------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 09 Juni 2023
Pejabat Arogan
Oleh: Asnawin Aminuddin
Tak banyak orang yang
mendapatkan keberuntungan seperti Fulan. Ketika masih kecil, ayahnya kebetulan
sudah menjadi pejabat pada salah satu kadipaten di Negeri Angin. Yah, namanya
juga anak pejabat, hidupnya pasti enak.
Fulan kecil bisa
memperoleh apa saja yang diinginkannya. Ia bisa memilih sekolah favorit. Ia bisa memakai baju bagus. Ia bisa memamerkan sepatu mahalnya. Ia diantar-jemput ke sekolah. Ia bisa berlibur kemana saja, dan
seterusnya.
Di usia remaja, Fulan
tetap beruntung karena orangtuanya masih menjadi pejabat. Ia masih bisa
mendapatkan hampir semua yang diinginkan, termasuk memacari beberapa wanita
cantik, memiliki sepeda motor dan sesekali bisa memakai mobil pribadi atau
mobil dinas orangtuanya.
Fulan sebenarnya bukan
anak cerdas. Angka-angkanya di buku rapor sekolah biasa-biasa saja. Ketika
kuliah pun, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)-nya hanya berada di garis
rata-rata. Tetapi karena uangnya banyak, pandai bergaul, suka berorganisasi,
dan pandai memanfaatkan situasi, maka ia pun kadang-kadang dianggap cerdas.
Bakat bawaannya sebagai
keturunan pejabat juga sudah terlihat sejak masih sekolah hingga duduk di bangku kuliah. Ia selalu mampu
memainkan situasi sehingga dirinya pun sering menjadi ketua atau unsur ketua
organisasi.
Pergaulannya yang luas
membuat dirinya memiliki banyak teman, termasuk mereka yang sudah menduduki
jabatan penting. Kariernya sebagai pegawai negeri pun melejit bagaikan anak
panah.
Di usia yang masih
tergolong muda, Fulan sudah menduduki beberapa jabatan strategis. Pada usia
40-an, ia sudah menjadi pejabat yang cukup berpengaruh di kantor gubernur.
Sejak saat itulah namanya ‘’berkibar’’.
Ia sering diwawancarai
wartawan. Fotonya sering tampil di koran, tabloid, dan majalah. Ia selalu
tampil ceria dan ramah kepada semua orang. Tak heran kalau kemudian banyak yang
mengusulkan dan mengharapkannya memimpin salah satu kadipaten di Negeri Angin.
Atas desakan berbagai
pihak, Raja Negeri Angin pun kemudian mengangkat Fulan sebagai bupati pada
salah satu kadipaten. Upacara pelantikannya sebagai bupati dihadiri ribuan
orang dan rakyat setempat menyambutnya dengan tangan terbuka.
Rakyat setempat berharap
ia dapat memimpin dengan baik dan sukses. Harapan besar pun diberikan
kepadanya. Saat menjabat bupati, Fulan mulai berubah. Ia tidak lagi ramah dan
ceria seperti dulu. Ia sudah mulai sering terlihat susah. Jidatnya kerap
berkerut saat tampil di muka publik.
Perubahan itu membuat
banyak relasi dan kawan lamanya prihatin. Ada yang kemudian malas
menghubunginya, ada yang menjauh, tetapi ada juga yang mencoba menasehatinya.
Mendapat nasehat dan
menyadari perubahan dirinya, Fulan pun mencoba mengembalikan kepercayaan
dirinya dan mencoba “mengembalikan” dirinya yang dulu. Upaya itu berhasil dan
Fulan pun kembali menjadi orang yang disenangi.
Atas berbagai prestasi
yang diraih dan karena hubungannya yang cukup bagus dengan raja, maka Fulan
tetap dipercaya menjadi bupati selama dua periode berturut-turut.
Pengangkatannya sebagai bupati dua periode berturut-turut sebenarnya tidaklah
pantas.
Sesungguhnya ia tidak
bisa dikatakan berhasil. Tak banyak perubahan yang dilakukannya selama satu
periode sebagai bupati. Kebetulan saja ia mampu meyakinkan banyak pihak bahwa
dirinya berhasil dan selalu tampil di media massa setiap kali ada sesuatu yang
dilakukan atau ketika mendapat penghargaan.
Ketika menjabat bupati
pada periode kedua, ia juga tidak banyak berbuat. Ia lebih banyak berupaya agar
dirinya dapat tetap menjadi pejabat setelah jabatannya habis sebagai bupati.
Ia pun lebih banyak “bermain” agar kelak raja tetap menjadikan dirinya
sebagai pejabat di Kerajaan Negeri Angin. Alhasil, setelah habis jabatannya
sebagai bupati dua periode, Fulan ditarik menjadi pejabat kerajaan. Ia menjadi
salah satu menteri kerajaan.
Fulan benar-benar
beruntung, karena sejak kecil ia tak pernah mengalami kesulitan ekonomi, bahkan
boleh dikata ia selalu hidup berlebihan. Ia juga pandai membentuk opini publik
sebagai pejabat yang bersih, menarik, dan disenangi.
Tak banyak yang tahu
bahwa ia kerap bersikap arogan kepada bawahannya. Tak banyak yang tahu bahwa ia
sering memandang enteng orang lain. Tak banyak yang tahu bahwa ia juga sesekali
“jajan”. Tak banyak yang tahu bahwa beberapa
anaknya sering mengonsumsi minuman keras dan mengalami ketergantungan
obat-obatan terlarang.
Ketika ada orang yang
berkunjung ke rumah atau ke kantornya, biasanya ia tidak mau menerima dengan
alasan sibuk, sedang istirahat, sedang ada tamu, atau sedang keluar, terutama
kalau orang yang datang itu “bukan
siapa-siapa”
atau dianggap hanya akan meminta sesuatu.
“Bilang
saja, saya ada tamu,” pesan Fulan kepada sekretarisnya kalau
ada orang yang datang dan ia enggan menerimanya.
Pada hari lain ia
berpesan, “Kalau
ada tamu, bilang saya sedang keluar kantor.”
Begitulah. Di mata
publik, Fulan adalah pejabat yang ramah, tetapi sesungguhnya ia adalah pejabat
arogan dan sering menganggap remeh orang lain. ***
Artikel ini dimuat di Tabloid LINTAS, Makassar, Edisi nomor 15, Minggu III-IV Juli 2010