Zulkarnain Hamson (kiri) menerima hadiah buku "Dari Jembatan Sapiri ke Batu-batu Birokrasi" dari Mahrus Andis. (ist) |
------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 04 Juni 2023
Mahrus
Andis: Seniman, Sastrawan, Pegiat Literasi Budaya
Oleh:
Zulkarnain Hamson
(Akademisi)
KRITIKUS Sastra
Indonesia yang ada di Kawasan Timur Indonesia ini, salah satu yang saya kagumi
kedalaman ilmu dasarnya. Berdomisili di Kabupaten Bulukumba, juga penulis buku
yang produktif.
Pertemuan kami dimulai
saat saya digabungkan dalam grup WhatsApp Forum Sastra Indonesia Timur
(FOSAIT), dan Kakanda Andi Mahrus sudah lebih dulu di grup itu.
Pemikirannya yang
bernas tentang dunia seni, sastra dan literasi budaya, membuat saya kerap
cermat mengikuti ulasannya. Kedalaman pada kajian ke-Islam-an, kerap disembunyikan
dalam-dalam, sesekali menyeruak saat mengomentari banyak hal terkait fenomena
sosial kemasyarakatan.
Sore menjelang magrib,
saya tak ingin beranjak dari kursi Kafebaca. Sudah hampir setahun terakhir,
saat Jumat, kami komunitas SATUPENA Sulsel dan FOSAIT memilih shalat di Masjid
BBGP kawasan Jalan Adhyaksa Makassar.
Seperti biasa saat
berada di Makassar, Bang Mahrus memanfaatkan untuk mengajak kami berdiskusi.
Hari ini saya kebagian rejeki yakni buku karyanya berjudul: “Dari Jembatan
Sapiri ke Batu-batu Birokrasi”. Buku setebal 328 itu berisi 23 bagian dibuka
dengan esai “Jembatan Sapiri” dan ditutup dengan “Batu-batu Birokrasi.”
Sehari sebelumnya, saya
merasa kurang sehat. Flu menyerang, kepala terasa pening, namun undangan ke LLDikti
IX, dan rapat bersama teman-teman Kompak Sulsel, membuat saya harus menguatkan
diri melawan virus menjengkelkan.
Melalui grup WA saya
melihat ada Bang Mahrus di Kafebaca. Di sana saya melihat ada Rahman Rumaday,
Alimin Vanzer, Awing Mitos, Rusdin Tompo, Anjas Abdullah, dan Syahril Rani (penulis
Sanjak Mangkasara), maka arah kendaraan kuputar menuju Kafebaca. Tak lama
bergabung Idwar Anwar, Asnawin Aminuddin, dan Amir Jaya.
Pekan ini juga, saya
melihat Bang Mahrus tengah “konser” di hadapan guru-guru Bahasa Indonesia.
Kehadirannya diundang oleh Kelompok Kerja Guru (KKG), maka pertemuan kami siang
hingga sore membahas seputar sastra, seni, budaya dan literasi.
Uraiannya logis. Sesekali
kami mendengar, menyimpulkannya, belum tentu tepat, tetapi saya percaya
simpulan kami tetap dihormatinya, sekalipun mungkin berbeda atau tidak tepat.
Semisal mengapa Bang Mahrus lebih didengar komunitas literasi Makassar,
dibandingkan Bulukumba lontaran gagasannya tentang pentingnya penerapan nilai
kearifan lokal dalam spirit layanan pemerintah, ide tepat.
Dalam ruang ujian
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, tahun 1984, menghadapi penguji
Sumarwati Poly, Ishak Ngeljaratan, H Daeng Mangemba, Nunding Ram, dipimpin Prof
Dr Husein Abbas, Bang Mahrus dinilai telah memiliki syarat sebagai sarjana
sastra dengan nilai kelulusan sangat memuaskan.
Semua itu bisa dibaca
pada halaman 98 dengan judul; “Akhirnya Aku Doktorandus Juga”. Jika para guru
yang ujiannya ibarat ‘serbuan angin tornado’ di atas bisa dihadapinya dengan
baik, maka ‘penguji’ diskusi sekelas meja Kafebaca, ibarat tiupan angin ‘sepoi-sepoi’,
maka terkadang simpulan jawaban yang keluar dari mulutnya disertai kunci
syariah. Terima kasih senior, tetaplah mencerahkan.
Kafebaca, 03 Maret 2023