Pentingkah Perda Pemajuan Kebudayaan?

Bicara tentang implelemtasi Undang-undang Pemajuan Kebudayaan, sepertinya Alwy Rahman dan Suparman Sopu yang pas mengurai materi dengan kebutuhan masa kini. Alwy Rahman berbicara banyak mengenai inti Undang-Undang No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dan Suparman Sopu mengulik peran Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Kebudayaan, selaku Aktor Budaya dalam manajemen birokrasi.

 

------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 25 Juni 2023

 

Catatan Tersisa dari Kongres Kebudayaan Sulsel 2023:

 

Pentingkah Perda Pemajuan Kebudayaan?

 

Oleh: Mahrus Andis

(Sastrawan, Budayawan)

 

Menjadi peserta Kongres Kebudayaan Sulawesi Selatan, Sabtu, 24 Juni 2023, di Gedung Mulo Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulsel, rasanya kembali ke masa-masa silam di tahun 70-an.

Bertemu dengan banyak teman seniman Makassar seperti Ajiep Padindang, Syahrial Tato, Yudhistira Sukatanya, Ahmadi Haruna, Azis Nojeng, David Aritanto, Bahar Merdu, Syahril Rani Patakaki, Dewi, Luna, dan lain-lain, rasanya amat menyenangkan.

Ada pula seniman dari Kabupaten Bone, Andi Youshan. Dari Barru, Badaruddin Amir. Dari Parepare, Tri Astoto. Dari Maros, Nawir Sultan. Dan dari Bulukumba, Agusriady Maula, serta dari beberapa kabupaten lainnya.

Saya juga bertemu dengan banyak narasumber, antara lain Prof Aminuddin Salle, Prof Andi Ibrahim, Prof Sofyan Salam, Dr Alwy Rahman, Dr Suparman Sopu, Prof Muhlis Hadrawi, dll.

Pertemuan saya dengan narasumber ini juga rasanya sama di tahun-tahun 70-an dan 80-an. Mungkin karena materi kongres masih tetap berbau masa silam atau cara penyajian para narasumber yang kurang menyentuh persoalan “Apa yang harus dilakukan Pemerintah Provinsi Sulsel atas hadirnya UU. No. 5 Th. 2017 itu?

Entahlah. Yang saya rasakan, kongres ini kurang mengaktualisasi secara teknis persoalan-persoalan seni-budaya, khususnya seni kreatif dan kearifan lokal yang dihadapi masyarakat Sulsel dewasa ini.

Bicara tentang implementasi Undang-undang Pemajuan Kebudayaan, sepertinya Alwy Rahman dan Suparman Sopu yang pas mengurai konteks materi dengan kebutuhan masa kini.

Alwy Rahman berbicara banyak mengenai inti Undang-Undang No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dan Suparman Sopu mengulik peran Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Kebudayaan, selaku Aktor Budaya dalam manajemen birokrasi.

Kalau dipikir, memang inti Pemajuan Kebudayaan adalah proses pengelolaan, penggalian, perlindungan dan pelestarian budaya secara sistematis dan berkelanjutan. Stakeholdernya adalah para pejabat pemerintahan yang diamanahkan sesuai tugas pokok jabatannya, baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten-kota. Sementara para seniman dan budayawan hanyalah pelaku yang seharusnya dihargai eksistensinya.

Sebelum terbit UU.No.5/2017, sudah ada program aksi kebudayaan yang melekat secara instansional pada Birokrasi pemerintahan.

UU No. 5/2017 ini sebenarnya lebih bersifat penguatan saja yang berfokus pada pembinaan kebudayaan tradisional, seperti manuskrip, naskah-naskah kuno, dan kesenian peninggalan masa lalu.

Oleh karena itu, strategi tentang pemeliharaan, pengembangan dan pelestarian seni budaya, secara rutin, adalah tanggung jawab Pemerintah Daerah bersama Anggota DPRD, melalui penyediaan anggaran di dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Untuk mengimplementasi program instansional ini, maka leading sektor yang membidangi kebudayaan, harus menyusun rencana strategis berupa tahapan-tahapan kegiatan kesenibudayaan setiap tahunnya dalam bentuk kebijakan publik yang dibiayai oleh APBD. Di tataran inilah keterlibatan DPRD, baik provinsi maupun kabupaten-kota untuk memberi dukungan dan mengawal pelaksanaan kebijakan pemerintahan di sektor pemajuan kebudayaan.

Lantas, apakah Peraturan Daerah (PERDA) masih harus ada sebagai dasar legitimasi pelaksanaan Undang-Undang No.5 Th. 2017? Jawabnya, Perda tersebut tetap diperlukan sebab ia menjadi penguatan legislasi dalam penggunaan anggaran dan pengawasan legislatif atas kebijakan eksekutif.

Namun, tentu saja Perda tentang Pemajuan Kebudayaan tersebut, tidak harus menjadi alasan bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan kabupaten-kota untuk menunda pelaksanaan kegiatan seni-budaya setiap tahunnya. Mengapa? Karena program pemeliharaan rutin, termasuk seminar budaya, bincang buku sastra, pelatihan dan pagelaran seni-budaya, baik tradisional maupun kontemporer, sudah melekat pada instansi leading sektor utamanya, yaitu Dinas Kebudayaan.

 

Makassar, 25 Juni 2023


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama