------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 01 April 2023
Catatan
(bukan) Pinggir:
Puisi
Berkualitas Mengandung Misteri
Oleh:
Mahrus Andis
(Kritikus Sastra,
Budayawan)
Misteri puisi bermakna
sesuatu yang mengundang pembaca untuk merenungkan apa yang ada di balik sebuah
puisi. Jika kita membaca puisi, namun tidak merasa tergugah untuk merenungkan
makna di baliknya, maka boleh jadi ada dua kemungkinan.
Pertama, pembaca tidak
berhasil mengapresiasi dengan baik puisi itu. Dan kedua, puisi itu gagal
mengusung misteri untuk direnungkan.
Sebagai
rekreasi-impresif, saya petikkan sebuah puisi yang tergolong berkualitas sastra
tinggi dan sarat dengan nilai perenungan. Puisi berjudul “Aku”, karya Chairil
Anwar di bawah ini mengandung misteri, sekaligus mengundang pembaca untuk
merenunginya.
AKU
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan
merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan
itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya
terbuang
Biar peluru menembus
kulitku
Aku tetap meradang
menerjang
Luka dan bisa kubawa
berlari
Berlari
Hingga hilang pedih
perih
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup
Seribu tahun lagi.
Maret 1943
Puisi Chairil Anwar di
atas memenuhi syarat disebut sebagai puisi yang bagus, prismatis dan
berkualitas tinggi. Atau, lebih tepat disebut puisi yang memuisi (istilah
Sapardi Djoko Damono: 1970-an).
Pada puisi “Aku”,
tampak sangat kaya dengan penggunaan bahasa figuratif. Bahkan diksi, kata
konkret, nada dan amanah di dalam puisi tersebut sangat sempurna. Tematik “ksistensialisme”
Chairil terbaca pada larik ending puisinya: “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Justru di mikroteks inilah terselubung misteri puisi tersebut.
Untuk memahami
misteriusitas, atau makna yang luput (The overlooked, istilah Kritikus Narudin:
2019) pada puisi “Aku” ini, kita dapat meminjam teori Strukturalisme Genetika
dari filsuf Lucian Goldmann. Yaitu, suatu pendekatan analisis sastra dengan
mempertimbangkan relasi historis, referensi individual dan keterhubungan
penyair terhadap realitas kosmos di luar teks puisinya.
Tentu saja upaya
analisis ke arah itu sudah sering dilakukan oleh para pengamat dan kritikus
sastra sejak awal munculnya karya ini. Terutama, dari pendekatan hermeneutika,
daya tafsir atas puisi tersebut menyimpulkan bahwa diksi “aku mau hidup seribu
tahun lagi” adalah ekspresi semangat revolusioner Chairil di tengah cengkeraman
penjajah saat itu.
Dan tentu saja, idiom
revolusioner ini masih berlaku di era kemerdekaan, dengan suasana batin yang
lain.
Demikian, sekadar untuk
memahami makna misteriusitas di dalam puisi. Dengan pemahaman ini, setidaknya
mampu membuka kecerdasan intelektual,
emosional dan spiritual kita untuk sanggup mengenali sebuah puisi yang
berkualitas sastra tinggi. Wallahu a'lam.*
Makassar, 31 Maret 2023