-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 02 Juli 2023
Mendagri Tidak Memiliki Kewenangan Mencopot Kepala Daerah
Oleh: Achmad Ramli Karim
(Pengamat
Politik & Pemerhati Pendidikan)
“Mendagri Sampaikan Kabar Terbaru, Bakal Copot Sejumlah Penjabat Kepala Daerah, Nama Sudah Dikantongi.” Ini judul berita di media daring.
Menteri Dalam Negeri
(Mendagri), Tito Karnavian,
sudah mengantongi nama kepala daerah yang tidak dapat mengendalikan laju
inflasi di bawah 4 persen. Sebab, ketidakmampuan tersebut menjadi faktor untuk
mencopot dari jabatannya.
Mendagri mengamati selama
tiga bulan berturut-turun kepada penjabat kepala daerah untuk mengendalikan
inflasi di wilayahnya. Bagi Tito, langkah tersebut merupakan upaya pemerintah
dalam rangka menjaga stabilitas harga bahan pokok di masyarakat. Maksudnya
supaya tidak terjadi perbedaan tingkat harga yang tinggi antara satu daerah
dengan daerah lain.
“Saya sudah bilang,
teman-teman Pj (penjabat kepala daerah) ada 105, sekarang kalau 3 bulan
berturut-turut [inflasi] di atas nasional, saya ganti,” ujar Tito seperti
dikutip usai peluncuran Gerakan Pangan Murah serentak seluruh Indonesia di
Jakarta, Senin,
26 Juni 2023.
Namun Tito enggan
mengungkapkan, nama atau daerah dari penjabat daerah yang saat ini tidak bisa
mengendalikan inflasi di daerahnya. “Nggak perlu tahu. Pokoknya di daerah itu
inflasinya di atas 4 persen. Usulan nanti dari gubernur pasti akan saya masukin
ke laci saya aja,”.
Dalam kesempatan
tersebut, Tito menegaskan pada 2023, jumlah Pj kepala daerah di masa transisi
akan bertambah menjadi 170 orang, terdiri atas bupati/walikota. Secara
administrasi kenegaraan, pengangkatan Pj akan diusulkan oleh gubernur kepada
Kementerian Dalam Negeri untuk mendapatkan persetujuan penunjukan penjabat
pengganti tersebut.
Penunjukan Pj Kepala
Daerah tersebut oleh Mendagri, sehubungan dengan penundaan serentak pemilihan
Kepala Daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Pelaksanaan pemungutan
suara direncanakan digelar secara serentak pada 27 November 2024. Total daerah
yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 sebanyak 548
daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 98 kota.
Sebenarnya secara konstitusional
penundaan pemilihan Kepala
Daerah secara serentak, merupakan pelanggaran konstitusi (undang-undang) dan
termasuk kudeta konstitusional. Dimana jabatan kepala daerah merupakan jabatan
politik dan bukan jabatan birokrasi atau jabatan fungsional. Oleh karenanya harus dipilih langsung oleh
rakyat dalam pesta demokrasi (Pilkada).
Dan secara hukum, Pilkada hanya dapat ditunda jika negara
dalam keadaan luar biasa (darurat), serta dinyatakan secara hukum pula. Baik
keadaan luar biasa atau darurat itu untuk seluruh wilayah NKRI, maupun untuk
sebagian wilayah saja dan keadaan darurat tersebut tidak terjadi. Dengan alasan
ini, penundaan pilkada dapat dianggap sebagai upaya kudeta konstitusi.
Kejadian Luar Biasa yang
selanjutnya disingkat KLB, adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah
dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada
terjadinya wabah.
Menurut aturan itu, suatu
kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur: Timbulnya suatu penyakit menular
yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal. Peningkatan kejadian
penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut
jenis penyakitnya
Akademisi dari
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung Fathul Mu'in mengatakan penundaan Pemilu hanya bisa dilakukan saat situasi
negara dalam kondisi luar biasa. Beberapa kondisi yang memungkinkan adalah
bencana alam, atau perang.
Sementara Undang-Undang
tentang pemilihan kepala daerah (PILKADA): UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang
pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, dengan tegas dinyatakan:
Pasal 3, (1) Gubernur dipilih oleh anggota DPRD
Provinsi secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil. (2) Bupati dan walikota dipilih oleh
anggota DPRD kabupaten/kota secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil.
Pasal 4, (1) Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima)
tahun sekali serentak secara
nasional. (2) Calon gubernur
dan calon bupati dan calon walikota berasal
dari bakal calon yang telah mengikuti proses uji publik.
Pasal 5, (1) DPRD provinsi memberitahukan secara
tertulis kepada gubernur
mengenai berakhirnya masa jabatan gubernur
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum berakhir masa jabatan gubernur.
Dengan demikian,
penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun
2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU, dapat diduga
sebagai bahagian dari kudeta tersebut.
Jika Terjadi Kekosongan
Kepala Daerah, Lihat Ketentuan PP No. 12/2018. Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten, dan Kota, yang
ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 12 April 2018, juga
mengatur tentang tata cara pengisian kekosongan jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut PP ini, salah
satu tugas dan wewenang DPRD Provinsi, Kabupaten, Kota adalah memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dalam hal terjadi kekosongan
untuk sisa masa jabatan lebih dari 18 (delapan belas) bulan.
Dengan demikian publik
secara apriori
dapat mengasumsikan bahwa lahirnya regulasi tunda Pilkada, adalah bahagian dari skenario
oligarki untuk menguasai birokrasi pemerintahan daerah menjelang Pemilu 2024 melalui penunjukan pelaksana
tugas (Plt). Semoga Plt bukan person yang bisa dikategorikan sebagai petugas
partai.
-----
Penulis Drs Achmad Ramli Karim SH MH adalah Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Ketua Koorda Alumni (IKA) IPM/IRM Kabupaten Gowa, Alumni 81 PMP/PKn FKIS IKIP Ujungpandang, Alumni 92 FH UMI Makassar.