas nanti, dengan kemungkinan imbalan suara
kursi DPR RI? Hanya waktu yang akan menjawab.
-----
Penulis: Drs Achmad Ramli Karim SH MH adalah Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Ketua IKA (Alumni) IPM/IRM Kabupaten Gowa, Alumni 81 PMP/PKn IKIP Ujungpandang, Alumni 92 FH UMI Makassar