PEDOMAN KARYA
Selasa, 26 September
2023
Satu
Juta Orang Bersama Anies – Muhaimin di Makassar
Oleh:
Surya Darma
(Ketua Bidang Pembinaan
Wilayah Sulawesi DPP PKS)
Saya lahir tahun 1966
di Makassar. Orang berkerumun sampai 1 juta orang pada acara Jalan Gembira
Bersama Calon Presiden Anies Rasyid Baswedan dan Calon Wakil Presiden Gus
Muhaimin (AMIN), di Jalan Jenderal Sudirman dan sekitarnya, di Makassar, Ahad,
24 September 2023, tak pernah terjadi sebelumnya.
Penduduk Makassar bukan
seperti Jakarta atau Surabaya. Hanya sekitar 1,7 juta. Besar kemungkinan
pesertanya banyak juga yang datang dari luar Makassar. Namun, mau dari Makassar
atau luarnya, bilangan 1 juta tetap angka spektakuler.
Angka ini bukan hanya
menunjukkan antusiasme besar, tapi juga menegaskan bahwa tak ada bohir besar
terlibat sebagai donatur. Siapa yang mau donasi untuk manusia sebanyak itu
tanpa return pasti.
Kerumunan terbesar
lainnya yang saya ingat adalah saat Raja Dangdut Rhoma Irama turun kampanye di
Ujung Pandang (Makassar sekarang) tahun 1982 untuk PPP. Penjemput yang naik
mobil dan motor mengular mulai dari Bandara Hasanuddin (bandara lama di Sudiang
Makassar) sampai depan kampus pesantren kami, atau sekitar 10 km. Tapi saat itu
jalan ke bandara hanya dua lajur, tidak seperti sekarang yang sudah 4 lajur.
Isu yang berkembang
saat itu mirip isu utama AMIN: segera hadirkan perubahan (Orba gagal). Rhoma
lalu diarak ke Lapangan Karebosi. Lapangan legend ini kalau penuh diperkirakan
mampu menampung orang sekitar 150-200 rb. Diperkirakan, saat itu yang hadir
sekitar 250-300 ribu.
Kala itu jumlah
penduduk Makassar berkisar 600-700 ribu jiwa. Saya yang hadir waktu itu,
melihat jalan-jalan sekitar lapangan penuh sesak dengan manusia. Bahkan meluber
sampai mendekati Pasar Sentral dan Bioskop Artis (dekat Konro Karebosi).
Saya yang boncengan
motor vespa dengan kakak (alm) berada dalam lapangan, kesulitan bergerak untuk
keluar.
Ada kenangan menarik.
Saat mau tinggalkan lapangan, saya ketemu guru menggambar saya di pesantren.
Beliau ini sebenarnya ASN dan juga dosen di IKIP (UNM sekarang). Pernah beliau
bilang di hadapan kami tentang pilihan politiknya, “Saya ini tidak bisa dicucuk
begitu saja nak, harus pilih ini itu di Pemilu. Kalau saya dipecat dari ASN,
saya tidak khawatir masalah dapur. Saya punya keahlian: saya bisa buka lapak
cukur.”
Lapangan Karebosi sesak
manusia, semangat dan bergemuruh. Sangat fenomenal. Lalu apa hasil Pemilu? Ya,
pemenangnya lagi-lagi partai rezim berkuasa.
Makassar atau Sulsel
secara demografis tak lebih banyak dibanding Kabupaten Bogor plus Depok. Bahkan
jumlah seluruh penduduk Pulau Sulawesi masih kalah dari penduduk Jateng.
Pemilu sebagai
instrumen demokrasi, kerjanya hanya menghitung suara. Antusiasme,semangat,
ijazah, kepalan tangan, maupun jingkrak-jingkrak tidak dihitung. Ia murni
menghitung suara. Hanya mengandalkan Makassar sangat riskan, karena selain
kecil, yang hadir juga mungkin motivasinya tidak semuanya politis.
Ada yang ikut karena
alasan olahraga, atau ikut karena diajak teman, hadir untuk lihat keramaian,
atau karena kejar hadiah mobil.
Makassar bukan
indikator kemenangan. Dan jika survey untuk paket AMIN (Anies Baswedan – Gus Muhaimin)
belum juga bergerak ke atas secara signifikan, ya harap maklum.
Fenomena Makassar tak
lebih petir membangunkan kesadaran. Mengagetkan tapi belum ada artinya bagi
petani di sawah. Hujannya yang menyuburkan bumi justru berada di belahan lain,
di Pulau Jawa. Jawa adalah segalanya dalam peta politik Indonesia.
Tahun 1955, Masyumi
menang hampir 2/3 dari jumlah provinsi yang ada saat itu. Tapi PNI muncul
sebagai pemenang. Kenapa bisa? Ya karena PNI menang di Jawa. Jadi wajar kalau
saya komen sama sahabat mukim di Jawa yang muji-muji Makassar, seratus kali
Makassar adakan acara seperti itu, masih jauh lebih berharga jika Jakarta,
Bandung, Semarang, atau Surabaya, mengadakannya meski hanya sekali.***