Teater-Tari “Bongaya” di Panggung Kebenaran Baru

TEATER-TARI.Pertunjukan Seni kolaborasi teater, tari, musik dan seni rupa berjudul “Bongaya; Rampai dalam Damai” disutradarai Dr Asia Ramli MPd, dibantu Tim Dramaturg Mahrus Andis dan Adi Wicaksono, di Panggung Benteng Fort Rotterdam, Makassar,Jumat, 01 September 2023, pukul 20.30 Wita. (ist)

 

-------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 17 September 2023

 

Catatan pertunjukan:

 

Teater-Tari “Bongaya” di Panggung Kebenaran Baru

 

Oleh: Yudhistira Sukatanya

(Sastrawan, Sutradara)

 

Untuk menemukenali, mempelajari, guna mengetahui khasanah dan keragaman kebudayaan Sulawesi Selatan masa lalu, tidak lagi dengan mesti datang ke perpustakaan, menelusuri sisi rak arsip sambil memelototi judul-judul buku, memilih dan menyibak buku-buku tebal tentang sejarah kebudayaan Sulawesi Selatan.

Hamparan kekayaan tradisi masa silam itu kini sudah dapat diperoleh dengan cara lebih gampang. Mudah lagi menyenangkan. Bisa dilakukan dengan penelusuran cepat database di layar komputer canggih, menggunakan mesin pencari Google, atau melalui menyaksikan seni pertunjukan.

Satu di antara cara mudah itu adalah dengan menonton pentas pertunjukan berjudul “Bongaya; Rampai dalam Damai” disutradarai Dr Asia Ramli MPd, dibantu Tim Dramaturg Mahrus Andis dan Adi Wicaksono. Pertunjukan Seni kolaborasi teater, tari, musik dan seni rupa yang berlangsung pada Jumat, 01 September 2023, pukul 20.30 Wita di panggung Benteng Fort Rotterdam.

Asia Ramli mengatakan; “Pertunjukan-pertunjukan teater tari bertajuk Bongaya, dipentaskan pada acara pembukaan Festival Budayaw 2023. Nama Festival Budayaw berasal dari penggabungan bahasa Melayu “budaya” dan bahasa Philippines “dayaw” yang berarti: keindahan yang baik. Tema pertunjukan kali ini berkait dengan jalur rempah, laut dan perdagangan antarpulau.

Pertunjukan ini adalah proyek Kemendikbudristek RI sebagai bentuk promosi tradisi dan warisan budaya empat negara ASEAN (East ASEAN Growth Area), yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Philippines.

Sutradara beserta timnya menyusun plot pertunjukan setelah mengeksplorasi peristiwa sejarah Kesultanan Gowa (Makassar) abad ke-17. Petikan plot utamanya mulai digerakkan terkait dengan peristiwa di pelabuhan laut Mangngallekana yang menjadi simpul konektivitas perdagangan di jalur rempah yang ramai disinggahi kapal-kapal asing.

Ketika itu Kesultanan Gowa telah memiliki kekuatan armada laut yang besar. Keberadaannya menjadi pemantik dinamika budaya, relasi sejarah sosial antar bangsa dalam kancah peradaban universal.

Puncak adu kekuatan dan pengaruh terjadi pada pertengahan abad ke-17 itu. VOC melakukan penyerangan bermeriam ke Makassar. Tujuannya untuk memonopoli perdagangan rempah di wilayah timur Nusantara. Akibatnya, pecah bunduk lompoa - perang besar yang baru berakhir setelah penandatanganan Perjanjian Bongaya (Bongaisch Tractat).

Selama perang, Sultan Hasanuddin diberi julukan De Haantjes van Het Oosten yang berarti Ayam Jantan dari Timur oleh Laksamana Cornelis Speelman karena semangat dan keberanian sang Sultan beserta pasukannya dalam menentang upaya monopoli VOC.

Perjanjian Bongaya adalah perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin dari Kesultanan Gowa, dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman pada Jumat 18 November 1667. Perjanjian ini menjadi simbol pengakhiran perang dengan kesepakatan perdamaian.

Bagi Kesultanan Gowa penandatanganan Perjanjian Bongaya itu terpaksa dilakukan guna menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak di kalangan rakyat. Kedamaian adalah keniscayaan yang harus diperjuangkan. Nyatanya perang masih berlanjut hingga tahun 1669.

 

Plot Retak

 

Pertunjukan teater tari Bongaya telah usai berlangsung dengan lancar dan mendapat sambutan gegap gempita, riuh tepukan tangan penonton. Meski realitas plot cerita pentas sesungguhnya meninggalkan retakan cerita, ketika dikaitkan dengan realitas sejarah.

Retakan itu antara lain pada adegan penari wanita pasukan ballira (menurut berbagai sumber pasukan wanita bersenjata ballira adalah bentukan Fatima Daeng Takontu-Putri Sultan Hasanuddin yang mengungsi ke Mempawah, Kalimantan Barat) yang berperang melawan penari laki-laki bersenjata poke-tombak dan berdestar entah dari pihak mana yang lalu dilerai oleh pasukan Gowa. Ini jadi frame cerita yang membingungkan. Ini kenapa, siapa melawan siapa? Mengapa pula ada wanita angngaru?

Angngaru adalah ikrar yang diucapkan oleh tubarani-pemberani yang jadi abdi raja kepada rajanya, atau sebaliknya oleh raja kepada rakyatnya. Ini merupakan tradisi orang Gowa pada zaman dulu. Tak aneh ketika Syam Asrib- teaterawan senior Teater Makassar pun langsung mengeritik dan mempertanyakan, tentang seorang wanita pemeran yang angngaru dengan melafalkan teks: “Inakkemi anne buraknena buraknea!”- inilah aku lelaki paling lelaki. Ach.

Juga, kehadiran tiga serdadu yang berjalan mondar-mandir membawa bendera merah putih biru berukuran kecil yang mungkin dimaksudkan untuk mengesankan keberadaan pasukan Belanda di dalam amuk perang Makassar, menjadi adegan yang kurang impresif. Terkesan parodi jika dikaitkan dengan cerita bahwa merekalah yang kemudian memenangkan perang Makassar.

Retakan selanjutnya terlihat pula pada adegan penandatanganan Perjanjian Bongaya yang sakral, dengan kehadiran Bissu, appassili- ritual tolak bala, marabahaya atau penyucian dan buang sial. Padahal umum diketahui bahwa di Kesultanan Gowa tidak ada Bissu yang khas Bugis.   

 

Kebenaran Baru

 

Untungnya retakan pada adegan penandatanganan Perjanjian Bongaya dapat ditambal dengan adegan simbolik glorifikasi kehadiran bendera-bendera dari mancanegara (kali ini bendera empat negara; Malaysia, Brunei Darussalam. Philippines dan Indonesia).

Suatu rekaan peristiwa sejarah. Bukan Sejarah. Sebab ketiga negara tetangga itu dalam realitas sejarah tidak pernah hadir pada peristiwa penandatanganan Perjanjian Bongaya. Di panggung pentas kali ini ketiga negara tetangga itu dihadirkan. Inilah suatu realitas baru, kebenaran baru. Realitas pentas.

Kebenaran baru versi ini adalah kebenaran yang diframing lewat rekayasa peristiwa, rekaan cerita dalam seni pertunjukan guna meramu persepsi membangun logika imaji tentang keragaman peristiwa interaksi antar bangsa, antar budaya demi kebersamaan, persatuan sesuai kebutuhan tujuan pementasan.

Apapun yang terjadi sebagai realitas peristiwa pentas, Teater Tari Bongaya yang dikerjakan bersama dukungan sejumlah grup kesenian dengan arahan dari Dr Asia Ramli,MPd (Sutradara), Andi Taslim Saputera SPd MSn (Asisten Sutradara), Dr Nurwahidah MHum (Penata Gerak) Wahyu (Asisten Penata Gerak), Dr Arifin Manggau (Penata Musik), Ahmad SPd (Asisten Penata Musik), Ishakim (Penata Artistik), Aco Sulsafri (Stage Manager) dibantu Tim Dramaturg, sesungguhnya telah menghadirkan kebenaran baru. Tentu karena mereka paham benar bahwa realitas pentas adalah realitas rekaan dengan kepentingan tujuan tertentu yang disasar dengan sadar.

Kali ini, secara garis besar sasarannya adalah untuk menghadirkan kebersamaan dan solidaritas antarbangsa BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines – East ASEAN Growth Area) dengan mengkreasi benang merah cerita pergaulan bangsa-bangsa di jalur rempah dan cerita maritim.

Pentas seni model ini, dipercaya bisa menjunjung marwah pemajuan kebudayaan, sejalan dengan arahan Direktur Jenderal Kebudayaan (Dirjenbud) Hilmar Farid yang berulang menjelaskan bahwa pemajuan kebudayaan yang dimaksud dalam Undang-undang No 5 tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, bertujuan meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia.

Ruang lingkup utama pemajuan kebudayaan adalah upaya perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan dalam pemajuan kebudayaan. Bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa; memperkaya keberagaman budaya; memperteguh jati diri bangsa; memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa; mencerdaskan kehidupan bangsa;  meningkatkan citra bangsa.

Pertunjukan kolaborasi teater, tari, musik dan seni rupa bertajuk; “Bongaya, Rempah dalam Damai”, telah dinikmati penonton dengan bangga dan berbahagia. Mereka dapat menemukenali, mempelajari dan memahami khasanah dan keragaman kebudayaan di jalur kemerdekaan kreatif. Tentu tanpa perlu mendikotomi dan berdebat tentang partisi realitas sejarah dan realitas pentas yang menjadi kebenaran “baru”.

 

September 2023

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama