----------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 08 Juni 2023
Evasi
Komunikasi Susno – Polri
Oleh: Asnawin Aminuddin
Hubungan batin antara orangtua dan anak tentu sulit dipisahkan, apalagi kalau sang anak sudah dirawat, dididik, dan dibesarkan selama 33 tahun. Kalau sang anak kemudian melawan orangtuanya dan bahkan menjelek-jelekkan orangtuanya di depan orang banyak, maka durhakalah sang anak tersebut.
Mungkin tidak salah
kalau Susno Duadji dianggap sebagai anak dan Polri adalah orangtuanya, karena
Komjen Pol Susno Duadji memang sudah 33 tahun mendapat didikan dan pembinaan di
institusi Polri. Tetapi kalau Susno disebut sebagai anak durhaka karena melawan
Polri sebagai orangtuanya, mungkin bisa menjadi diskusi panjang.
Yang perlu dipertanyakan, mengapa sampai Susno “melawan” dan bahkan “menjelek-jelekkan” nama baik Polri. Mengapa “hubungan batin” atau komunikasi yang sudah terjalin baik selama puluhan tahun bisa rusak?
Dalam ilmu komunikasi
disebutkan bahwa ada banyak hambatan yang bisa merusak komunikasi, antara lain
gangguan (noise), kepentingan (interest), motivasi terpendam (latent motivation),
dan prasangka (prejudice).
Hambatan komunikasi
tersebut secara umum dibagi atas dua sifat, yakni objektif dan subjektif.
Hambatan yang sifatnya objektif adalah gangguan dan halangan jalannya
komunikasi yang tidak sengaja dibuat oleh pihak lain, tapi mungkin karena
faktor cuaca atau caranya yang salah. Sebaliknya, hambatan yang bersifat
subjektif adalah gangguan atau halangan yang memang sengaja dibuat oleh orang
lain, karena faktor kepentingan, tamak, iri hati, dan lain-lain.
Kalau ada orang yang
merasa terganggu kepentingannya, dirusak nama baiknya, maka biasanya ia akan
memberikan reaksi dengan cara menghindari komunikasi dengan pihak yang
mengganggu kepentingannya atau merusak nama baiknya. Jika sudah tidak bisa
menghindar atau apabila sudah tidak bisa menahan diri, maka ia bisa
mencemoohkan, menyesatkan, atau mencacatkan komunikasi.
Gejala menyesatkan
pengertian, mencacatkan pesan komunikasi, dan mengubah kerangka referensi
(changing frame of reference) ini dalam ilmu komunikasi disebut evasi komunikasi
(evasion communication).
Apakah Susno Duadji
telah melakukan evasi komunikasi terhadap Polri? Jika melihat sepak terjangnya
sejak dilengserkan secara resmi dari jabatannya selaku Kepala Badan Reserse dan
Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri pada 30 November 2009, Susno tampaknya telah
menghindari komunikasi dengan institusinya.
Pada Kamis, 7 Januari
2010, Susno tampil menjadi saksi di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
dengan membeberkan kesaksian yang meringankan Antasari Azhar, mantan Ketua KPK,
yang dilengserkan setelah didakwa sebagai otak pembunuhan berencana Direktur PT
Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Ia tampil dengan pakaian uniform
polisi, tetapi tanpa izin dari pimpinan institusinya.
Susno Duadji juga
tampil di depan Pansus Angket DPR Kasus Bank Century, pada Rabu, 20 Januari
2010, dengan antara lain memberikan dokumen yang lalu disebut ‘testimoni’ dan
selanjutnya dikembangkan dan diterbitkan menjadi buku berjudul: Bukan Testimoni
Susno Duadji.
Testimoni itu antara
lain menyangkut kesengajaan (tidak memprioritaskan) melanjutkan penyidikan
kasus bail out Bank Century, karena ada yang diduga terlibat sedang mengikuti
Pemilu Wakil Presiden dan kemudian menang.
Selanjutnya, Susno
Duadji mengungkap aib makelar kasus pencucian uang dan pajak di Mabes Polri,
dalam diskusi bukunya, “Bukan Testimoni Susno”, pada Rabu, 10 Maret 2010, di
Gallery Cafe, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Tidak cukup sampai di
situ, Susno kemudian melaporkan masalah tersebut kepada Satgas Pemberantasan
Mafia Hukum pada Kamis, 18 Maret 2010. Laporan itulah yang kemudian mengungkap
kasus mafia pajak yang “melambungkan” nama Gayus Tambunan dan sekaligus menyeret
beberapa jenderal polisi.
Opini
Publik
Mengapa Susno berani
mengambil risiko sebesar itu? Mengapa Susno berani membuka tabir (whistle
blower) makelar kasus di Mabes Polri? Mengapa Susno ‘’melawan’’ institusinya?
Dapat diduga Susno
melakukan semua itu karena dirinya merasa dikorbankan dalam kasus kriminalisasi
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Bibit dan Chandra), maupun dalam kasus
pembunuhan berencana yang didakwakan kepada Antasari Azhar.
Opini publik yang
terbentuk menyimpulkan bahwa Susno adalah tokoh penting di balik rekayasa
pelemahan KPK itu. Tak heran kalau kemudian ia mendapat cacian bertubi-tubi
dari berbagai elemen masyarakat.
Susno mengibaratkan
Polisi sebagai buaya versus KPK sebagai cicak, sehingga kasus kriminalisasi
pimpinan KPK menjadi lebih populer dengan sebutan Cicak versus Buaya. Istilah
itulah yang kian memicu gelombang protes kepada Polri dan menuai dukungan
kepada KPK.
Masyarakat bahkan tak
mau mendengarkan penjelasan Susno bahwa istilah itu dikemukakannya dalam suatu
percakapan dengan wartawan tentang teknologi penyadapan yang dimiliki Polri dan
KPK.
Susno menjelaskan bahwa
dari segi teknologi penyadapan, peralatan Polri masih lebih baik dibanding
milik KPK. Perbandingannya seperti buaya (Polri) dan cicak (KPK).
Tapi dari segi
kewenangan atau kekuasaan justru sebaliknya KPK ibarat buaya dan Polri ibarat
cicak. Sayangnya, penjelasan itu tidak bisa lagi membendung opini publik bahwa
Polri menganggap dirinya sebagai buaya dan KPK sebagai cicak.
Tim Delapan (Tim
Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas kasus dugaan pemerasan yang
dituduhkan kepada dua pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto)
yang dibentuk Presiden SBY, juga turut menuding Polri berada di balik rekayasa
kriminalisasi KPK, serta menganggap Susno memegang peranan penting dalam kasus
tersebut.
Masyarakat pun semakin
yakin bahwa Susno memegang kendali atas rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK,
terutama karena jabatannya sebagai Kepala Bareskrim. Penjelasan Susno bahwa
dirinya sebagai Kabareskrim tidak dilibatkan dalam pengusutan dugaan suap dan
pemerasan yang dituduhkan kepada pimpinan KPK (Bibit-Chandra), pun dianggap
sebagai angin lalu.
Citra Susno sebagai
Kabareskrim Polri semakin buruk karena dirinya disebut-sebut pernah menemui
Anggoro Widjojo (bos PT Masaro) di Singapura saat mengusut kasus pencairan dana
Budi Sampoerna di Bank Century dan kasus korupsi PT Masaro yang melibatkan
Anggoro Widjojo, kakak Anggodo Widjojo.
Opini publik yang
paling membuat Susno sedih adalah dugaan bahwa dirinya menerima aliran dana Rp
10 miliar dalam kasus pencairan dana Budi Sampoerna di Bank Century.
Bantahannya di depan Komisi III DPR bahwa dirinya tidak pernah menerima Rp.10
miliar dari Budi Sampurna atau siapapun dalam kasus Bank Century, lagi-lagi tidak
dipercaya oleh publik.
Dalam kondisi seperti
itu, bukannya mendapat pembelaan dari institusinya, Susno malah dilengserkan
dari jabatannya sebagai Kepala Bareskrim Polri dan digantikan oleh Komjen Pol
Ito Sumardi Djunisanyoto, pada 24 November 2009.
Maka kalau sekarang
Susno melakukan evasi komunikasi kepada institusinya, mungkin banyak pihak yang
bisa memakluminya, termasuk orang atau pihak-pihak yang sebelumnya pernah
mencaci-maki Susno.***
-----
Penulis Asnawin
Aminuddin adalah mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria Makassar
Artikel ini dimuat di Harian Fajar, Makassar, Sabtu, 10 April 2010 (halaman 4)