------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 16 September 2023
Sumbatan
Logika Idealisme
Oleh:
Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi,
Budayawan)
Terkadang tingkat frekuensi durasi logika membuat
terhambat dalam mencerna alur pemikiran orang lain, bahkan meradangi kecerdasan
komunikasi dicanangkan menjadi gagasan ideal untuk perankan.
Hal ini selalu terjadi manakala wawasan dangkal
karena tersumbat oleh otoritas saraf arogansi lebih dipertuankan menjadi memori
dengkulan__tanpa menghargai kelebihan akan perubahan orang lain dibandingkan
statis rotasi logika dirinya yang tetap stagnan.
Mesti diakui memang radius sifat stagnan akan dapat
dipengaruhi oleh alur logika secara akademis. Keberperingkatan secara durasi
akademi yang dapat lebih melenturkan cara pandang seseorang, termasuk di dalam
jangkauan literatur dikajinya menjadi barometer keintelektualannya.
Hal itu yang membuat jangkauan mengakui kelebihan
dan kekurangan orang lain, baik di media publik maupun dunia nyata dalam
menjalin komunikasi yang bersahaja. Misalnya, baru-baru ini, di dalam grup WhatsApp
(WA) dinamai Maman AM Binfas Centre, yang dibuat oleh Dr. Salahuddin.
Jujur grup atas nama saya, kehadirannya baru saya
tahu tiga hari setelah dibuatnya, setelah di-add oleh pembuatnya bersama tim
adminnya. Saya pun kaget bukan main, bahkan terisi ratusan anggotanya dan kini
grup ini telah berumur kurang lebih 7 tahun. Terlepas, esesnsi pembuatnya, bebarapa
hari lalu [11/9 13:01].
Ada sahabat kami yang sama-sama alumni S3 di Universiti
Kebamgsaan Malaysia (UKM), menyapa dengan membagi hasil kajian jurnalnya untuk
konsinyasi guna membatu teman, baik yang mengakhiri studi S3, maupun dosen yang
sedang mengurus kepangkatan secara akademis. Adapun durasi dialog dimaksudkan,
dan saya kutip apa adanya, yakni sebagai berikut.
Dr. Syafrizal: Asslamualaikum wrwb, smg
sdrku sehat walafiat, kami disana berharp dgn keadaan yang sama, amin. Pak
Maman saya ada artikel Q2 sdh LOa utk siap terbit, Bid kajian Social Science (
demografi, Giografi and antro-sosiologi). Khusus utk yg mau Lektor
Kepala( LK) or Guru Besar (GB). Bila ada teman2 yang sesuai dan mau boleh
kontak kita. Boleh utk sendiri.
Kemudian dengan spontan saya balas, Wlkmslm,
Alhamdulillah, doktor Syafrijal, .. Allahuma Aamiin__ Syukron katsiran,
Insya Allah, Saya sampaikan kepada kawan-kawan yang lain, bila ada berkenan.
Tidak lama kemudian, muncul komentar dari bung Muh
Irfan, _Biaya_?
Lalu, Syafrizal menjawab, Inklup biaya :
terjemahan, turnitin, submid, LOA sampai publish 2.380 $ (jumlah info dari
pihak scopus/yang mengurus artikel), biaya artikel dari saya hanya Rp.
7.000.000,- uang capek or uang kopy, mdh2an berkah dan bermanfaat, .. amin.
InsyaAllah publish bulan september ini bila
pembayaran sdh dilakukan.
Dibalas oleh bung Muh Irfan, berarti sama dengan
besarannya Rp. 35.700.000 kurs 1$=15.000.
Lalu, saya tercenung, bukan karena besaran biayanya,
tetapi ada yang menggelitik nurani batin secara logika akademis yang selama
ini, memang menjadi prinsip idealis yang tetap dipertahankan oleh saya pribadi.
Kemudian, saya berkomentar lebih kurangnya, yakni__"dengan sangat menghormati sahabatku Dr. Syafrizal, tentu telah membantu, dan menolong bagi yang terkendala kenaikan kum pangkat akademisnya dan menyelesaikan S3 sesuai linearisasinya.
Namun, saya jujur akan beragumentatif logis seperti berikut ini.__ Selama saya menjadi Mahasiswa, baik mulai S1 hingga S3 maupun setelah menjadi dosen, masalah karya memang belum terlalu berenjoy dengan karya dituliskan oleh orang lain.
Dan saat mengajar pun, baik
pada mahasiswa S1 maupun di pascasarjana, saya selalu menyarankan kepada
mereka, kiranya idealis dalam mempertahankan karya sendiri itu menjadi harga
diri yang bermarwah jatidiri keilmuwan. Sekalipun, tulisan atau goresan masih
dinilai dengan sifat ecean-ecean, namun dapat dipertanggungjawabkan secara
jantan, secara akademis dan memuaskan rasa logika jatidiri kita.
Dan entahlah kini, luar biasa angka akreditasi
dikarenakan tuntutan adminitratif kepangkatan. Sekalipun, terkesan jebakan melalui
aturan UU/PP__ kata merdeka, namun melukai dan menyedihkan esensi daripada
akar tutwurihandayani itu sendiri, kini telah ditelanjangi pula.
Memang aturan tuntutan menjadi patokan akreditasi
keilmuan, mungkin sebaiknya mesti dikaji ulang agar pamong edukasi lebih elegan
dan Merdeka plus mumpuni__ tak lagi merasa terpaksa dan dipaksa mengkaji
keilmuwan yang sesungguhnya__
Hal ini sebenarnya secara jujur logika batinku memberontak, dengan segala hormat kepada teman dan sahabatku yang saling membantu dikarenakan domain akrobatin kondisi negeri saat ini. Terutama, di arena dagelan grap proyekalisasi pendidikan makin meraja berdasarkan kuantitatif saham menjadi hasil lelangan jabatan diperankannya.
Saham lelangan
berdasarkan angka kuantatif sehingga dapat mempundaki jabatan tertentu secara
politis an sih __sekalipun sebagai pencundang yang hanya mampu mengkadalisasi
sistem pendidikan yang bermatabat kemanusiaan dan berkeTuhanan Yang Maha Esa.
Kini, terkesan sistem pendidikan bobol karena
diobok-obok dengan logika mesin robotan dalam durasi online angka angka
dimainkan. Sekalipun, dimensi durasinya dapat merusak saraf nurani pikiran
berperikemanusiaan tulen dalam kerangka memanusiakan manusia yang sesungguhnya.
Rusak memang bila logika robotan dari hasil lelangan
saham politikalisasi jabatan dipertuankan.
Salam kejujuran jiwa raga, yang lagi sedang galau
akan arah orientasi pendidikan negeri ini yang kita cintai.
Walaupun, tanggapan saya agak pancang dan terkesan menggelitik, namun sahabatku Dr. Syafrizal dari Meda, tetap menghargainya sebagai durasi ideliasis bersifat akademis. Jadi, memang durasi tingkat frekuensi dalam logika, sebagaimana diuraikan di awal goresan ini yang akan bisa terhambat dalam mencerna alur pemikiran orang lain, hal itu tidak akan terjadi manakala radius kecerdasan seirama tingkatan akademisnya.
Sekalipun, tidak selamanya
menjamin, namun durasi berbeda cara pandang menjadi hal biasa saja secara
akademis, sebagaimana durasi dialogis antara Dr. Syafrizal dengan saya dan yang
lain.
Kemudian, bung Ismuhyar berkomentar, “Saya
sependapat dengan Abangda (penggores narasi ini) dalam hal ini. Karya
tulis hendaklah dihargai sebagai jerih payah dan bagian dari pengembangan
pemikiran dalam rangka meningkatkan kematangan diri sebagai akademisi.”
Selanjutnya, Bung Muh Irfan, menanggapi dari
komentar bung Ismuhyar: "Terkadang hal tersebut, terjadi adanya kendala
operasional dari regulasi yang ada sehingga karya ilmiah yang merupakan hasil
dari pemikiran rasionalitas akademisi dgn mengklarifikasi teori bahkan adanya
teori baru pun belum dapat maksimal dihargai sebagai produk ilmiah
akademisi."
Terlepas, reputasi akademis yang dikesankan di atas,
dalam menghadapi frekuensi kadar logika yang berbeda, saya teringat goresan
tahun 2021 tentang filosofis 'Anjing dan Singa' didasari logika Imam Syafi'i
dalam menghadapi orang kurang kadar kelogisannya.
Anjing
vs Singa
Anjing sudah menjadi sunatullah, memang senang
menggonggong, sekalipun siang berterik dengan tuannya;__bahkan dalam keramaian
bergemuruh suara berburu, maka ia lebih girang untuk menggonggong supaya
dianggap garang oleh tuan dan orang lain.
Tetapi, saat sendirian, anjing itu bagaikan
kesemutan: mengidap penyakit ayan, dan lari tunggang-langgang tanpa taring, _
terhina__
Namun, berbeda dengan Singa dalam mengintai, tiada
pernah mengeluarkan suara aumm, baik berbisik atau yang lantang.
Tetapi, Singa tetap mengendap-ngendap pelan, namun
dengan pasti akan sergap dan menerkam tanpa ampun___memangsa dan menghabisi,
_sekalipun anjing yang lagi sedang riang menggonggong itu, di dalam pertunjukan
kehinaan dirinya sebagai jatidiri keanjingannya_
Maka, asas dari ke-singa-an tersebut, mungkin
sehingga diksi Imam Syafi'i, kurang lebihnya_
“Diamku dari orang hina, adalah suatu jawaban, bukan
berarti aku tidak mempunyai jawaban__ Tetapi, tidak pantas singa meladeni anjing__"
Dan juga tampak penampilan pun tidak perlu garang
bermuka garong,__biar tersenyum kenangan manis, namun pasti tetap tenang__tentu
tetap dikenang.
Singa tetap Singa, Anjing tetap anjing__
Bahkan Imam Syafi i menyatakan lebih tajam dengan
sangat menggelitik, lebih kurangnya.
“Jika engkau duduk bersama orang bodoh,
maka diamlah. Jika engkau duduk bersama ulama, maka diamlah. Sesungguhnya
diammu di hadapan orang bodoh, akan menambah kebijaksanaanmu, dan diammu di
hadapan ulama akan menambah ilmumu,” __
Maka, akhir kalam mengenai frekuensi logika
seseorang dapat bermuara kepada durasi bersifat idealisme ke-anjiang-an atau ke-singa-an,
__itu terpulang kadar kualiatas keadaban jati dirinya diperankan, __termasuk
menghargai kelebihan orang lain.
Wallohu'alam