-------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 12 Agustus 2023
Amboi
Ferdy Sambo__Merdeka
Oleh:
Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi,
Budayawan)
Berkibarlah, wahai
bendera merah putihku dalam melambai langit jingga_sebagai tanda kemerdekaan
sejati nan berkobar, __ribuan bahkan juta jiwa raga telah jadi korban nyawa
juga derita nan sungguh tiada terperi_demi tanah air tercinta. Itu dulu mesti
dikenang, namun kini hanya terkesan jadi hiburan amboi bah angin surga.
Istilah angin surga
diidentikkan dengan janji-janji indah yang tidak pernah terwujudkan,
sekalipun tidak bersinonim dengan ungkapan Angin Lalu, boleh dimaknai yakni
sesuatu yang bersifat sementara_ kabar dan berita yang belum pasti atau konon
hanya kata orang berlalu tanpa bisa dipertanggungjawabkan.
Hal ini boleh diidentik
dengan keputusan pengadilan di negeri ini, sekalipun diketuk palu hukum mati,
namun belum tentu dipastikan akan dimatikan dikarenakan palunya diamplopin
bertebalan oleh cash and carry sehingga bunyinya pun bah angin berlalu dari
bokongannya.
Mental dan karakter
bokongan begini yang justru merusak kemerdekaan sejati negeri ini. Namun,
terkadang kita siuman dari kadalan para karakter demikian tetapi kebanyakan
masih memomonginnya, pula.
Mungkin, tidak keliru
sekalipun belum tertalu lama, dan masih terngiang dikenang, tanggal 11 Agustus
2022, saya menggores pada pedoman topik Kapolri, Momongin Peluru Cinta. Di
mana pada bagian tergores, dan saya kutip lagi mengenai dirgahayu
Kemerdekaanku. Dan diksi ini, mungkin tidak berkaitan dengan ucapan selamat
kepada Kapolri, atas kesuksesan telah turun langsung menangani masalah kasus
pembunuhan brigader Polisi yang kini sedang viral.
Tetapi pada tanda
bintang yang melekat di pundak itu, saya tetarik meliriknya.
Wajar dan boleh saja
mungkin sebagai warga negara tertarik pada hal demikian.
Apalagi, di saat
dirgahayu hari kemerdekaan, Indonesia tercinta yang tinggal beberapa hari lagi.
Dan semoga kasus
pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J dapat
dituntaskan oleh Kapolri sebelum hari dirgahayu kemerdekaan 17 Agustus
ini.
Maka, patut dihaturkan
Bravo kepada Kapolri dan menjadi kado Istimewa pada Hari Kemerdekaan Indonesia,
__
tentu, yang bukan
menjadi gravitasi sebagaimana diksi berikut ini.
Butir butir peluru
cinta, dari rongsongan cemburu buta, kasmaran jadi bara api _
__ biar teman kuburan
bertaman bintang tertanda batu nisan!
Akhirnya, bukan jua
citra dari memomongin cinta berdasarkan butir butir peluru dalam rongsongan
cemburu membabi buta. Tetapi, diharapkan citra polisi menjadi pamong yang memomongi
keamanan negeri sehingga masyarakat merasa nyaman sentosa nan perlu dan patut
diaminkan. Maka, ucapan dirgahayu kemerdekaan sejati, demi Indonesia tercinta
mesti terus dikibarkan.
Hukuman
Diangini Surgaan
Kemudian, pada 20
November 2022, pernah saya goreskan dan kibarkan topik “Jokowi dan Ferdy Sambo
Berguru” di sini akan didaur kembali, terutama pada bagian Gravitasi Ferdy
Sambo yang lebih terkesan radius dalam mengadilan __seakan tidak ada
kepastian yang berarti, bah ramalan permainan bola ghoib saja.
Belum lagi bermunculan
jamuran pengalihan isu bergravitasi sehingga esensi masalah utama mengenai
pembunuhan sadis di rumah dinas __tidak menjadi terfokuskan dan publik menjadi
lelah juga melupakannya keganasan gravitasinya.
Tentu, publik sekaligus
masyarakat Indonesia dan dunia semesta mengharapkan kepastian hukum yang
sesungguhnya, dan tidak dibenturkan dengan isu sehingga menjadi kabur,
sebagaimana proses didagelan selama ini, termasuk mungkin juga pembunuhan
Mahasiswa UI oleh seniornya.
Manakala, di awal
muncul bangkai kelakuan pembunuhan sadis, kami sebagai publik awam, mungkin
wajar saja menduga ada radius gravitasi. Termasuk, benturan bintang langitan
jingga__berhingga membumi jadi bara berdebu kasmaran berdubur kuburan.
Bukan terkadang lagi,
namun telah biasa terjadi, dan meteor pun terlintasi, _digadangi juga
dikadalin, __dan berserakan juga menjadi rongsokan berhamburan, demi
menyelamatkan aset kekuasaan terselubung berantai buhulan.
Logis sebagai manusia
biasa tentu mungkin Ferdy Sambo tidak mau jadi dikorbankan sendirian, dan bila
dijatuhkan hukum mati yang berkeadilan nurani sesungguhnya__ sekalipun kini
mungkin hanya lembaian angin surga yang sering dihembusin.
Andaikan saja terjadi
demikian, mungkin sebelum menghembus nafas finalnya, tentu Ferdy Sambo, tidak
akan bungkam. Dan bukan mungkin akan mati-matian menghembuskan juga radius
keakuratan dan kevalidan fakta yang bergravitasi tinggi, __ tentu itu sungguh
sangat dahsyat.
Hal demikian, tentu
diharapkan dan sekalipun terkesan akan melukai yang lainnya. Namun, marwah
dimensinya menjadi jejak pelajaran berbudi luhur, dan terhormat di mata dunian
dan Tuhan-nya.
Dan ternyata angin
surga dalam dugaanku di awal sebelum ada putusan mati_yang akan dipalukan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan_ akhirnya kini terjawab sudah, Amboi Ferdy
Sambo diangini lalukan menjadi hukuman seumur hidup.
Sungguh aduhai, kado
kemerdekaan Indonesia yang sangat mencabik-cabik rasa keadilan
berperikemanusiaan yang berketuhan sesungguhnya. Kini, Presiden berhingga
Mahfud MD, apalagi yang lain, tidak mau ambil pusing. Terkecuali, kepada diksi
gara-gara Rocky Gerung dipusingin, sementara utang negara dan kelaparan di
Papua tak dipikirin,__sungguh galau juga memalukan para pemimpin negeri ini, di
dalam logika bokongan dengan dagelan kemasukan angin surga_an.
Lubang
Buaya Ferdy Sambo
Pada Pedoman
Karya (7/7/2022), saya mendiksikan dengan keyakinan dan tanpa keraguan,
dengan tulus mengharap, semoga tidak dinyatakan sandiwara berepisode tentang
pembunuhan sadis yang terjadi di rumah dinas kepolisian setahun lalu. Bahkan
itu sudah melebihi batas kemanusiaan yang berkarakter homo homini lupus pula.
Maka, nurani keadilan
bermata batin ketuhanan mesti ditegakkan, mohon berhentilah untuk bersandiwara
di atas darah dan nyawa orang lain.
Siapapun engkau,
sekalipun Jenderal atau berpredikat Presiden saat ini, kalau terbukti telah
menindas, dan pantasnya dihukum mati, __ ya buktikan, jangan hanya jadi rias
politikalisasi retoris angin surga dalam lakon bersandiwara saja.
Ternyata, diksi
simbolik angin surga memang kini terbukti, bukan lagi dongengan belaka, bah
kelinci dan buaya__walaupun, sesungguhnya kejadian mungkin tidak jauh beda
dengan di Lubang Buaya, 30 September 1965. Sekalipun, sifat radius gerak
berbeda secara kuantitatif, namun sama-sama berdurasi dalam menewaskan secara
sadis.
Wahai, Indonesia-ku,
air mata duka dan kepedihanmu sungguh aduhai terperi karena kelakuan metal para
mental yang berkarakter logika bokongan.
Wallahu a’lam, ya Tuhan
atas anugerah-Mu Indonesiaku Merdeka, dan kepada-Mu hamba berharap untuk
menyelamatkan kemerdekaan sejatinya, dari para pengkhianatan berkarakter logika
bokongan.
.......
UNISMUH Makassar _tetap
jaya dalam mendidik generasi bangsa yang cerdas dan merdeka sejati_