AP Hasanuddin (kiri) dan Thomas Djamaluddin. |
-------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 06 Mei 2023
Ancaman
Bukan Kritik dan Pembungkaman Melainkan Tindak Pidana
Oleh:
Achmad Ramli Karim
(Pengamat Politik &
Pemerhati Pendidikan)
Menanggapi pernyataan Profesor Rizet Astronomi dan Astrofisika Badan Rizet dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Thomas Djamaluddin, yang mempertanyakan upaya hukum yang terus dilakukan Muhammadiyah menyoal kritik soal wujudul hilal. Dia meminta ihwal mempersoalkan kritik yang ada, Muhammadiyah sebaiknya kembali mempertimbangkan kejadian-kejadian sebelumnya.
“Muhammadiyah yang saya
hormati karena semangat tajdid, akan mencatatkan dalam sejarah sebagai
organisasi pembungkam kritik. Semoga masih ada akal sehat untuk
mempertimbangkannya,” kata Thomas kepada Republika,
Rabu (3/5/2023).
“Dianggap tendensius,
fitnah, dan ujaran kebencian. Kritik itu akan dibungkam dengan pidana. Sesuai
kepakaran saya, ijtihad astronomis tentang kriteria bisa mempersatukan madzhab
hisab dan rukyat,” kata Thomas.
Menanggapi sindiran Prof
Thomas Djamaluddin itu, Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP)
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai, kasus penghalalan darah para warga
Muhammadiyah tak cukup dengan menetapkan Andi Pangerang Hasanuddin (APH)
sebagai tersangka.
Direktur LBHAP PP
Muhammadiyah Taufiq Nugroho mendesak agar Polri juga menetapkan Thomas
Djamaluddin (TDj) sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
“Dalam pengembangan
perkara nanti diharapkan Thomas Djamaluddin yang diduga terkait dan terlibat
dalam perkara ini, juga segera ditingkatkan statusnya menjadi tersangka,
kemudian ditangkap dan ditahan seperti APH (Hasanuddin),” kata Taufiq.
Sekretaris LBHAP PP
Muhammadiyah, Ikhwan Fahrojih menambahkan, Muhammadiyah merupakan Ormas yang
mengakar dengan tradisi akademik. Namun, dia menyatakan, kritik harus
disampaikan melalui wadah yang benar dan tepat.
“Melalui forum akademik
dan ilmiah, serta saling menghargai perbedaan pendapat dan tidak memaksakan
kehendak,” kata Ikhwan di Jakarta, Rabu (3/5/2023).
Ikhwan menyayangkan
pernyataan Thomas yang justru memicu perdebatan di media sosial dan berujung
munculnya ancaman pembunuhan terhadap warga Muhammadiyah. Bahkan, Ikhwan
menuding, Thomas yang sudah bergelar profesor ini, juga berkomentar di media
sosial dengan bahasa yang sinis, provokatif, dan dinilai hanya memandang
pendapatnya saja.
“Semestinya sekaliber
guru besar seperti Pak Thomas Djamaluddin, mengerti etika seperti itu,” tegas
Ikhwan.
Ikhwan mencontohkan,
salah satu pendapat Thomas tersebut yakni soal Muhammadiyah yang tak taat
pemerintah, terkesan kurang baik. Dia meminta Thomas supaya memahami wilayah
ijtihad dalam agama.
“Maka kalau
Muhammadiyah berbeda dengan pendapat pemerintah, bukan berarti Muhammadiyah
tidak taat pemerintah,” tegas dia. Republika.co.id, Rabu (3/5/2023).
Dari uraian Thomas
Djamaluddin tersebut di atas, penulis menilai bahwa Prof. Thomas Djamaluddin
berada pada posisi lemah dan terancam, baik dari aspek hukum maupun dari aspek
politis. Untuk itu, penulis mencoba mengkaji dari dua aspek tersebut, sebagai
berikut.
Analisis
Hukum
Dalam KUHP, ujaran
kebencian berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tak
menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong.
Penulis menilai, pendapat
Thomas Djamaluddin di media sosial (secara daring) justru memancing perdebatan yang mengarah pada
bentuk tindak pidana, bahwa apa yang disampaikan oleh Thomas juga memenuhi
unsur tindak pidana sebagaimana yang dimaksud Undang-Undang ITE.
Karena ia dapat
dianggap sebagai sumber konflik yang memancing perdebatan melalui pernyataannya
yang bersifat tendensius dan provokatif, sehingga salah seorang anggotanya
(peneliti BRIN) AP Hasanuddin terpancing melakukan ancaman pembunuhan terhadap
warga Muhammadiyah.
Thomas Djamaluddin
(TDj) menempatkan Muhammadiyah pada posisi tidak taat pemerintah, sehingga
dapat dikategorikan menuduh Muhammadiyah melawan pemerintah. TDj seharusnya
sadar bahwa ia bukanlah pejabat publik, sehingga ia tidak memiliki kewenangan
untuk menilai terhadap setiap keputusan organisasi Islam.
Persoalan perbedaan
wujudul hilah adalah masalah ibadah dan keyakinan beragama, dimana setiap
penduduk bebas melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing yang dijamin oleh konstitusi, sebagaimana termaktub dalam pasal
29 ayat (2) UUD 1945.
Sedangkan ujaran
kebencian masuk kategori tindak pidana yang diatur dalam UU ITE. Walaupun
pasal-pasal tersebut dalam UU ITE sudah dicabut, namun diganti dengan
dicantumkannya dalam KUHP yang baru. Berikut adalah pasal-pasal tentang ujaran
kebencian:
Pertama, ketentuan UU
ITE terkait ujaran kebencian, permusuhan dan SARA (suku, agama, ras, dan
antar-golongan), terdapat pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2). Pasal
28 ayat (2) berbunyi:
“Setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.
Kedua, Pasal 45A ayat
(2) UU ITE berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Ketiga, Ketentuan yang
terdapat pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE dinyatakan dicabut
oleh UU KUHP yang baru. Pasal itu kemudian diganti dan direformulasi menjadi
Pasal 243 ayat (1) jo ayat (2) UU KUHP baru yang berbunyi:
“Setiap orang yang
menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga
terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum
atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan
perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui
oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk
Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan,
jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik yang berakibat timbulnya
kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Oleh karena itu, TDj
dapat diduga telah menyebarkan informasi yang dapat dikategorikan sebagai
ujaran kebencian, minimal sebagai sumber dan penyebab lahirnya ujarang
kebencian yang dilakukan oleh APH tersebut.
Analisis
Politik
TDj bukanlah pejabat
publik seperti Menteri Agama dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama atau
pejabat yang diberi kewenangan, sehingga ia tidak memiliki kewenangan hukum
untuk dapat melakukan penilaian dan monev tethadap setiap organisasi keagamaan
di Indonesia.
Menteri Agama pun
sangat memahami bahwa persoalan ibadah dan keyakinan adalah hak kebebasan
setiap penduduk untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan
masing-masing, dan dijamin oleh konstitusi.
Hal yang menggelitik
dan menimbulkan pertanyaan di mata publik, betulkah sikap dan tindakan TDj
tersebut merupakan suatu kekhilafan yang tidak disengaja, sehingga ia meminta
maaf kepada segenap warga Muhammadiyah?
Ataukah ada pesan
politik di balik itu, sehingga mengandung tafsir adanya unsur kesengajaan.
Sebab bukan kali pertama TDj sebagai seorang pakar dan peneliti senior di BRIN
menyudutkan Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid tidak pernah
melakukan pembungkaman terhadap kritik apalagi kritik membangun, karena
Muhammadiyah sadar akan pentingnya kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengemukakan pendapat.
Sebagaimana diatur pada
Pasal 28 UUD 1945 berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.” (UU No. 9/1998) tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat
dimuka umum. Selain itu, ada juga Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Mengamati kasus
tersebut, sulit rasanya diterima akal sehat hal itu dianggap kekhilafan jika
dihubungkan dengan kepakaran Thomas Djamaluddin, yang justeru dapat
dipertanyakan maksud TDj dibalik kasus tersebut dengan beberapa alasan:
Pertama, kenapa TDj
sangat serius dan mati-matian membela anggotanya (APH), yang terkesan
mengandung fungsi ganda. Yaitu, ada rasa kaget karena tidak menyangka akan
terjadi dampak seperti ini, dan rasa penyesalan dengan keterlibatan anggotanya
yang menyebabkan bersangkutan menjadi tersangka tindak pidana.
Kedua, Muhammadiyah
adalah Ormas Islam yang lahir jauh sebelum lahirnya bangsa Indonesia, dan telah
menggunakan madzhab hisab sejak lahirnya sampai sekarang, apalagi Muhammadiyah
sudah menggunakan kalender Hijriah. Artinya perbedaan ukuran dan batas minimal
wujudul hilal itu bukan hal baru bagi Muhammadiyah, dan itu sangat dipahami
oleh TDj.
Ketiga, TDj seorang
pakar peneliti tidak paham hukum, sehingga ia tidak bisa membedakan bentuk
tindak pidana dengan kritik sosial. Apakah ia dipancing dan dimanfaatkan oleh
pihak tertentu dalam permainan politik yang ia tidak sadari, dan terpancing
melakukan teror politik terhadap Muhammadiyah yang berujung tindak pidana?
Sebab kemungkinan
kelompok Muhammadiyah dianggap solid dan menyatu sikap nasionalismenya di manapun
mereka berada, sehingga susah untuk dipecah belah.***
-----
Penulis: Drs Achmad
Ramli Karim SH MH adalah Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi
Sulsel, Ketua Presidiun GEMUIS, Ketua Koorda Alumni IPM/IRM Kabupaten Gowa.