-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 21 Juli 2023
Cerita
Tentang Buku
Oleh:
Rusdin Tompo
(Koordinator
Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena Provinsi Sulawesi Selatan)
Buku-buku yang saya
punya, tidak ujug-ujug bisa dimiliki. Ada cerita di baliknya, bagaimana saya
membeli buku dan mengapa saya membeli buku. Buku-buku itu terus memenuhi lemari
di rumah, hingga suatu ketika tak bisa lagi diatur pada rak-rak yang ada.
Kami sudah menyediakan dua
lemari buku berukuran tinggi dua meter dan panjang 1,8 meter. Tetap saja tak
muat. Lalu kemudian kami menggunakan kotak-kotak styrofoam--yang biasa dipakai
pedagang ikan--untuk menampung buku-buku itu.
Meski suka membaca,
awalnya saya tidak rutin membeli buku. Membeli buku hanya sesekali saja. Saat
SMA, ketika masih tinggal di Ambon, buku yang dibeli bisa dihitung dengan jari.
Maklum anak sekolahan hehehe.
Buku-buku serial “Lupus”
karya Hilman Hariwijaya, merupakan buku yang paling saya ingat. Itupun hanya
beberapa yang dibeli. Cerita “Lupus” yang dimuat di Majalah HAI, memang populer
di paruh kedua tahun 80-an. Buku lain yang membekas dalam ingatan saya, yang
dibeli saat itu, yakni karya Maurice Bucaille, berjudul “Bibel, Qur’an, dan
Sains Modern.”
Buku dengan judul asli “La
Bible le Coran et la Science” itu, belakangan saya jadikan sebagai
kenang-kenangan ketika akan meninggalkan Ambon, pada tahun 1987, untuk kuliah
di Makassar. Buku yang memantik minat saya pada ilmu pengetahuan itu, saya
hadiahkan kepada sahabat saya, Embong Salampessy.
Begitu menjadi
mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin (Unhas), di tahun 1987, tidak
banyak buku-buku teks terkait disiplin ilmu hukum yang saya miliki. Bahkan
boleh dikata, saya kurang tertarik membeli buku bertema hukum kala itu, selain
yang memang dianjurkan. Kalau ke toko buku, saya malah lebih tertarik pada
buku-buku bertema sosial politik, atau buku-buku populer dan lagi aktual.
Toko Arena Ilmu di
Jalan Mongisidi, merupakan toko buku yang kerap saya kunjungi. Toko ini
bersebelahan dengan Toko Siswa yang menyediakan perlengkapan sekolah dan alat
tulis kantor (ATK). Di sekitar Maricaya Baru ini, juga ada toko buku Bina Ilmu
dan toko Dunia Ilmu di Jalan Bulukunyi.
Dari rumah saya di
Kassi-Kassi, dekat Perumnas Panakukkang II, saya mesti naik pete-pete, sebutan
angkutan kota di Makassar, trayek Sentral-Perumnas. Nanti saya turun di Jalan
Kumala, lalu lanjut dengan pete-pete trayek Sentral-Veteran. Turunnya nanti
setelah Pasar Maricaya, di pertigaan Jalan Mongisidi-Jalan Veteran Selatan.
Masih harus sedikit berjalan kaki untuk tiba ke toko buku Arena Ilmu.
Begitu masuk ke toko
buku, kita sudah digoda dengan buku-buku best seller yang ditaruh di dekat
kasir. Emha Ainun Nadjib, Kuntowijoyo, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin
Rakhmad, merupakan deretan penulis yang saya koleksi bukunya, di masa awal
mulai rutin membeli buku.
Biasanya, saya ke toko
buku kalau ada kelebihan uang sisa kiriman wesel. Setelah dipakai membayar SPP,
saya gunakan membeli buku. Adakalanya, saya ke toko buku kalau lagi dapat
orderan bikin spanduk. Ini keahlian saya yang sangat membantu selama masa
kuliah di Fakultas Hukum.
Orderan spanduk itu
bisa dari Senat Fakultas Hukum atau dari Fakultas Hukum. Nyaris semua spanduk
saya kerjakan, selama rentang kuliah di kampus merah, Tamalanrea. Mulai dari
spanduk seminar, bakti sosial, maupun untuk keperluan studium generale.
Ada kejadian, saya
harus kembali ke toko buku Arena Ilmu, setelah tiba di rumah. Mengapa? Itu
karena buku yang saya beli, ternyata ada yang halamannya kurang atau tertukar.
Beruntung, pemilik toko mengizinkan buku itu ditukar dengan buku yang berjudul
sama. Supaya tidak mengalami nasib serupa, sejak saat itu, setiap kali membeli
buku, saya memeriksa halamannya satu demi satu.
Kedekatan dengan buku
berlanjut saat bekerja sebagai broadcaster di Radio Venus AM, tahun 1994. Ada
seorang fans yang memberikan saya buku sebagai kenang-kenangan. Buku “Sejarah
Hidup Muhammad” karya Haekal. Buku menjadi tanda pencapaian saya, ketika
menjadi peserta terbaik Pelatihan Jurnalistik Radio I, tahun 1998, yang
diadakan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).
Saya mendapat hadiah
buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo”. Buku itu ditandatangani semua trainer,
yang merupakan dedengkotnya radio di Indonesia. Salah satu di antaranya, Errol
Jonathans, dari Radio Suara Surabaya.
Keranjingan membeli
buku terjadi selama periode saya di dunia aktivis. Saat bergabung di Lembaga
Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan, saya kerap membeli buku-buku untuk
memperkaya pemahaman saya tentang pentingnya perlindungan anak.
Saya membaca buku-buku
tema kesehatan, pendidikan, psikologi, hak asasi manusia, hokum, dan tema-tema
lain yang dibutuhkan untuk membangun argumentasi pentingnya pemenuhan hak-hak
anak. Saya membaca pengalaman-pengalaman lapangan para aktivis dan LSM yang
bekerja dengan dan bersama anak-anak.
Setiap kali
berkesempatan ke Jawa, bila ada kegiatan pelatihan, saya tidak langsung pulang
ke Makassar. Saya biasanya bertandang ke kantor-kantor LSM untuk merasakan
atmosfer ‘kehidupan’ dunia pergerakan.
Saya ke Jakarta, Bogor,
Solo, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, bahkan ke Jember. Pada kesempatan itu,
saya menikmati perjalanan menggunakan kereta api, sesuatu yang tidak saya
dapatkan di Makassar.
Bila berada di kantor
LSM tersebut, saya dibiarkan melihat-lihat buku. Juga dibolehkan mengambil
buku-buku yang bukan koleksi lembaga. Beberapa buku bahkan saya dapatkan dari
penulisnya langsung. Menurut mereka, bila saya diberi buku, pasti dibaca, dan
akan ditulis lagi.
Di samping buku-buku
yang menggambarkan dunia aktivisme, saya juga mulai tertarik pada buku-buku
yang menggambarkan tentang masa depan. Buku-buku karya Alvin Toffler, seperti
Future Shock dan The Third Wave, dalam versi bahasa Indonesia, saya miliki.
Juga buku-buku yang
kemudian dinyatakan terlarang, saya baca, di antaranya Kapitalisme Semu Asia
Tenggara, karya Yoshihara Kunio, yang mengupas perkoncoan penguasa dan
pengusaha di sejumlah negara Asean.
Pada era itu, saya
kagum pada sejumlah teman aktivis yang ke mana-mana selalu membawa buku. Abdul
Rasyid Idris dan M Ghufran H Kordi K, adalah beberapa di antaranya.
Para aktivis lintas isu
masih kerap bertemu dalam berbagai forum, di penghujung Orde Baru hingga awal
Reformasi. Kami sering dipertemukan dalam diskusi-diskusi yang membahas isu
lingkungan, perempuan, anak, konsumen, HIV AIDS, HAM, kemerdekaan pers,
demokrasi, dan topik-topik lain yang hangat kala itu.
Pada kesempatan itu,
saya melihat para aktivis ini, datang dalam pertemuan dengan memegang buku di
tangan, atau dibawa dalam tas. Keren melihatnya. Walau mereka tidak bermaksud
pamer dan sekadar gagah-gagahan. Namun dari tampilan itu, kita melihat dunia
aktivis yang tumbuh dan berkembang karena sikap kritis, dan punya basis
referensi dan argumentasi.
Mendirikan
LSM LISaN
Tahun 2002, saya coba
mandiri dengan mendirikan LSM sendiri: LISaN, akronim dari Lembaga Investigasi
Studi Advokasi Media dan Anak. Modal saya mendirikan lembaga ini dari hasil
warisan penjualan rumah orangtua di Kassi-Kassi.
Dari hasil dapat
warisan itu, sebagian digunakan untuk mengontrak rumah di Perumahan Tirta Mas, dekat
Bonto Duri 6, sebagian lainnya digunakan untuk membiayai kegiatan pelatihan
anak-anak dampingan Plan Indonesia Program Unit Takalar.
Saya mesti keluarkan
biaya lebih dahulu, karena dananya belum cair. Padahal ada dana awal yang mesti
dipakai untuk memenuhi keperluan pelatihan. Itu memang atas kesepakatan saya
dengan staf Plan, yang jadi penanggung jawab pelaksana kegiatan.
Punya kantor sendiri,
berarti mesti punya perpustakaan pendukung. Maka saya pun menjadikan buku-buku
koleksi pribadi menjadi milik lembaga atau lebih tepatnya bisa dibaca semua
orang. Ada orang khusus yang mengurus perpustakaan mini ini, yang juga jadi
staf administrasi kantor. Tak ada budget yang lembaga sediakan untuk membeli
buku-buku. Buku-buku koleksi LISaN, saya beli dari kocek sendiri.
Kalau ada kegiatan
sebagai narasumber, biasanya ada honorarium yang diberikan. Sebagian uangnya
saya belikan buku. Saya singgah di Gramedia, Mal Ratu Indah, untuk membeli
buku, setelah itu baru ke Hero supermarket, membeli keperluan rumah tangga.
Kadang ada perasaan
tidak enak terhadap istri. Maklum, masih tinggal di rumah kontrakan, jadi perlu
pengaturan penghasilan yang ketat. Belum lagi, ada tuntutan membeli keperluan
anak yang masih kecil-kecil. Namun karena dorongan membeli buku begitu kuat,
akhirnya tetap tak terhindarkan keinginan membeli buku-buku ini.
Saya punya cara agar
tidak terlihat membawa pulang buku baru, setiap kali pulang belanja, saat masih
ngontrak di sana. Setiap kali saya pulang dari mal, saya akan membawa belanjaan
keperluan rumah melalui pintu depan, yang terhubung ke ruang tamu. Sedangkan
buku yang saya beli, saya bawa melalui pintu samping, yang merupakan kantor
LISaN.
Sebenarnya, istri saya
tidak melarang membeli buku. Saya saja yang merasa tidak enak hati. Ternyata,
istri saya juga pembaca buku, khusus novel dan biografi. Kami malah sering
jadikan toko buku sebagai tempat rekreasi bersama anak-anak.
Saat pindah ke Jalan
Emmy Saelan Lorong 2, yang juga menjadi alamat kantor LISaN selanjutnya,
kebiasaan membeli buku berlanjut. Bahkan saat itu, saya punya patokan
tersendiri. Bila saya menerima honor sebagai pembicara sebesar Rp250 ribu, maka
mesti ada satu buku saya beli. Jadi jangan heran, jika kemudian buku-buku saya
terus bertambah memenuhi rak-rak buku kami.
Menulis
Artikel
Membeli buku menjadi
lebih asyik ketika saya punya hitung-hitungan yang bukan sekadar perkara
matematis. Sejak tahun 2000, saya mulai menulis artikel yang awalnya dimuat di Harian
Pedoman Rakyat. Di surat kabar legendaris ini, ada halaman resensi. Jadi,
selain menulis artikel opini, saya juga bisa memanfaatkan rubrik resensi.
Inilah kalkukasi yang
saya buat. Saya tak ragu membeli buku karena buku itu saya akan resensi dan
dimuat di koran. Paling tidak saya kutip sebagai rujukan saat menulis opini.
Dari situ saya akan dapat honor, sehingga akan ‘balik modal’. Malah bukan cuma
dapat honor, tapi juga ‘dapat nama’ dari tulisan tersebut.
Ini hitung-hitungannya
terkesan praktis, tapi sangat strategis dalam membantu saya membentuk personal
branding sebagai penulis isu anak dan media. Pendekatan ini membuat saya tak
ragu membeli buku. Saya rasakan manfaatnya membaca buku dengan beragam tema dan
genre, walau tidak harus saya pahami secara utuh.
Di antara buku-buku
yang dibeli itu, kadang dibeli untuk keperluan kutipan. Bahkan ada juga yang
dibeli karena desain dan tata letak atau kemasan yang menarik. Ada pula yang
dibeli karena mau mengadaptasi ide buku tersebut.
Yang pasti, setiap buku
yang dibeli punya alasan tersendiri. Sebagai orang yang sudah memantapkan diri
sebagai penulis, saya butuh banyak asupan gizi. Dan buku-buku itulah sumber
nutrisi saya.***
Gowa, 19 Juli 2023