-------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 26 Juli 2023
Tujuh Perkara yang Ditanyakan Nabi Musa kepada Allah
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Komisi Kominfo MUI
Sulsel / Majelis Tabligh Muhammadiyah Sulsel)
Ibnu Hibban (Muhammad
bin Hibban Al-Busti), seorang ilmuwan muslim keturunan Arab, fukaha, ahli
hadis, linguis, ahli geografi, ahli kedokteran, astronom, sejarawan, mutakalim,
dalam salah satu bukunya yang berjudul “Shahih Ibnu Hibban”, menulis sebuah
hadits tentang tujuh perkara yang ditanyakan Nabi Musa kepada Allah subhanahu
wata’ala.
Ibnu Hibban menulis sebuah
hadits, “Dari Abu Hurairah secara marfu’ yang sampai kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
bahwasanya beliau bersabda, “Musa bertanya kepada Rabb-nya ihwal tujuh perkara
yang dia sangka hanya dimilikinya, sedang perkara yang ketujuh tidak disukai
Musa.”
Pertama, Musa bertanya,
“Ya Rabb, ayyu ibaadika ittaqa?” (Wahai Rabb! Siapakah hamba-Mu yang paling
bertakwa?).
Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, dan itu wajar karena Musa
adalah nabi, dan kaum yang dihadapinya adalah kaum yang sangat ingkar yaitu Bani Israil atau kaum Yahudi.
Namun Allah tidak
menjawab seperti yang diharapkan Nabi Musa. Allah menjawab, “Allazi yasykuru
wala yansa”,
(orang yang paling bertakwa adalah) yang
selalu ingat kepada-Ku dan yang tidak pernah lupa.
Kedua, Musa bertanya,
“Fa ayyu ibaadika ahda?” (Siapa hamba-Mu yang paling mendapat
petunjuk?).
Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, karena ia memang mendapat
petunjuk langsung dengan turunnya Kitab Taurat kepadanya.
Namun tidak menjawab
seperti yang diharapkan Nabi Musa. Allah menjawab, “Allazi tataba’a alhuda” (Orang yang paling mendapat petunjuk yaitu)
yang mengikuti petunjuk, yaitu petunjuk dari Allah dan Rasul.
Ketiga, Musa bertanya,
“Fa ayyu ibaadika
ahkam?” (Siapa
hamba-Mu yang paling bijaksana).
Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, namun Allah tidak
menjawab begitu.
Allah menjawab, “Allazi yahkumu linnasi maa yahkumu
linafsihi?” (Orang
yang paling bijaksana yaitu) yang memberi keputusan terhadap manusia seperti
dia memberi keputusan untuk dirinya sendiri.
Keempat, Musa kembali
bertanya, “Fa ayyu
ibaadika a’lam?” (Siapa hamba-Mu yang paling berilmu?). Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu
wahai Musa”, karena Nabi Musa menerima langsung wahyu dari Allah, tetapi Allah
tidak menjawab begitu.
Jadi meskipun ia seorang
doktor, seorang profesor, tapi ia berhenti belajar, berhenti membaca, berhenti menambah
ilmu, maka sesungguhnya ia bukan orang yang paling berilmu.
Allah menjawab, “Aalimu laa yasyba’u minal ilmi yajmau ilmannasi ilaa ilmihi” (Orang berilmu yaitu) yang tidak pernah
puas dari ilmu, yang menyatukan ilmu-ilmu manusia dengan ilmunya.
Kelima, Musa bertanya,
“Fa ayyu ibaadi a’azza?” (Siapa dari hamba-Mu yang paling
mulia?). Nabi Musa berharap
Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, karena ia adalah nabi sehinga ia tentu orang
yang paling mulia di tengah kaumnya.
Namun Allah tidak
menjawab begitu, Allah menjawab, “Allazi
isa qaddara
afa” (Orang
yang paling mulia yaitu) yang ketika mampu membalas, dia malah memilih untuk memaafkan.
Keenam, Musa bertanya,
“Fa ayyu ibaadika
agna?” (Siapa
pula hamba-Mu yang paling kaya?).
Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, namun Allah tidak
menjawab seperti yang diharapkan Nabi Musa.
Allah menjawab, “Allazi yarda bima uutiya” (Orang yang paling kaya yaitu) yang rida
atas apa yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Ketujuh, Musa bertanya
lagi, “Fa
ayyu ibaadika afqaru?” (Siapakah
hamba yang paling fakir?).
Perkara ketujuh yang ditanyakan ini tidak disukai oleh Nabi Musa. Ia tidak
mengharapkan Allah menjawab, “Kamu wahai Musa.”
Dan Allah menjawab, “Zaahibul mankusin” (Orang yang paling fakir yaitu) yang
merasa serba kekurangan. Sudah
punya banyak harta, tapi masih merasa kurang.
Buah dari Takut kepada Allah
Ada satu kisah orang yang selalu ingat kepada Allah, sehingga ia takut
melakukan perbuatan dosa. Insya Allah orang ini termasuk
orang yang paling bertakwa seperti perkara pertama dari tujuh perkara yang
ditanyakan Nabi Musa kepada Allah. Kisah
ini terjadi pada zaman Khalifah umar bin Khattab.
Khalifah Umar bin
Khattab merupakan salah satu sahabat dekat Nabi dan sekaligus mertua dari Rasulullah. Umar menjadi
Khalifah kedua setelah Abubakar.
Di tengah masa
kepemimpinannya, Umar memiliki
kebiasaan tersendiri yaitu berkeliling
kampung pada
malam hari untuk melihat sendiri kondisi rakyatnya.
Setiap malam ia selalu
blusukan untuk melihat kondisi rakyatnya, hingga pada suatu malam ia pun
berhenti dan duduk di dekat sebuah rumah sederhana. Sang khalifah tidak sengaja
mendengarkan percakapan seorang perempuan penjual susu dengan anaknya.
Ibu itu mengatakan kepada anaknya, “Campurkanlah susu itu dengan air, agar
menjadi lebih banyak susu yang kita jual besok.”
Sang anak menolak dan memberitahukan kepada ibunya bahwa Khalifah Umar melarang hal tersebut. Namun sang
ibu mengatakan bahwa sang khalifah tidak akan tahu.
“Di tengah malam begini tidak akan ada yang
mengetahui perbuatan tersebut,”
ujar sang ibu.
“Memang betul, Umar tidak melihat perbuatan kita, tapi Tuhan-nya Umar pasti
melihat kita,” jawab anaknya.
Mendengar jawaban dari
anak penjual susu tersebut,
Khalifah Umar langsung tersentuh hatinya. Keesokan
harinya sang khalifah memanggil anaknya,
Ashim, dan menceritakan kisah yang ia dengar
semalam.
Umar meminta Ashim menikahi anak penjual susu itu, karena menurut Umar,
anak gadis itu pastilah orang jujur.
Ashim sebagai anak, tidak berpikir panjang. Ia percaya kepada ayahnya bahwa
permintaan ayahnya pasti baik dan pasti juga akan baik hasilnya.
Beberapa hari kemudian Khalifah Umar menemani anaknya, Ashim, ke rumah penjual susu itu. Betapa
terkejutnya sang ibu melihat kedatangan sang khalifah dan putranya, ia berpikir
bahwa ia akan ditangkap karena melakukan suatu kesalahan. Ashim bin Umar pun
tersenyum dan menceritakan maksud kedatangannya ke tempat tersebut.
Sang
ibu pun berkata apakah pantas putera sang khalifah menikahi seorang gadis
miskin penjual susu. Sang khalifah pun menceritakan kejadian yang ia dengar
pada waktu malam tersebut. Sang ibu langsung malu, tapi akhirnya ia menerima lamaran Ashim, dan anaknya
pun menikah dengan Ashim.
Dari pernikahan Ashim dan anak penjual susu itu, lahirlah seorang putri yang diberi nama Laila. Laila kemudian
menikah dengan Abdul Aziz, putra
Khalifah Marwan bin al-Hakam.
Dari pernikahan Laila dengan Abdul Azis, lahir seorang putra yang diberi
nama Umar bin Abdul Azis. Umar bin Abdul Aziz adalah salah seorang khalifah dan sangat disegani di
masa pemerintahannya.
Banyak hikmah yang bisa
kita ambil dari kisah ini. Pertama,
selalulah ingat kepada Allah. Kedua, takutlah kepada Allah, takutlah berbuat
dosa, takutlah memakan makanan haram. Ketiga, jika kita selalu ingat Allah,
maka kita pasti selalu bisa menghindarkan diri dari perbuatan dosa, dan insya Allah, Allah
selalu memberikan yang terbaik buat kita.***