Satu Abad Mastini Hardjoprakoso, Kepala Perpusnas Pertama

SATU ABAD. Mastini Hardjoprakoso lahir di Modjogedang, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, 07 Juli 1923, adalah salah seorang tokoh di balik berdirinya Perpustakaan Nasional dan sekaligus Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pertama pada tahun 1980-1998.

 

------

PEDOMAN KARYA 

Sabtu, 08 Juli 2023

 

Satu Abad Mastini Hardjoprakoso, Kepala Perpusnas Pertama

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan)

 

Banyak tokoh, pejuang, dan orang-orang berjasa yang ketika meninggal dunia, tidak banyak orang memedulikannya. Namun belakangan namanya muncul ke permukaan setelah orang-orang mengenangnya dengan menulis profil dan karya-karyanya dalam bentuk artikel atau buku.

Salah satu di antaranya yaitu Mastini Hardjoprakoso. Pada saat beliau meninggal dunia pada Senin, 03 April 2017, nyaris tidak ada media yang memberitakan.

Dua hari kemudian, tepatnya pada Rabu, 05 April 2017, media daring suryamalang.tribunnews.com memuat berita dengan judul, “Mastini Hardjoprakoso Wafat, Tak Banyak Orang Mengenalnya, Padahal Jasanya Besar untuk Indonesia.”

Setelah berita itu muncul, barulah orang-orang kaget, terutama para pustakawan. Maka berbagai artikel pun bermunculan di media massa tentang sosok Mastini Hardjoprakoso.

Mastini Hardjoprakoso yang lahir di Mojogedang, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, 07 Juli 1923, dikenal sebagai pemimpin di bidang perpustakaan dan telah menerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama sebagai putra terbaik bangsa dan Nugra Jasa Dharma Pustaloka dari Perpusnas.

Ia adalah salah seorang tokoh di balik berdirinya Perpustakaan Nasional dan sekaligus tokoh perempuan di Gerakan Pramuka. Beliau adalah Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pertama pada tahun 1980-1998.

Anak ke-6 dari tujuh bersaudara dari pasangan RMT Hardjoprakoso dan RA Mantinah adalah cerminan sosok yang lembut, sederhana, namun memiliki kegigihan yang kuat dalam kehidupannya.

RMT Hardjoprakoso yang dulu menjabat sebagai bupati di Kerajaan Mangkunegoro, termasuk pendiri Paguyuban Ngesti Tunggal, sebuah paguyuban kejiwaan yang menanamkan perilaku dan menjadi pegangan hidup masyarakat Solo saat itu.

Maka wajar apabila RMT Hardjoprakoso menanamkan pembangunan karakter yang kuat dan kemudian banyak mempengaruhi kepribadian dan perilaku Mastini Hardjoprakoso di kemudian hari.

Mengawali pendidikannya di HIS Siswo School di Solo yang gurunya rata rata adalah orang Belanda, Mastini kemudian melanjutkan pendidikannya ke Mevrouv Groot School (Huishoudschool), sekolah yang didirikan oleh orang Belanda bagi anak-anak pribumi.

Kebanyakan guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut adalah orang Belanda, sehingga Mastini mahir berbahasa asing yaitu Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris, selain bahasa sehari-harinya yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.

Huishoudschool setara dengan Sekolah Keguruan Putri dan Mastini mengambil ketrampilan menyulam yang amat digemarinya.

Jenjang pendidikan selanjutnya adalah Frobel Kweekschool, Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (TK) yang diselesaikannya dalam waktu 2 tahun.

Menjadi guru TK di lingkungan Mangkunegara dijalaninya dengan senang hati. Walaupun hidup melajang, Tenok (nama kecil Mastini) amat menyayangi anak-anak dan tercermin dari kedekatannya dengan keponakan yang jumlahnya tidak sedikit.

Selain menjadi guru TK, beliau aktif terjun dalam Pandu Rakyat sejak tahun 1946. Pada saat Pandu Rakyat dibubarkan oleh Bung Karno dan berganti nama dengan menggunakan istilah pioneering, Mastini bersama sahabat dari kalangan pandu, Husein Mutahar, memperjuangkan penggunaan nama Pradja Muda Karana dan selanjutnya dikenal dengan istilah Pramuka.

Tahun 1950, Mastini meninggalkan kota kelahirannya untuk tinggal bersama kakaknya Ir. Susilo, yang ditunjuk sebagai Kepala Dinas Kehutanan di Jakarta.

Mastini kemudian melanjutkan pekerjaannya sebagai guru TK milik Angkatan Darat di sekitar Lapangan Banteng. Walaupun mencintai pekerjaannya, MH tergugah juga untuk mencoba mencari pekerjaan lain.

Ia kemudian bekerja pada Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI) yang awalnya merupakan lembaga swasta Belanda yang dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

 

Dikirim Belajar ke Belanda

 

Di sinilah awal Mastini berkenalan dengan dunia perpustakaan. Ketekunannya dalam bekerja menarik perhatian para atasannya, karena sebagai orang muda, Mastini menunjukkan keseriusan, komitmen dan keinginan maju, kreatif.

Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI) kemudian mengirim Mastini ke Belanda selama setahun (1955-1956) untuk belajar teknis perpustakaan di Nederlands Instituut voor Documentatieen Registratie (NIDR), dengan beasiswa Stichting voor Culturele Samenwerking (Sticusa).

Sekembalinya ke Indonesia, Mastini melanjutkan pekerjaannya di LKI. Tahun 1962, LKI diserahkan kepada pemerintah dan namanya berubah menjadi Museum Pusat berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), lebih khusus lagi di bawah Direktorat Jendral Kebudayaan. Dengan sendirinya, Mastini harus mengikuti perubahan lembaganya dan diberi tugas sebagai sebagai kepala perpustakaan.

 

Pameran Surat Kabar Langka

 

Saat menjadi kepala Perpustakaan Museum Pusat, Mastini memprakarsai pameran surat kabar langka yang berusia ratusan tahun dan memiliki nilai historis. Pameran tersebut menampilkan surat kabar zaman Gubernur Daendels (1810), Raffles (1812), Pangeran Diponegoro (1925), berdirinya Boedi Utomo, Sumpah Pemuda, sampai Proklamasi Kemerdekaan. Dapat dibayangkan kerja keras Mastini yang didukung stafnya yang penuh dedikasi dalam menyiapkan pameran besar dalam berbagai bahasa.

Banyaknya kalangan media datang meliput membuahkan hasil, termasuk ketertarikan Ibu Tien Soeharto. Ibu Negara dan sekaligus Ketua Yayasan Harapan Kita mengunjungi pameran dan melihat kondisi perpustakaan yang dianggapnya kurang memadai. Ibu Tien bahkan mengunjungi kembali Perpustakaan Museum Pusat bersama Presiden Soeharto pada tahun 1971.

Dalam kunjungan yang kedua ini, Mastini sempat menyampaikan pentingnya memiliki Perpustakaan Nasional dan tampaknya Ibu Tien menanggapinya dengan serius. Mastini secara kebetulan memiliki hubungan kekerabatan dengan Ibu Tien.

Tahun 1979, Museum Pusat berubah menjadi Museum Nasional Indonesia dan status Mastini pun tetap sebagai Kepala Perpustakaan Museum Nasional Indonesia. (bersambung)


------

Referensi:

Halim, Muhammad; Mastini Hardjoprakoso: The Unsung Hero of Indonesian Library; https://edoo.id/2022/11/mastini-hardjoprakoso-the-unsung-hero-of-indonesian-library/; Dikutip pada Sabtu, 08 Juli 2023

Kamil, Harkrisyati; Mastini Hardjoprakoso: Sekilas Perjalanan Hidup dan Kontribusi dalam Bidang Perpustakaan di Indonesia; https://www.isipii.org/artikel/mastini-hardjoprakoso-sekilas-perjalanan-hidup-dan-kontribusi-dalam-bidang-perpustakaan-di; Dikutip pada Sabtu, 08 Juli 2023

Mastini Hardjoprakoso Wafat, Tak Banyak Orang Mengenalnya, Padahal Jasanya Besar untuk Indonesia; https://suryamalang.tribunnews.com/2017/04/05/mastini-hardjoprakoso-wafat-tak-banyak-orang-mengenalnya-padahal-jasanya-besar-untuk-indonesia; Dikutip pada Sabtu, 08 Juli 2023 


-----

Artikel Bagian 2:

Paper Mastini Dijadikan Rujukan dalam Pendirian Perpustakaan Nasional


Artikel Bagian 3:

Perjuangan Mastini Melepaskan Perpusnas dari Kementerian dan Menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama