-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 19 Juli 2023
OPINI
Muhasabah
Diri di Tahun Baru Islam
Oleh:
Mohammad Muttaqin Azikin
Setiap tanggal 1
Muharram, menjadi penanda bagi kaum Muslimin akan datangnya awal tahun baru
Islam. Momentum ini menegaskan kepada kita akan sebuah fase perjalanan telah
dilewati, dan bersiap memasuki fase waktu berikutnya.
Mungkin yang tepat kita
lakukan dalam kaitan ini ialah melakukan evaluasi dan muhasabah diri. Sejauh
mana kita umat Islam, telah mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dengan baik,
di negeri tercinta ini.
Sebagai agama
kemanusiaan, Islam seperti diyakini, memiliki tuntunan filosofis dalam rangka
menyelamatkan arah perubahan sejarah peradaban manusia. Dalam filsafat
penciptaan, Allah SWT yang merupakan Causa Prima ‘menitiskan’ derivasi
kemuliaan cinta-Nya kepada Nur Muhammad, sebagai kerangka dasar lahirnya
penciptaan semua fenomena alam.
Dari sinilah tajalliyat
Allah di bumi diawali dan diakhiri. Oleh karena manusia merupakan Khalifatullah
di bumi, maka dengan demikian tanggung jawab penyelamatan peradaban umat
manusia ada di pundak mereka.
Islam diturunkan Tuhan
untuk mengubah dunia, dalam bentuknya sebagai agama yang mempunyai landasan
nilai-nilai dalam kehidupan, berhadapan dengan berbagai kemerosotan pada
dimensi kehidupan masyarakat.
Konsepsi Islam tentang
perubahan, bukanlah sesuatu yang bersifat deterministik. Akan tetapi, ia merupakan
hasil dari kondisi-kondisi alamiah, yang pada batas tertentu, dapat ditundukkan
oleh kehendak dan pilihan manusia.
Karenanya, sebuah
perubahan bergerak dari kehendak dan pilihan, bukan keterpaksaan. Sebab itu,
dalam pandangan Islam, manusia adalah pencipta perubahan. Al-Qur’anul Karim
mengemukakan: “Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah nikmat yang
telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, sampai kaum itu mau mengubah apa
yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfal : 53).
Dalam firman lain,
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sampai mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d : 11)
Lantas, bagaimana
dengan umat Islam di negeri ini, yang jumlahnya mayoritas? Adakah kualitas
kehidupan umat, sudah sebanding dengan kuantitasnya? Tampaknya, dalam kenyataan
yang ada, hal kesenjangan inilah yang masih merisaukan berbagai pihak.
Lalu, kapankah kita
menjadi umat terbaik seperti yang digambarkan Quran dalam Surah Ali Imran 110?
Tentu saja bila berbicara mengenai kualitas umat, tidak mungkin dipisahkan
dengan kualitas dari individu-individu muslim.
Menarik untuk direnungkan,
penggalan puisi dari KH Mustofa Bisri, yang berjudul “Selamat Tahun Baru Kawan”:
SELAMAT
TAHUN BARU KAWAN
Kawan, sudah tahun baru
lagi
Belum juga tibakah
saatnya kita menunduk
Memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan
Sebelum kita
dihisab-Nya
Kawan, siapakah kita
ini sebenarnya
Musliminkah
Mukminin
Muttaqin
Khalifah Allah
Umat Muhammad kah kita?
Khaira Ummatinkah kita?
Atau kita sama saja
dengan makhluk lain
Atau bahkan lebih
rendah lagi
Hanya budak-budak perut
dan kelamin
Sejalan dengan puisi di
atas, Allah SWT telah menerangkan dalam Surah Al-A’raf ayat 179 dengan firman-Nya, “Dan sungguh, akan Kami
isi neraka jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka
memiliki mata tapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan
Allah, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengarkan ayat-ayat Allah. Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat
lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Lazimnya memang,
kualitas manusia akan sangat ditentukan oleh kekuatan (quwwah) yang ada pada
diri manusia itu sendiri. Menurut Sayyid Kamal Haidari, ada beberapa jenis
kekuatan yang membentuk jiwa (nafs) manusia.
Pertama, Quwwatun
Bahimiyyah atau kekuatan kebinatangan. Unsur inilah yang mendorong seseorang
untuk mencari kepuasan lahiriah dan kenikmatan sensual. Kedua, Quwwatun
Sab’iyyah atau kekuatan binatang buas. Kekuatan ini yang mewujud saat seseorang
senang menyerang orang lain, memakan hak orang, membenci, menghancurkan dan
mendengki orang lain.
Ketiga, ada juga yang
disebut para sufi dengan Quwwatun Syaithaniyyah/wahmiyyah. Yaitu kekuatan yang
mendorong manusia untuk membenarkan segala kejahatan yang dilakukan. Misalnya,
melakukan korupsi.
Setan lalu membisikkan
kalau ia tidak perlu merasa bersalah, karena itu dilakukan untuk membantu orang
lain. Namun, Tuhan juga menetapkan pada diri manusia, percikan cahaya Tuhan
yang dinamai Quwwatun Rabbaniyyah atau biasa pula diistilahkan Quwwatun
Aqliyyah. Ini adalah bagian penting dari kepribadian manusia, sebab kekuatan
ini terletak pada akal sehatnya.
Karena tahun baru Islam
terkait dengan peristiwa hijrah Rasulullah SAW, maka sejatinya, saat momentum
tersebut tiba, pengikut Rasul suci, mesti melakukan hal yang sama dalam
bentuknya yang lain. Dengan potensi kekuatan yang dimiliki, setiap Muslim harus
berhijrah dari keburukan kepada kebaikan, dari berbagai hal yang negatif menuju
pada yang positif.
Muhammad Abduh pernah
mengatakan bahwa seringkali Islam tertutup oleh orang-orang Islam. Lebih
tegasnya, keindahan syariat Islam kadangkala tertutup oleh cara orang
mengamalkan ajaran Islam. Shalat Anda kurang bermakna, bila tidak dapat
mencegah kekejian dan kemungkaran. Haji Anda tak berarti, jika Anda tidak
meninggalkan rumah sempit egoisme dalam diri Anda. Bagaimana orang bisa
tertarik menegakkan sistem pemerintahan Islam, bila yang tampil sebagai negara
Islam adalah gambaran menakutkan tentang Islam.
Padahal, Al-Qur’an
menyebut umat Islam sebagai Khaira Ummah, umat yang terbaik. Rasulullah SAW
memberi tuntunan pada kita, “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari
kemarin, maka dialah orang yang beruntung. Siapa yang hari ini keadaannya sama
dengan kemarin, maka dia dalam keadaan merugi. Dan siapa yang kondisinya hari
ini lebih buruk dari sebelumnya, maka sesungguhnya dia celaka.”
Olehnya itu, saat ini
adalah waktu yang tepat bagi umat Islam, secara aktif dan progresif melakukan
muhasabah diri. Menjalankan perubahan dan perbaikan dengan konsisten. Meningkatkan
kualitasnya, serta mengambil peran yang lebih nyata, agar dapat memberi
pengaruh positif dalam upaya memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk
Indonesia tercinta.
“Demi waktu. Sungguh,
manusia berada dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh, serta saling menasihati untuk kebenaran dan
kesabaran.”
Selamat Tahun Baru
Islam 1445 H.
------
Penulis Mohammad
Muttaqin Azikin adalah pengurus Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Sulsel
dan peneliti pada Ma’Refat Institute (Makassar Research for Advance Transformation)
Sulawesi Selatan