---------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 27 Juni 2023
Remah Tercecer dari Kongres Kebudayaan Sulsel 2023:
Linglung dalam Birokrasi Kebudayaan Berkesenian
Oleh: Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan)
Hidup berkesenian di
negeri ini seperti kita dipaksa mendaki bukit yang terjal. Seniman dan budayawan ibarat pendatang
baru (newcomer) dalam ruang-ruang publik bernegara. Tak terbayangkan, jika para
seniman ingin berkiprah mengisi kemerdekaan bangsanya, mereka harus
pontang-panting meminjam tempat untuk berekspresi.
Belum lagi ketika bicara
dana kegiatan, para seniman dipaksa “kehilangan
siriq”, meminta bantuan
lewat proposal, atas nama Undang-undang
Pemajuan Kebudayaan. Mengapa hal itu terjadi dan korbannya adalah seniman-budayawan?
Jawabnya, pemerintah
di semua tingkatan tidak serius memandang para seniman, sastrawan atau
budayawan sebagai pejuang hati nurani
bangsanya.
Di sisi lain, birokrasi
pemerintahan masih linglung memikirkan strategi bagaimana cara memanfaatkan
anggaran dinas untuk bidang kesenibudayaan. Dimensi ini terbaca ketika
stakeholder budaya masih mencari bentuk penganggaran lewat jalur bantuan
sosial, hibah atau dana abadi. Dan tentu saja ini menjadi proses birokrasi yang
cukup panjang, karena harus bertalian dengan regulasi yang “pasti” membuat kita semakin linglung. Lagi-lagi
pertanyaan,
mengapa?
Boleh dikata semua
Pemerintah Daerah, khususnya di Sulsel ini, mengalami “musibah” yang sama apabila berbicara soal dana
kesenibudayaan. Faktor penyebabnya antara lain karena tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) leading sektor bidang kebudayaan tidak berjalan secara normal.
Para pemimpin daerah,
termasuk Kepala Daerah dan Anggota DPRD, menganggap bahwa yang disebut
seni-budaya hanyalah peninggalan-peninggalan masa silam, seperti naskah kuno,
tradisi leluhur, musik turiolo, tari tradisional, busana adat, dan situs-situs sejarah.
Karena itu, ketika para
seniman, sastrawan atau budayawan berbicara bantuan anggaran pembinaan kesenian, maka tolok ukurnya “wajib” tradisional. Pemahaman birokrasi ini
diperparah oleh Undang-undang No. 5 Th. 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.
Undang-undang ini telah
membingkai secara sistematis 10 dimensi pemajuan kebudayaan yang esensinya
adalah karya bernuansa kearifan lokal masa silam. Esensi ini kelak dipastikan
menjadi kerangka pikir dalam Peraturan Daerah Tentang Pemajuan Kebudayaan di
Sulawesi Selatan.
Lantas jika demikian, di
posisi mana terletak esensi seni-budaya modern-kontemporer? Adakah Perda-Perda
lain yang membingkainya dalam konteksasi program kegiatan dan kebijakan
Anggaran Daerah? Nah, di sinilah yang saya maksud dengan istilah “Birokrasi Linglung.”
Di dalam Birokrasi
Pemerintahan Daerah, semua dimensi kehidupan sudah tercakup. Ada bidang sosial,
ekonomi, budaya, hukum, politik, pendidikan dan agama; semuanya menjadi penting
dalam struktur kebijakan publik. Karena itu, para aktor kebudayaan di lingkup birokrasi tidak perlu
linglung mencari-cari bentuk penganggaran kegiatan seni-budaya di daerah
masing-masing.
Peraturan Daerah tentang
Pembentukan Kelembagaan, seperti dinas,
badan atau kantor di setiap wilayah, sudah
merekomendasikan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing.
Di dalam Perda
Kelembagaan itu ada uraian
tugas yang wajib dilaksanakan secara
instansional. Aktor-aktor birokrasi di setiap lembaga harus cerdas mengelola
visi-misi instansinya, meramu rencana kegiatan dan memprediksi biaya
pelaksanaannya ke dalam APBD setiap tahun.
Hak-hak anggaran
pembinaan, penelitian, atau pengembangan dan pelestarian seni-budaya pun tidak
terkecualikan. Dinas Kebudayaan di setiap daerah, memiliki hak anggaran
kegiatan seni-budaya di dalam APBD.
Perda Pembentukan
Kelembagaan inilah yang menjadi Dasar Hukum untuk pembiayaan kegiatan
kesenibudayaan melalui alokasi dana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Jika toh ada kendala dalam implementasi kegiatan kesenibudayaan, tentu
hal tersebut berkaitan erat dengan kompetensi managerial pimpinan instansinya.
Karena itu, sekali lagi,
tidak perlu linglung. Silakan Perda Tentang Pemajuan Kebudayaan berjalan sesuai
proses legislasi. Tapi, di pihak lain, kegiatan pembinaan dan pengembangan
seni-budaya modern, kontemporer, seperti sastra, teater, film, tari, lukis dan
musik, tetap wajib terlaksana setiap tahun. Dan ini harus dalam bentuk
kebijakan publik yang berbasis APBD.***
Makassar, 26 Juni 2023