----------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 06 Juni 2023
Catatan
Harian Seorang Jurnalis:
Tak Ada Tulisan yang Sia-sia, Semua Ada Pembacanya
Oleh: Muhammad Rusdy
Embas
(Wartawan Senior)
Pada Senin, 20 Maret
2023, berlangsung diskusi buku di Kafebaca Jl Adhyaksa No 2 Panakkukang,
Makassar. Tokoh pers versi Dewan Pers HM Dahlan Abubakar dan penulis Anil Hukma
menjadi pemantik diskusi.
Meski peserta diskusi
tidak seramai biasanya, pertemuan yang dipandu mantan wartawan Harian Pedoman
Rakyat Makassar, Asnawin Aminuddin, itu berlangsung dinamis. Mereka membahas
buku karya Muhammad Ramli S Nawi, yang diberi judul; “Daily Notes of A
Journalist; Catatan Harian Seorang Jurnalis.”
Ini merupakan buku
kedua karya jurnalis kelahiran Balocci, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan,
Sulawesi Selatan itu. Sebelumnya, buku pertamanya berjudul Surat Untuk Maria
juga dibedah di tempat ini.
Anil Hukma memantik
perbincangan dengan menyebut buku ini sebagai sebuah dokumen yang mengabadikan
pengalaman penulisnya sebagai jurnalis. Soal bermakna-tidaknya catatan ini,
tergantung pada yang mendokumentasikannya.
Anil Hukma sangat
efektif memanfaatkan waktu untuk menyampaikan tanggapannya. Menurutnya, buku
ini masih memunculkan banyak pertanyaan bagi pembaca. Sebagai jurnalis, penulis
bisa menyampaikan semua informasi secara tuntas. Taak membuat pembaca penasaran
lagi.
Sebagai catatan harian,
buku ini seharusnya merupakan dokumen bagi penulis dalam menarasikan kisahnya.
Bercerita apa adanya. Penulis bebas berkreasi. Apalagi, ini bukan merupakan
dokumen sejarah yang harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Meski demikian, buku
Catatan Harian Seorang Jurnalis ini tetap saja penting sebagai sebuah dokumen
yang bermakna dan bisa menjadi referensi bagi siapa saja. Itu karena tak ada
tulisan yang sia-sia. Semua ada pembacanya.
Tokoh pers Sulawesi
Selatan versi Dewan Pers yang juga mantan Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rakyat,
Dahlan Abubakar, mengatakan, nuansa batin yang dialami penulis ketika membuat
catatan hariannya ini sungguh berbeda dengan kondisi sekarang.
Dunia wartawan sudah
berbeda. Jadi wartawan di masa-masa sulit seperti yang dialami penulis buku ini
benar-benar sarat tantangan. Sudah capek mengejar berita menarik misalnya,
tetapi begitu tulisan selesai dibuat tiba-tiba ada telepon masuk ke redaksi
yang berujung pada larangan memuat berita tersebut.
Repotnya, berita itu
pun langsung masuk laci tanpa penjelasan yang memuaskan. Kendati demikian, sang
jurnalis biasanya mencoba mafhum jika ada kebijakan redaksi seperti itu. Alasan
klasiknya, untuk kepentingan yang lebih besar. Merawat keberagaman negeri ini.
Yang menyakitkan
adalah, jika informasi yang gagal jadi berita di media mainstream itu, justru
muncul dalam bentuk selebaran yang dibuat oleh pihak tertentu sebagai bentuk
lain perlawanan terhadap larangan memuat informasi yang sesungguhnya menarik
dan dibutuhkan publik.
Dahlan juga menyebut
isi buku Catatan Harian Seorang Jurnalis ini belum ditulis lengkap. Banyak
informasi yang seharusnya membutuhkan penjelasan detail tidak diurai oleh
penulisnya. Padahal, itu sangat penting bagi mereka yang tidak menyaksikan
sebuah peristiwa misalnya.
Banyak informasi penting
yang belum teringat oleh penulisnya. Padahal, wartawan itu sesungguhnya dilatih
dan terlatih untuk selalu mengingat peristiwa. Baik yang dialami langsung
maupun didengar dan dibaca.
Wartawan Suara
Pembaruan, Kiblat M Said, mengungkapkan juga sepenggal kisahnya sebagai
jurnalis lintas angkatan. Kala itu, Kiblat masih tercatat sebagai wartawan
koran Tegas.
Dia mengungkap sejumlah
tantangan yang harus dihadapi oleh jurnalis di rezim Orde Baru. Bukan hanya
wartawan yang harus merasakan larangan pemuatan berita. Di rantai lain
manajemen media juga menghadapi tantangan yang tak kalah mirisnya.
Tidak banyak yang tahu
jika loper dan penjual koran eceran pun kadang mendapat perlakuan tidak nyaman.
Padahal, mereka tidak terkait langsung dengan pemberitaan.
Suatu ketika, sejumlah
penjual koran eceran, khususnya di tempat strategis berkumpul di suatu tempat.
Tujuannya mudah ditebak. Mereka dilarang mengedarkan dan menjual koran yang
memuat berita tertentu. Tak heran, jika ada pada hari itu, semua koran habis di
kios koran. Bukan laris manis, tetapi karena diborong oleh orang tertentu agar
berita yang terlanjur naik cetak tak dibaca banyak orang.
Catatan penting lainnya
dalam diskusi ini adalah, muncul keinginan sejumlah wartawan untuk menceritakan
kisahnya, melakoni profesi sebagai jurnalis. Mungkin bakal ada yang berani
menulis petualangan kisah - kasih ala semut-semut merahnya Obbie Mesakh.
Dahlan yang sudah
menulis sejumlah buku itu, menantang jurnalis mendokumentasikan perjalanan
kariernya sebagai pewarta dalam bentuk buku. Hampir dapat dipastikan, rangkaian
kisah itu sangat dinamis karena setiap wartawan akan mengisahkan liputannya
dari sudut pandang berbeda.
Secara khusus Dahlan
Abubakar menantang Kiblat Said mengisahkan perjalanan kariernya sebagai
jurnalis yang banyak menghadapi dinamika di masa-masa yang sarat tantangan.
Seniman Yudhistira
Sukatanya juga menyebut buku Catatan Harian Seorang Jurnalis yang ditulis oleh
Ramli S Nawi itu sebagai sebuah memoar bagi penulisnya. Buku ini memuat
penggalan ingatan bagi penulis dalam menjalankan profesinya yang sangat
menantang.
Dia mengatakan, masih
banyak kisah yang bisa dituliskan para jurnalis dengan melacak dan merawat
ingatan. Bahkan, itu bisa dikembangkan dengan mencari narasumber untuk
melengkapi dan menambah bobot catatannya.
Tetapi yang tak kalah
pentingnya untuk dilakukan saat ini menurut Yudhistira adalah, bagaimana
menyimpan dan merawat buku karya para wartawan di sebuah tempat yang mudah
diakses bagi yang butuh referensi tentang kewartawanan.
“Kafe Baca mungkin bisa
memulai dengan menyiapkan pojok khusus untuk memajang buku tulisan wartawan,”
katanya menyarankan.
Jika itu bisa
diwujudkan menurut Yudhistira, akan memudahkan jika ada yang bermaksud
mengetahui jejak perjalanan seorang wartawan melaksanakan tugas jurnalistiknya.
Di bagian akhir, Ramli
S Nawi berkisah, mulai tertantang mengumpulkan catatannya untuk dijadikan buku
setelah membaca buku yang ditulis oleh Muthia Hafied yang mengisahkan
pengalamannya ketika tersandera selama 146 jam.
Ramli yang berkarir di
salah satu media mingguan terbitan Jakarta itu mengaku masih banyak catatannya
yang belum terangkum dalam buku tersebut, termasuk kisah yang dimuat dalam buku
Surat Untuk Maria yang juga sudah didiskusikan di Kafe Baca, beberapa waktu
lalu.
Salah satu poin penting
dalam diskusi ini, bakal banyak jurnalis yang akan membuat buku mengisahkan
perjalanan kariernya sebagai wartawan. Ini menarik ditunggu dan dibedah
ramai-ramai.
Bukankah mahkota bagi
seorang jurnalis terefleksi pada karya-karyanya yang terdokumentasi dalam
bentuk buku yang ditulisnya? #salamikhlas
Kafebaca, Jl. Adhyaksa,
No. 2, Panakkukang, Makassar
Senin, 20 Maret 2023