Monolog Kisah Kirana. (Foto-foto: Yudhistira Sukatanya) |
--------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 10 Mei 2023
Catatan
Pertunjukan Monolog:
Gerundelan Perempuan Pulau
Oleh: Yudhistira Sukatanya
(Seniman, Budayawan)
Mengapa saya harus menikah?
Haruskah perempuan menikah?
Apa urusannya dengan kalian?
Itu gerundelan Kirana, seorang perempuan Makassar
berusia 37 tahun sesaat setelah acara akad nikahnya baru saja usai. Dalam hati,
perempuan telat nikah itu sesungguhnya protes terhadap perlakuan semena-mena
yang dilakukan pada tubuhnya saat pelaksanaan prosesi appabattu nikkah (istilah Makassar) atau mappasikarawa (istilah Bugis).
Appabattu nikkah atau mappasikarawa adalah rangkaian
prosesi perkawinan adat Makassar - Bugis. Proses persentuhan pertama kali
pengantin pria terhadap mahramnya, pengantin wanita, dalam ikatan sah sebagai
suami istri. Prosesi ini juga dikenal sebagai tanda batal wudhu.
Peristiwa mendebarkan itu diawali dengan permohonan
buka pintu yang dijaga sejumlah keluarga mempelai wanita. Alot dengan
negosiasi. Pintu baru boleh dibuka jika negosiator keluarga mempelai pria sudah
menunaikan syarat memberikan sejumlah uang sebagaimana permintaan si penjaga
pintu. “Seperti bayar tarif di gerbang tol.” Sindir Kirana.
Anggota tubuh mempelai wanita yang disentuh adalah
telinga, pundak, kerongkongan,
serta bagian dada. Proses sentuhan ini masing-masing bermakna bahwa menyentuh
telinga berarti berharap agar istri senantiasa mendengar apa kata suami.
Kemudian, menyentuh kerongkongan adalah simbol bahwa
suami akan menjamin rezeki halal yang diberikan pada keluarganya dan menyentuh
pundak berarti kedua mempelai siap untuk saling bahu membahu membangun rumah
tangga. Terakhir, menyentuh bagian dada istri sebagai penanda kesuburan, dengan
berharap agar mereka diberikan keturunan yang saleh dan salehah.
Peristiwa
inilah menjadi pemantik cerita “Kisah Kirana” yang merasa harkatnya dilecehkan.
Sebagai perempuan Makassar yang hidup di kota metropolitan, ia sudah mengenali hak asasi perempuan, memahami hak
pribadi, hati Kirana berontak.
Kirana menolak penyalahgunaan kewenangan dalam
prosesi appabattu nikkah itu. “Perempuan Makassar harus memiliki siri” kata
Kirana. Tapi ia dibuat tak berdaya dalam aturan adat istiadat yang mengungkung,
mesti ia taati.
Menentang istiadat ini bisa berdampak siri,
mempermalukan keluarga. Gerundelan berisi protes panjang pun hadir dalam pentas
monolog di panggung teater terbuka Gedung Kesenian Societeit de Harmoni.
Aktris Athirah M Nur di bawah arah sutradara Wawan
Aprilianto berupaya sungguh-sungguh
menyampaikan pesan bernuansa pelecehan gender itu dengan lugas. Meski demikian
Athirah sesekali masih terpeleset dalam konsistensi memainkan karakter dewasa
perempuan Makassar terutama waktu bolak balik pemeranan ibu atau anak.
Kontrol pada gestur dan dialek khas Makassar masih
butuh proses latihan, pengendapan wacana budaya, agar terungkap dengan cermat.
Wawan selaku sutradara pun perlu lebih akurat menetapkan kejelasan pilihan
frame estetis, Makassar atau Bugis. Karena pilihan tersebut akan menguatkan
sejumlah penandaan. “Jangan hanya asyik di permukaan, perlu menyalami
kedalaman.” Saran Ami Ibrahim dalam sesi tanggapan.
Nomor pertunjukan monolog “Kisah Kirana” yang
ditulis oleh Nirwana Aprianty ini tampil pertama dalam dua malam. Senin dan
Selasa, 01 dan 02 Mei 2023, di Teater Arena Gedung
Kesenian Societeit de Harmonie jam 20.00 hingga selesai.
Mutiara Pulau
Pertunjukan kedua menyajikan cerita “Mutiara Pulau”
Kali ini Nirwana Aprianty sang penulis naskah yang sekaligus sutradara
bercerita tentang Daeng Cia, perempuan setengah baya yang berprofesi sebagai
pappalimbang, penawar jasa penyeberangan perahu, dari satu dermaga ke pulau
wisata.
Monolog Mutiara Pulau. (Foto-foto: Yudhistira Sukatanya) |
Perempuan single parent yang menikah muda di usia 15 tahun ini punya seorang anak perempuan ( tak disebutkan namanya). Sang anak pengepul kepiting di tepi pantai, punya cita-cita bersekolah tinggi, jadi polisi untuk menangkap orang-orang jahat. Sayang latar cita-cita anak itu tak dijelaskan.
Sebagaimana naluri pada hati seorang ibu, di hati Daeng Cia pun tumbuh
keinginan untuk melihat anaknya bersekolah, berhasil meraih cita-cita. Meski ia
juga paham, itu tidak mudah. Padahal seorang warga negara sungguhnya berhak
memperoleh kesempatan pendidikan dan hak tersebut dilindungi undang undang. Hak
itu dicatat oleh Daeng Cia dalam notes yang selalu tersimpan di Waistbag, tas
pinggangnya.
“Impian untuk berhasil hidup di kota, selalu ada jalannya
kalau kita mau berusaha,” ujarnya.
Untuk mewujudkan maksud hatinya Daeng Cia rela
bekerja mandiri demi mengatasi sendiri masalah ekonomi keluarga. Ia paham,
kemiskinan kadang menjadi alasan warga sekampungnya untuk segera menikahkan
anak pada usia dini.
Pada masyarakat pulau masih subur anggapan bahwa
pendidikan tidak lebih penting bagi anak perempuan dibanding terpaksa
menyandang stigma negatif terhadap perempuan dengan status perawan tua.
Saban hari Daeng Cia siaga untuk mengantar penumpang
menuju ke pulau sejauh 4,6 Km dari dermaga kota Makassar. Penghasilannya
tergantung musim dan kondisi alam. Pekerjaan Daeng Cia itu mempertemukannya
dengan banyak orang. Ada saja orang baik yang prihatin dan menawari bantuan
bekerja di pabrik atau jadi buruh cuci.
Mega Herdianty tampil sebagai pemeran Daeng Cia
dengan bekal pengalaman dan pengetahuan keaktoran. Karakter perempuan pulau
yang sederhana, ditinggalkan pergi oleh suami, coba dihidupkan mantan jawara
festival monolog ini.
Yang terasa sedikit mengganggu adalah diksi-diksi
dalam dialognya yang kadang melebihi takaran sebagai perempuan pulau. Terlalu
cerdas ungkapannya. Tapi, boleh jadi itu akibat pengaruh gawai dan fasilitas
internet yang menyusupkan diksi-diksi manusia modern yang individualistis ke
kesadaran Daeng Cia.
Daeng Cia pun menggerundelkan dengan fasih isu
kesetaraan gender. Pernikahan dini. Persoalan klasik dalam interaksi
kemasyarakatan di pulau. Pada segmen lain ia mengeluhkan minimnya akses
memperoleh pendidikan ke perguruan tinggi di kota. Tekanan ekonomi dan budaya
yang berdampak sosial bagi warga pula sepertinya.
“Berikan anakku ijazah, bukan buku nikah.” Pinta
Daeng Cia.
“Beri jodoh yang pantas.” Gurau Bahar Merdhu, komandan
rombongan Sandiwara Petta Puang dalam sesi diskusi.
Usai pertunjukan dilanjutkan dengan diskusi. Tampil
sebagai nara sumber Kepala Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Sosial Anak (DP3A), Kota Makassar, Achi Soleman.
“Edukasi dan literasi menjadi masalah utama dalam
pembentukan mindset, pola pikir warga, agar mereka melek wacana gender.” Kata
kunci Achi.
Di kesempatan selanjutnya, Sartika pegiat perjuangan
kesetaraan gender menilai pentingnya meningkatkan peran wanita dalam keluarga.
Agar tidak lagi memperlakukan perempuan sebagai pemeran nomor dua dalam
menjamin masa depan anak. Tika juga menggelisahkan bertaburnya narasi
kekerasan, bulliying berbasis gender. Kini, perlakuan buruk itu kian marak di
ruang publik.
Dua pertunjukan monolog dari Teater Kala telah
berperan sebagaimana Pappalimbang. Menyambungkan pemahaman positif dan sikap
asersif atas isu kisruh kesetaraan gender. Dialektika itu kini telah disajikan
dengan baik melalui pertunjukan seni.
“Makin banyak pertunjukan semacam ini akan semakin
baik. Teater menjadi instrumen pemberdayaan perempuan,” harap Achi Soleman.
Ia sangat setuju dan mendukung jika selanjutnya 2
monolog itu dipentaskan di tiga Pulau, Lau-lae, Lakkang, dan Kodingareng.
Berharap seperti itu memang perlu dukungan
kolaborasi para pihak. Sebagaimana event pertunjukan monolog kali ini yang
didukung oleh Kemendikbudristek melalui Dana Indonesiana, LPDP, Toko Tepijalan, dan Sanggar Seni
Sipakainga. Tak kalah pentingnya adalah dukungan penonton, support masyarakat.
Tamamaung, awal Mei 2023