-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 31 Juli 2023
Komunikasi
Politik ala Muhammadiyah
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Muhammadiyah identik dengan Din Syamsuddin, Syafii Maarif, Amien Rais, KH AR Fachruddin, dan KH Ahmad Dahlan. Mereka identik dengan Muhammadiyah karena mereka adalah orang yang sedang atau pernah menjabat ketua umum organisasi Islam terbesar di Indonesia itu.
Pimpinan tertinggi
sebuah organisasi merupakan simbol. Mereka memersonifikasi keberhasilan atau
kegagalan organisasi yang dipimpinnya. Maka sangat tidak mudah menjadi pimpinan
tertinggi sebuah organisasi, apalagi organisasi besar seperti Muhammadiyah.
Seorang pimpinan
organisasi harus mampu berpikir secara analitikal dan konseptual, mampu menjadi
penengah bilamana terjadi perselisihan di internal organisasi, serta mampu
membuat keputusan-keputusan sulit.
Di era reformasi dan
alam demokrasi seperti sekarang ini, seorang pimpinan tertinggi organisasi juga
merupakan diplomat dan politisi, karena mereka sewaktu-waktu mewakili secara
resmi organisasi yang dipimpinnya pada pertemuan-pertemuan keorganisasian,
bahkan tidak jarang mewakili sejumlah organisasi sejenis pada level yang lebih
tinggi, misalnya mewakili organisasi keagamaan Indonesia pada pertemuan
internasional.
Para pimpinan
organisasi juga harus mampu membangun komunikasi yang baik, serta membentuk
aliansi-aliansi atau koalisi-koalisi bila diperlukan demi mencapai tujuan
organisasi, dan itu adalah kerja politik.
Maka kalau Din
Syamsuddin, Syafii Maarif, dan Amien Rais (yang kebetulan ketiganya adalah
profesor) banyak melakukan kerja-kerja politik, itu hanya sebuah konsekuensi
dari tugas berat yang diembannya sebagai ketua umum Muhammadiyah.
Amien Rais yang dijuluki
tokoh reformasi (bersama sejumlah kalangan) bahkan mendirikan partai politik
(Partai Amanat Nasional) dan kemudian terpilih menjadi Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, demi membesarkan organisasi yang dipimpinnya.
Selain demi mencapai
tujuan organisasi, ketiga tokoh tersebut juga pasti sadar sesadar-sadarnya
bahwa Muhammadiyah tidak mungkin dipisahkan dari politik, karena kader dan
simpatisan Muhammadiyah, sebagaimana manusia pada umumnya, adalah makhluk
politik.
Din Syamsuddin, Syafii
Maarif, dan Amien Rais juga tahu bahwa Muhammadiyah didirikan untuk menjawab
tantangan dan dinamika dakwah dan sosial politik. Jika aspirasi politik kader
dan simpatisan Muhammadiyah tidak tersalurkan secara baik pada jalur sistem
komunikasi politik yang konvensional (sebagaimana diatur dalam Undang-undang)
justru dapat membahayakan sistem politik Indonesia secara keseluruhan.
Dengan demikian,
interrelasi atau keterlibatan Muhammadiyah dengan dinamika politik adalah
sebuah keharusan. Masalahnya kemudian adalah seberapa jauh dan bagaimana
sebaiknya bentuk keterlibatan itu?
Bagaimana sebaiknya
hubungan Muhammadiyah dengan partai politik? Apakah Muhammadiyah harus
mendirikan parpol? Apakah Muhammadiyah perlu mendukung salah satu parpol?
Apakah Muhammadiyah tidak sebaiknya menjaga jarak yang sama dengan semua
parpol?
Tergantung
Sikon
Kemampuan bertahan
hidup selama hampir satu abad (didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1 November
1912 Masehi / 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah) dan kebesaran Muhammadiyah, tidak
terlepas dari kemampuan personal para ketua umumnya dalam melakukan komunikasi
politik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Dalam ilmu komunikasi
disebutkan bahwa komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi
yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan
dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik
juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara "yang memerintah" dan
"yang diperintah."
Ketua umum Muhammadiyah
bisa disebut aktor politik, karena mereka pasti melakukan kerja-kerja politik
dan melakukan komunikasi politik dengan berbagai elemen, terutama dengan
pemerintah (eksekutif) dan legislatif.
Melihat kiprah dan
perjalanan panjang Muhammadiyah di pentas politik dan pemerintahan, maka
sesungguhnya Muhammadiyah memiliki gaya yang `'unik'' dalam melakukan
komunikasi politik, yang diperankan oleh ketua umumnya sejak berdiri sampai
sekarang.
Seorang ketua umum
organisasi sebagai pemimpin memiliki wewenang dan kekuasaan untuk bisa melaksanakan
tugasnya. Berdasarkan wewenang itulah ketua umum organisasi akan membimbing,
menggerakkan, dan mengarahkan mereka yang dipimpinnya menuju tujuan bersama.
Cara menggunakan wewenang dapat berbeda-beda dari satu pemimpin ke pemimpin
yang lain. Perbedaan cara penggunaan wewenang ini dapat menciptakan gaya
kepemimpinan dan gaya komunikasi yang berbeda-beda.
Gaya
Unik
Gaya kepemimpinan dan
gaya komunikasi politik para ketua umum Muhammadiyah saya sebut unik, karena
selalu terpengaruh oleh situasi dan kondisi, serta banyak dipengaruhi oleh
latar belakang pribadi masing-masing ketua umumnya. Inilah gaya komunikasi
politik ala Muhammadiyah.
KH Ahmad Dahlan
(1912-1923), KH Ibrahim (1923-1932), dan KH Hisyam (1932-1936) adalah kiyai dan
ulama tulen, sehingga gaya kepemimpinan dan gaya komunikasi politik mereka
sangat santun, serta cenderung memilih `'bekerja-sama'' dan `'mengalah untuk
menang.''
KH Mas Mansur
(1936-1942) dan Ki Bagoes Hadikoesoemo (1942-1953) secara cerdas memainkan
peran komunikasi politik dalam upaya memerdekakan Indonesia dari penjajahan. KH
Mas Mansur termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat
diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad
Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur.
Ki Bagoes Hadikoesoemo
kemudian menggantikan kedudukan KH Mas Mansur sebagai empat serangkai bersama
Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Ki Bagoes termasuk dalam
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau (PPKI).
Buya AR Sutan Masur
(1953-1959) yang pernah menjadi pengurus Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin
Indonesia) dan juga pernah diangkat sebagai Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In
(semacam DPR dan DPRD) oleh pemerintah kolonial Jepang, tidak terlalu banyak
melakukan komunikasi politik dengan pemerintahan Soekarno, karena ia membenci
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tidak senang dengan kediktatoran Soekarno.
KH M Yunus Anis
(1959-1962) terpilih sebagai ketua umum Muhammadiyah ketika Masyumi dibubarkan
yang membawa implikasi buruk terhadap umat Islam, karena umat Islam nyaris
tidak terwakili di parlemen saat itu (DPRGR). Dalam kondisi seperti itu, beliau
kemudian menerima permintaan beberapa orang untuk menjadi anggota DPRGR demi
untuk kepentingan jangka panjang, yaitu mewakili umat Islam yang nyaris tidak
terwakili dalam parlemen saat itu.
KH Ahmad Badawi
(1962-1968) 'menerima warisan situasi dan kondisi yang kurang bagus
pascapembubaran Masyumi, serta di saat Muhammadiyah berhadapan dengan kuatnya
tekanan politik masa Orde Lama. Menghadapi realitas politik seperti itu,
Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis,
serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. KH Ahmad Badawi kemudian dekat
dengan Presiden Soekarno dan diangkat menjadi menjadi Penasehat Pribadi
Presiden di bidang agama.
KH Faqih Usman
(1968-1971) hanya beberapa hari menjabat ketua umum Muhammadiyah sebelum beliau
meninggal dunia pada 3 Oktober 1968.
KH AR Fakhruddin
(1971-1990) membuat Muhammadiyah menjadi teduh dan di tangannya Islam terasa
sangat mudah dan toleran. Beliau secara halus dan sopan tidak menerima setiap
ditawari menjadi anggota DPR RI atau jabatan lainnya di pemerintahan Orde Baru.
Prof Dr KH Ahmad Azhar
Basyir (1990-1995) hanya beberapa tahun memimpin Muhammadiyah karena meninggal
dunia, sehingga tidak banyak yang bisa dibahas mengenai gaya kepemimpinannya,
kecuali bahwa beliau seorang akademisi dan sekaligus ulama.
Prof Dr HM Amien Rais
(1995-2000) memimpin Muhammadiyah di saat masyarakat menghendaki adanya
perubahan besar pada pemerintahan. Isu reformasi atau pergantian pemerintahan yang
diusung Amien Rais bersama mahasiswa dan hampir seluruh elemen masyarakat,
akhirnya berhasil memaksa Soerhato meletakkan jabatan yang sekaligus menandai
berakhirnya rezim pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun.
Prof Dr H Ahmad Syafi'i
Ma'arif (2000-2005) dan Prof Dr Din Syamsuddin (2005-2010) sebagaimana ditulis
pada bagian awal tulisan ini banyak melakukan kerja-kerja politik selama
memimpin Muhammadiyah.
Terlepas dari keunikan
gaya komunikasi politik Muhammadiyah, demi menjaga hubungan yang baik dengan
pemerintah dan berbagai elemen masyarakat, demi nama dan citra yang baik,
Muhammadiyah bersama ketua umumnya sebaiknya tidak lagi terlibat dalam dukung
mendukung calon presiden.
Muhammadiyah dan ketua
umumnya juga sebaiknya menjaga jarak yang sama dengan semua parpol. Janganlah
ada parpol yang seolah-olah diistimewakan. Janganlah lagi merestui pendirian
parpol baru yang memakai simbol-simbol Muhammadiyah.***
------
Keterangan: Artikel opini ini dimuat di Harian Tribun Timur, Makassar, edisi Selasa, 27 April 2010 (http://www.tribun-timur.com/read/artikel/98999/Komunikasi-Politik-Ala-Muhammadiyah)