------
Senin, 25 September
2023
14
Kunci Menjadi Editor
Catatan
Pengalaman Rusdin Tompo
(Penulis, Editor, dan
Koordinator SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
Editor itu mirip pencari
bakat. Ia bisa melihat naskah, (rancangan) judul tulisan, dan kisah menarik
sebagai potensi untuk dibukukan. Tentu ia bekerja bukan berdasar intuisi
semata, atau mengandalkan semacam penerawangan.
Bukan itu… bukan begitu.
Sebab, yang dia hadapi adalah teks dan konteks dalam satu paket, yang dalam
imajinasinya bisa punya kemanfaatan bagi orang lain. Karena kaya nilai
pembelajaran, bisa menginspirasi dan memotivasi.
Bisa pula lantaran ada
sejumput gagasan bernas di situ, yang dapat menambah referensi dan akan
berkontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Kalau dari sisi industri, tentu
perlu ditambah syaratnya, harus punya nilai jual: laku di pasaran!
Kembali ke soal editor, saya
mau berbagi berdasarkan pengalaman saja, apa yang saya kerjakan beberapa tahun
belakangan ini. Sebagai editor, saya menerima naskah dalam beragam tema dan
bentuk.
Temanya, bisa pendidikan,
kepolisian, lingkungan, pemberdayaan masyarakat, difabel/disabilitas,
perlindungan anak, komunikasi dan media massa, perpustakaan dan literasi,
budaya, serta tema-tema lain di luar disiplin ilmu hukum saya.
Bentuknya bisa berupa naskah
yang hanya butuh finishing touch, naskah setengah jadi, atau naskah yang
masih perlu dirakit di sana-sini. Apa pun tema dan bentuknya, menjadi tantangan
bagi saya selaku editor untuk menggarapnya. Boleh dikata, tiada hari tanpa
belajar bagi seorang editor. Saya justru banyak mendapat ilmu baru dari
tulisan-tulisan dan buku-buku yang saya sunting.
Nah, sebelum saya mulai
mematut diri di depan laptop,
saya tentu membaca dahulu naskah atau dokumen yang akan diedit. Saya menyelami
roh dari naskah yang ada, menemukan gagasan utamanya dan pesan yang mau
disampaikan penulisnya.
Kadang dibaca secara cepat,
mungkin dengan teknik skimming dan scanning, sebagaimana dimaksud
Soedarso, dalam buku Speed Reading (2001). Secara sederhana, skimming
itu cara membaca efisien, sedangkan scanning itu cepat menemukan
informasi. Dari situ, sudah ada gambaran, dari mana saya akan memulai, dan
bagaimana saya akan mengerjakannya.
Tentu saja, saya mesti
membangun suasana yang nyaman untuk itu. Pikiran dan hati saya mesti selaras
lebih dahulu. Itu sangat penting. Bagi saya, mood itu tidak datang
sendiri tapi diciptakan. Saya biasa bekerja sambil mendengarkan musik, dengar
radio, sesekali menyiram tanaman, melihat tumbuhan hijau dan mekarnya bunga,
atau mencandai kucing di depan rumah.
Itu semacam tamasya yang
menghadirkan kesegaran baru dan energi bagi hati dan pikiran. Namun, tidak
lengkap rasanya bila belum ada kunci yang pertama, yaitu KOPI.
Kopi di sini, bisa itu berupa kopi hitam, kopi susu, teh hangat, atau minuman
dengan temannya: kudapan. Bisa kue-kue tradisional, keripik, atau kacang.
Kunci kedua adalah KUOTA DATA.
Di abad sofistikasi teknologi ini, sulit membayangkan hidup dengan smartphone
tanpa diisi kuota data. Kuota, jaringan internet, dan Wifi penting untuk
berkomunikasi dengan klien (baca: yang punya buku), untuk mengkonfirmasi
istilah, data, referensi, dan lain sebagainya.
Kunci ketiga
adalah KAMUS. Misalnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Editor
sebaiknya selalu bersentuhan dengan kamus, buku pintar, dan ensiklopedia,
sebagai sumber rujukannya. Pada tahap ini, saya biasanya juga menyediakan dan
mencari buku-buku yang sesuai dengan kebutuhan naskah yang diedit. Buku-buku
itu saya letakkan di samping agar mudah menjangkaunya.
Kunci berikut
atau yang keempat adalah KOSAKATA atau perbendaharaan
kata. Modal sebagai pembaca segala, akan sangat berguna menjadi seorang editor.
Dengan terbiasa membaca banyak hal, setidaknya ikut menambah perbendaharaan
kata, dan tentu saja menambah wawasan.
Kunci kelima
adalah KAIDAH kebahasaan dan penulisan. Ini sesuatu yang perlu
diperhatikan sebab punya aturan yang pasti. Karena saya seorang otodidak, maka
biasanya saya melihat pola, lalu saya adaptasi. Saya banyak membaca dan
menjadikan media-media mainstream seperti Harian Kompas dan Majalah
Tempo, sebagai rujukan.
Seorang editor harus KRITIS,
skeptis dan punya kemampuan analitis. Itu sebagai kunci keenam. Sikap kritis, skeptis, dan
punya kemampuan analitis, merupakan kunci untuk bisa melihat kekurangan naskah.
Kadang, suatu kalimat
terlihat aman, tapi sesungguhnya mengandung pertanyaan soal kesahihan informasi
dan fakta-fakta yang ditulis dalam naskah. Misalnya, ada kalimat “saya makan di
tempat yang biasa disinggahi juga oleh kalangan selebritas”. Pertanyaannya,
benarkah tempat itu biasa disinggahi selebritas? Siapa saja selebritas yang
pernah singgah di situ? Dan pertanyaan-pertanyaan indepth lainnya yang
masih bisa dikembangkan.
Kunci ketujuh
adalah KOMPETENSI. Maksudnya, kompetensi teknis yang terkait pengeditan
dan penulisan buku. Juga kompetensi teknologi karena bersentuhan dengan
komputer dan laptop, atau berselancar di dunia maya, yang membantu kemudahannya
dalam bekerja.
Kunci kedelapan
adalah KOMUNIKASI. Komunikasi merupkan soft skill yang diperlukan
seorang editor untuk mengkonfirmasi, mengklarifikasi, atau memvalidasi
informasi dalam naskah buku yang tengah dikerjakan.
Dia perlu melakukan itu agar
informasi dalam buku yang diedit menjadi jelas, logis, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Apalagi jika punya nilai sejarah, berkaitan dengan pengetahuan
umum, atau bersentuhan dengan orang lain.
Selanjutnya, kunci kesembilan adalah KONSISTENSI.
Penggunaan istilah atau sapaan harus konsisten. Jika menggunakan kata “aku”,
maka kata itu terus dipakai, jangan digonta-ganti dengan “saya”. Itu contoh konkretnya.
Kunci kesepuluh
adalah KETERBACAAN, yang memungkinkan naskah atau buku kita lebih mudah
dipahami, lebih mengalir alur ceritanya, atau bangunan gagasannya terstruktur
baik.
Kunci kesebelas
adalah KOMPREHENSIF atau KOMPLIT. Namanya juga buku, sebaiknya
informasi yang disuguhkan juga kaya: data, informasi, perspektif, teori, dan
lain-lain. Sudut pandang yang luas, juga akan membuat pembaca bisa menikmati
buku tersebut. Ibarat kita menyantap makanan yang kaya bumbu, tentu akan lebih
nikmat.
Kunci keduabelas
adalah KESAMAAN frekuensi. Seorang editor sejatinya tak hanya berhadapan
dengan teks yang disodorkan padanya. Sangat dianjurkan untuk dia bisa memasuki
cara berpikir dan ruang batin orang yang punya buku, si penulis buku.
Dia perlu membangun kesamaan
persepsi dengan penulisnya. Dia perlu mengatrol diri agar, paling tidak, setara
dalam hal bacaan dengan penulis buku itu.
Saya misalnya, ketika
mengedit buku dan penulis bukunya menyebut dia membaca buku Stephen R. Covey, “The
7 Habits of Highly Effective People”, maka saya akan membaca buku itu pula.
Meski tak harus tuntas. Paling tidak, saya paham mengapa dia menyukai gagasan
tentang tujuh kebiasaan yang dikemukakan buku tersebut. Ketika penulis menyebut
dia mendengarkan Kenny G, maka saya akan mendengarkan liukan bunyi saksofon
musikus tersebut, sambil mengedit bukunya.
Kunci ketigabelas
adalah KLIEN. Seorang editor merupakan pekerja profesional. Dia tahu
kepada siapa produknya akan diberikan, yakni pemesan, dalam hal ini, penulis
buku. Jadi, dia mesti fokus pada mitranya itu. Dengan catatan, tidak berarti
dia manut saja. Tetap perlu ada diskusi, sharing, dan masukan.
Biar bagaimanapun, produk
akhir dari buku itu juga merupakan karyanya. Apakah namanya sebagai editor
terdapat di cover atau ngumpet di balik halaman, tetap dia juga
menjadi bagian dari rasa memiliki buku itu.
Diskusi di sini, termasuk
tentang format bukunya seperti apa, gaya reportase, naratif/bercerita, tulisan
ilmiah populer, atau bernuansa sastra.
Kunci terakhir
atau keempatbelas adalah KUALITAS produk. Demi menjaga
kualitas pengeditan, saya menerapkan standard quality control, tentu
dalam versi saya.
Editor itu seorang pekerja
kreatif. Sehingga, jangan membayangkan bahwa dia akan melakukan pengeditan
selalu berdasarkan urutan halaman. Jangan pula membayangkan waktu kerja seorang
editor itu sama dengan jam pekerja kantoran.
Saya pun demikian. Jurus
mengedit itu tergantung situasi lapangan dan kondisi naskah. Itu terpulang pada
gaya dan cara kerja editor bersangkutan. Pasti ada “bumbu rahasia”, yang setiap
editor punya, biar gurih buku yang dihasilkan. Tidak heran bila ada yang
menyebut editor itu serupa dengan seorang chef. ***
Gowa, 24 September 2023