Kudeta konstitusi dalam pemerintahan yang sah, jauh lebih dahsyat pengaruhnya dibanding kudeta kekuasaan. - Achmad Ramli Karim - |
-------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 20 Juni 2023
Dahsyatnya Kudeta
Konstitusi Melebihi Kudeta Kekuasaan
Oleh: Achmad Ramli Karim
(Pengamat Politik & Pemerhati Pendidikan)
Pimpinan Pondok Pesantren
Al-Zaitun,
Panji Gumilang,
di hadapan santrinya, menguraikan kemajuan
dan kesuksesan Negara China
yang berhaluan
paham komunis. Dengan jantan dan gagah berani, Panji Gumilang mengaku “saya komunis, saya komunis”. Panji Gumilang memaparkan keunggulan Negara China yang maju pesat dibandingkan dengan
Indonesia, Amerika,
dan
Eropa.
Lebih lanjut Panji
Gumilang mengungkapkan, China makmur. Kemajuannya 24 tahun diukur dari tahun
1998. Tahun 1998,
Negara Indonesia sudah naik hampir
bersamaan dengan China,
dipotong hancur lagi, 0 (nol) lagi, China
naik terus menjadi raksasa dalam segala hal.
Apa raksasanya?
Raksasanya adalah “newcomers” (pendatang baru). Raksasa pendatang baru masih kuat kan!
Daripada raksasa tua. Sedangkan raksasa tua (kapitalis Eropa & AS), yang
ratusan tahun hidup kaya dan tua lebih, disalip oleh pendatang baru yaitu “komunis”, yang berpaham.
“Jangan
pilih kucing untuk menangkap tikus, yang penting bisa menangkap tikus. Itu filsafat dari Deng Xiaoping.”
Deng Xiaoping adalah
seorang pemimpin revolusi dalam Partai Komunis Tiongkok yang menjadi pemimpin
tertinggi Republik Rakyat Tiongkok sejak kurun dasawarsa 70-an sampai dengan
awal dasawarsa 90-an.
Ia adalah pemimpin
generasi kedua setelah Mao Zedong. Tiongkok memang negara komunis, tapi dalam praktek sehari-hari rakyat
Tiongkok adalah penganut kapitalisme. Sepertinya ideologi komunisme sudah
bangkrut seiring runtuhnya Tembok Berlin, bubarnya Uni Sovyet, dan Pakta Warsawa. (Wikipedia).
Panji Gumilang lebih
lanjut mengungkapkan, apabila ingin memilih kucing, jangan pilih warnanya, yang penting
kucing. Mungkin yang dimaksud itu “kucingnya
komunis”
mau nangkap tikus,
warnanya apa saja,
mau warna Amerika boleh, mau warna Arab boleh, mau warna Eropa boleh, dan mau warna (orang)
Indonesia boleh.
Tapi jangan berpura-pura
jadi kucing yang menyayangi tikus, seperti halnya yang dibuat oleh kaum
imperealis dan kapitalis. Seperti menyayangi rakyat terjajah, tapi dia
mencengkram. Selanjutnya Panji Gumilang minta izin untuk berbahasa China, yang artinya; “kucing darat pura-pura sayang kepada tikus
dan tikus dimakan
kucing kan! Dimana ada kucing sayang pada tikus.”
Partai Komunis Tiongkok
(Hanzi: 中国共产党, dalam bahasa Indonesia disingkat PKC)
adalah pendiri dan partai yang berkuasa di Republik Rakyat Tiongkok. Partai
Komunis Tiongkok adalah satu-satunya partai yang berkuasa di Tiongkok dan
mengizinkan berdirinya delapan partai dan membentuk front untuk kedelapan
partai dan berada di bawah pembinaan Partai Komunis.
Partai Komunis Tiongkok
didirikan pada tahun 1921 oleh Chen Duxiu dan Li Dazhao. Partai Komunis
berkembang dengan cepat dan pada tahun 1949 mengusir pemerintahan nasionalis
Kuomintang dari daratan Tiongkok, yang berakhir dengan pendirian Republik
Rakyat Tiongkok. Partai Komunis juga membawahi angkatan bersenjata terbesar di
dunia, Tentara Pembebasan Rakyat.
Partai Komunis Indonesia
(PKI) pernah menjadi partai yang makmur dan jaya sejak 1948-1965, bahkan PKI
berhasil membentuk Angkatan Ke-5 (Buruh dan Tani) yang dipersenjatai di luar
TNI (AD, AL, AU, dan POLRI).
Kemakmuran dan kejayaan
PKI saat itu tidak lepas dari dukungan kerjasama dengan Partai Komunis
Tiongkok, bahkan berhasil meraih suara rakyat menjadi pilar ke-4 dari empat
pilar bangsa pada Pemilu
1955 setelah Parmusi,
PNI, NU, lalu PKI.
Kalau dicermati
pernyataan Pimpinanan Pondok pesantren Al-Zaiutun tersebut di atas, Panji Gumilang dengan gagah berani
mengaku jika dia seorang komunis,
yang diulang sebanyak dua kali di hadapan
anak-anaknya (santri).
Dan secara tersirat
memberitahukan kepada publik, kalau ia tidak takut lagi dianggap orang komunis.
Mungkin beliau berani karena tahu betul kalau Partai Komunis China (PKC) dan Indonesia sudah menjalin
kerjasama ekonomi dan perdagangan dengan Indonesia, yang menguasai dan
mengendalikan rezim berkuasa lewat bantuan (pinjaman) dan proyek raksasanya.
Dimana proyek kerjasama ini dapat terjalin, diawali dengan kunjungan penjajakan PDIP dengan Partai Komunis Tiongkok
sebagai partai penguasa RRT.
Bukankah China sudah berubah menjadi negara kapitalis
seperti Eropa
dan Amerika, sebagaimana diuraikan diatas?
Bahwa Tiongkok memang negara komunis tapi dalam
praktek sehari-hari rakyat Tiongkok adalah penganut kapitalisme. Sepertinya
ideologi komunisme sudah bangkrut seiring runtuhnya Tembok Berlin, bubarnya Uni
Sovyet dan Pakta Warsawa.
Apakah hal ini juga
sengaja diekspos ke publik,
sebagai isyarat agar rakyat Indonesia tidak perlu mencurigai PKI? Karena Kepres
Nomor 17 Tahun 2022 sudah lahir untuk menganulir eksistensi PKI tersebut, dan
menganggap PKI adalah korban dari G30S/PKI 1965, sehingga ingin merehabilitasi nama baik
keturunannya?
Tapi di lain sisi Panji Gumilang juga
menyampaikan, jangan berpura-pura jadi kucing (komunis) yang menyayangi tikus
warna Indonesia (WNI), seperti halnya yang dibuat oleh kaum imperialis dan kapitalis. Seperti menyayangi
rakyat terjajah, tapi dia mencengkram.
Jika Kepres Nomor 17
tahun 2022 dijadikan landasan hukum,
maka publik juga paham bahwa secara hukum Kepres tersebut termasuk kategori
keputusan inkonstirusional. Karena bertentangan dengan peraturan
peundang-undangan yang lebih tinggi (asas legalitas hukum), yaitu Ketetapan
MPRS Nomor XXV Tahun 1966.
Asas legalitas mengandung
makna umum bahwa setiap perbuatan harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Asas legalitas tidak hanya dikenal dalam hukum
pidana, tetapi juga dalam bidang Hukum Administrasi Negara.
Seperti yang diungkap oleh
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr HM
Hidayat Nur Wahid MA,
meluruskan kesalahpahaman yang beredar di sebagian media massa maupun
group-group Whatsapp, seolah-olah TAP MPR terkait Larangan PKI telah dicabut. Padahal,
sebenarnya TAP tersebut tidak dicabut, dan masih terus berlaku hingga saat ini.
Kesalahpahaman ini muncul
di sejumlah pemberitaan setelah
Presiden
Joko Widodo dikutip mengeluarkan
pernyataan bahwa TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 telah dicabut. Sejumlah
pemberitaan dan beberapa pihak menyebut bahwa TAP MPRS tersebut adalah TAP MPRS
tentang Peristiwa
G30S/PKI. Padahal, TAP MPRS yang disebut Presiden Jokowi adalah tentang
Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno. Bukan TAP MPRS
No XXV Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan penyebaran ideologi
komunisme, marxisme, leninisme. Karena antara TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967, dan TAP MPRS No XXV Tahun 1966 adalah dua
TAP MPRS yang berbeda. (mpr.go.id).
Proses Perumusan Regulasi
di DPR
Pertama, DPR mengajukan
rancangan undang-undang (RUU) secara tertulis kepada Presiden. Kedua, Presiden menugasi menteri terkait
untuk membahas rancangan undang-undang bersama DPR. Ketiga, apabila disetujui
bersama oleh DPR dan presiden, selanjutnya rancangan undang-undang disahkan
oleh presiden menjadi undang-undang.
Lebih lanjut Panji
Gumilang mengatakan, tapi jangan berpura-pura jadi kucing yang menyayangi tikus
(manusia), seperti halnya yang dibuat oleh kaum imperealis dan kapitalis. Seperti
menyayangi rakyat terjajah, tapi dia mencengkram.
Sepertinya Panji Gumilang
sangat memahami bahwa Indonesia sedang berada dalam cengkraman China (RRT), melalui jebakan utang dan
perjanjian konsesi dengan pihak kapitalis (swasta).
Artinya Indonesia tidak
bisa lepas dari cengkraman RRT selama berlakunya perjanjian konsesi tersebut,
dengan masa
konsesi 50 sampai 120 tahun sesuai yang diminta oleh pihak kapitalis. Misalnya
masa konsesi Proyek KA Jakarta-Bandung yang semula 50 tahun, kemudian pihak China meminta perpanjangan konsesi menjadi
80 tahun.
Jujur saja kalau kita
amati proses perumusan regulasi di legislatif,
sepertinya bukan kesalahpahaman. Tetapi ada indikasi kesengajaan yang dilakukan
oleh kelompok tertentu melalui transaksi kepentingan (politik transaksional),
dengan memanfaatkan fraksi-fraksi DPR sebagai perpanjangan Parpol untuk menggodok dan meloloskan
wacana tertentu melalui RUU yang dapat diindikasikan sebagai kudeta konstitusi.
Seperti proposal wacana
yang diusulkan oleh PDIP untuk memasukkan Pancasila Dasar negara ke dalam Batang Tubuh UUD 1945, dengan
pertimbangan mudah
diubah/direvisi. Proposal tersebut diusulkan pada amandemen UUD 1945 yang didukung oleh Fraksi Kasih Bangsa,
Fraksi TNI/POLRI, dan sebagian fraksi Utusan Daerah. Namun gagal karena lebih
banyak fraksi DPR RI yang keberatan.
Namun anehnya RUU Haluan
Ideologi Pancasila
(HIP) berhasil disahkan dalam rapat daring tengah malam yang hanya diikuti oleh
ketua-ketua fraksi. Rancangan Undang-Undang dengan Dasar Negara (Pancasila)
sudah diperas menjadi Tri Sila dan Eka Sila. Begitu juga regulasi penundaan
secara serentak pilkada Gubernur dan Bupati yang habis masa jabatannya tanpa
adanya kondisi/ keadaan darurat sipil atau darurat militer.
Hal ini menunjukkan
adanya indikasi kudeta konstitusi dalam pemerintahan yang sah, yang jauh lebih dahsyat pengaruhnya
dibanding kudeta kekuasaan itu sendiri.
“RUU HIP memang telah
disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna yang digelar pada 12
Mei 2020 lalu, namun belum ada pembahasan tentang materi muatan dalam draf RUU
HIP tersebut karena DPR belum menerima surpresnya,” ucap Dasco, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta,
Senin (15/6/2020).
Upaya terstruktur dan
sistematis melakukan
perombakan dan revisi konstitusi untuk kepentingan kelompok pada hakikatnya
merupakan kudeta konstitusi untuk mempertahankan dan mengambil alih kekuasaan.
Sebab dengan kudeta konstitusi sekaligus kudeta kekuasaan, dianggap lebih
efektif dan efesien tanpa adanya korban politik.
-----
Penulis Drs Achmad Ramli
Karim SH MH adalah Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Ketua Koorda Alumni (IKA) IPM/IRM Kabupaten Gowa, Alumni 81 PMP FKIS IKIP UP,
Alumni 92 FH UMI Makassar.