-------
PEDOMAN KARYA
Senin, 05 Juni 2023
Genosida
dan Kejahatan Kemanusiaan Termasuk Extra Ordinary Crimes
Oleh:
Achmad Ramli Karim
(Pengamat Politik & Pemerhati Pendidikan)
Pemerintah harus
bertanggung jawab atas gugurnya ratusan petugas KPPS. Oleh karena itu,
Ombudsman RI mendesak pemerintahan untuk meminta maaf atas kematian ratusan
petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam Pemilu 2019.
Ombudsman berpendapat, pemerintah turut melakukan mal-administrasi dalam
penyelenggaraan Pemilu.
“Negara perlu meminta
maaf karena melakukan mal-administrasi yang menjadikan jatuhnya korban petugas
Pemilu,” ujar Anggota Ombudsman Adrianus Meliala, saat pemaparan hasil kajian singkat
bertajuk “Memahami Kematian Petugas Pemilu 2019: Perspektif Pelayanan Publik”,
di Kantor Ombudsman, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 20 Mei 2019.
Menurut Adrianus,
pemerintah ikut bertanggungjawab bersama DPR, KPU, Bawaslu, dan Kemenkes, atas
tragedi kematian petugas Pemilu. Sebab, pemerintah turut merancang dan
mengesahkan UU Pemilu yang terlalu teknis, sehingga abai atas keselamatan kerja
dan kesehatan petugas.
Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) akan melakukan penelitian khusus terkait meninggalnya
ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). “Sebab-sebab
kematian mendadak dan jumlah kesakitan yang jumlahnya cukup banyak apalagi
dalam kurun waktu pendek dalam perspektif keilmuan dan kemanusiaan seharusnya
didalami dan diteliti secara serius, independen, dan ilmiah,” ujar Ketua Umum
PB IDI Daeng Muhammad Faqih, dalam diskusi publik menyoal kematian mendadak
petugas KPPS, di Kantor PB IDI, Jakarta, Senin, 13 Mei 2023.
Apakah kematian
mendadak ratusan petugas KPPS pada Pemilu 2019, dapat dikategorikan pelanggaran
HAM berat?
Pelanggaran hak asasi
manusia yang berat merupakan “extraordinary crimes” dan berdampak secara luas,
baik pada tingkat nasional maupun internasional, dan bukan merupakan tindak
pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta
menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan
perasaan tidak aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga
perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai
kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, serta kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia;
Menurut Stuart Ford,
extraordinary crime atau kejahatan luar biasa adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan hak asasi umat manusia dan menjadi
yurisdiksi peradilan pidana internasional, serta dapat dijatuhkannya hukuman
mati terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Di Indonesia sendiri,
yang termasuk dalam extraordinary crimes di UU Pengadilan HAM adalah
pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada dua bentuk, yaitu “genosida” dan “kejahatan
terhadap kemanusiaan.”".
Inilah dampak dari
praktek transaksi kepentingan politik (politik transaksional), yaitu transaksi
politik yang dibangun oleh penguasa, pengusaha, dan para pimpinan parpol, untuk
membangun kepentingan kelompok (oligarki).
Begitu dahsyatnya
dampak negatif dari sistem “Politik Transaksional”, selain mencederai hah-hak
politik rakyat (HAM) dengan melumpuhkan fungsi DPR, juga melahirkan iklim
politik yang tidak sehat, yang dapat memicu terjadinya pembunuhan massal
terhadap suatu kelompok tertentu demi mencapai tujuan politik (genosida).
Transaksi kepentingan
yang dibangun oleh pimpinan parpol bersama kelompok oligarki, dapat melumpuhkan
fungsi dan kedudukan DPR. Begitu juga kontrak politik cenderung menghalalkan
segala cara tanpa etika politik untuk membangun kekuatan kelompok.
Genosida adalah salah
satu bentuk kejahatan dengan memusnahkan kelompok masyarakat tertentu secara
sistematis dan disengaja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
mendefinisikan genosida sebagai bentuk pembunuhan besar-besaran, secara
berencana terhadap suatu bangsa atau ras.
Dan untuk membuktikan
kasus kematian petugas KPPS 2019 sebagai pelanggaran HAM berat, maka harus
dapat dibuktikan bahwa kasus tersebut termasuk dalam bahagian politik
transaksional menyangkut pembunuhan massal suatu kaum atau etnis tertentu
(genosida) dan harus didukun oleh alat-alat bukti yang kongkrit.
Karena di Indonesia
yang termasuk kategori pelanggaran HAM berat (extraordinary crime) adalah
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana diuraikan di atas.
Di sisi lain, politik
transaksional yang berlaku sekarang, cenderung melumpuhkan fungsi DPR dan
hak-hak politik rakyat dalam sistim negara demokrasi Pancasila.
Amanat Undang-undang
Dasar 1945 pasal 20A ayat (1) menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Fungsi legislasi , DPR
memiliki tugas dan wewenang: (1) Menyusun Program Legislasi Nasional
(Prolegnas); (2) Menyusun dan membahas RUU; (3)
Menerima RUU yang
diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah); (4) Membahas RUU yang diusulkan
oleh Presiden ataupun DPD; (5) Menetapkan UU bersama Presiden
Menyetujui atau tidak
menyetujui Perpu yang diajukan Presiden untuk ditetapkan menjadi UU.
Fungsi anggaran, DPR
memiliki tugas dan wewenang: (1) Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN
(yang diajukan Presiden); (2) Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK
Memberikan persetujuan
terhadap pemindahtanganan aset negara maupun terhadap perjanjian yang berdampak
luas bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara.
Fungsi pengawasan, DPR
memiliki tugas dan wewenang: (1) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU,
APBN dan kebijakan pemerintah; (3) Membahas dan menindaklanjuti hasil
pengawasan yang disampaikan oleh DPD (terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE
lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama)
Tugas dan wewenang DPR
lainnya, antara lain: Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti
aspirasi rakyat;
Memberikan persetujuan
kepada Presiden untuk: (1) menyatakan perang ataupun membuat perdamaian dengan
Negara lain; (2) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial;
Memberikan pertimbangan
kepada Presiden dalam hal: (1) pemberian amnesti dan abolisi; (2) mengangkat
duta besar dan menerima penempatan duta besar lain; Memilih Anggota BPK dengan
memperhatikan pertimbangan DPD; Memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial
terkait calon hakim agung yang akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh
Presiden; Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk selanjutnya diajukan ke
Presiden.
Dalam hukum
ketatanegaraan (HTN) pembagian kekuasaan negara dalam 3 (tiga) bidang, yang
dikenal dengan istilah “Trias Politica.”
Berdasarkan teori Trias
Politica yang dikemukakan Montesquieu, kekuasaan negara dibagi dalam 3 bidang
kekuasaan. Apa saja 3 kekuasaan negara tersebut?
Menurut Montesquieu,
ajaran Trias Politika (pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga), meliputi; 1.
Kekuasaan eksekutif oleh Presiden bersama kabinetnya (pelaksana undang-undang),
2. Kekuasaan legislatif oleh DPR (pembuat undang-undang), dan 3. Kekuasaan
yudikatif oleh kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang).
Penulis: Drs Achmad Ramli Karim SH MH adalah Ketua Dewan Kehormatan dan Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Ketua Koorda Alumni (IKA) IPM/IRM Kabupaten Gowa, Alumni 81 PMP/PKn FKIS IKIP UP, Alumni 92 FH UMI Makassar