------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 01 Oktober 2023
Gembokan
Makan Tuannya
Oleh:
Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi,
Budayawan)
Lucian pada Abad ke-2
telah berhasil memaparkan mesin penyiksaan yang mengerikan sebagai Crosse
Pirellus. Mesin tersebut, ia membuatnya hanya diperkirakan antara tahun 560-570
sebagaimana dibagi pada tautan Facebook (fb, 2023). Kemudian, dapat ditelusuri
melalui blok fesdizen (2016) tentang teknik dan alat penyiksaan manusia__ yang
sangat mengerikan.
Metode Crosse Pirellus
atau brazen ini, boleh dibilang yang paling bengis. Dalam metode brazen
eksekusi menggunakan sebuah patung yang menyerupai banteng. Patung ini, terbuat
dari perunggu dan memiliki ruang kosong di perut banteng.
Saat proses eksekusi
berlangsung, tahanan akan dimasukkan ke dalam ruang kosong pada patung dengan
keadaan kaki dan tangan terikat. Setelah tahanan berhasil masuk, patung akan
ditutup dan dikunci.
Algojo kemudian akan
menyalakan api di bawah dan di sekitar patung banteng tersebut. Panas yang
tiada terkira akan membuat tahanan di dalamnya amat tersiksa. Secara perlahan,
kulit tahanan akan mengelupas. Ia pun akan terpanggang hidup-hidup.
Patung banteng memiliki lubang di hidung dan mulutnya, sehingga akan mengeluarkan suara jeritan tahanan
saat penyiksaan berlangsung.
Lubang ini memang
sengaja dibuat agar suara yang keluar menyerupai suara banteng yang mengamuk.
Namun, sialnya justru Lucian sebagai perancang patung ini yang menjadi korban
pertamanya, yakni sebagai kelinci percobaan.
Raja atau penguasa saat
itu, mau menyaksikan bagaimana sang pembuatnya bisa membuktikan bunyi banteng
sebagaimana dijelaskannya.
Itu dulu, di antara
jejak hukum beralgojo justru dia si pembuat metode menjadi korbannya, mungkin
ini dinukillkan bah senjata makan tuannya.
Tentu, hukum berjejak
dibuat oleh manusia yang berniat menyiksa orang lain, namun dirinya akan
termakan oleh senjata kejahatannya sendiri.
Tidak terlalu
mengagetkan, sesungguhnya tapak jejak kejahatan berdurasi senjata dari akar
kedengkian yang berniat dalam berbuat untuk menyiksa sesama, telah dimulai
sejak dari keturunan pertama Nabi Adam, yakni Qabil dan Habil. Hal tersebut, telah
dinukilkan di dalam QS Al-Ma’idah: 30-31, yang artinya:
“Kemudian, Allah
mengirim seekor burung gagak untuk menggali tanah supaya Dia memperlihatkan
kepadanya (Qabil) bagaimana cara mengubur mayat saudaranya. (Qabil) berkata, 'Celakalah
aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini sehingga aku
dapat mengubur mayat saudaraku?' Maka, jadilah dia termasuk orang-orang yang
menyesal.”
Sekalipun, esensi yang
membedakan manusia dengan binatang yakni kepada durasi sirkulasi logika digunakannya.
Namun, karena durasi logika otak selalu dinodai untuk kedengkian, maka
esensinya pun bisa tersungkur menjadi asfala safilin dan dilumpuhkan oleh
burung gagak yang hitam pekatan sekalipun.
Durasi menodai
logikanya, bahkan dulu dan kini pun masih banyak yang memitoskan burung gagak.
Misalnya, bila didatangi gagak hitam akan mendatangkan malapetaka bagi pemilik
rumah. Salah satunya, konon akan menjadi pertanda, jika sang pemilik rumah
bakal meninggal dunia. Namun sebenarnya, kepercayaan ini tidaklah sepenuhnya
benar dan justru menodai logika ditahniakan oleh Tuhan sebagai hamba pilihan.
Dimensi diksi ‘tahniah
dan burung gagak’ yang pernah saya gores di Kualalumpur (2023), dan kemudian
dikupas kembali oleh Dr. Najamuddin Petta Sollong (2023) pada tautan fb-nya,
sebagaimana berikut ini.
Tahniah
Burung Gagak
Tahniah merupakan salah
satu kata populer yang berasal dari bahasa Arab, sering digunakan masyarakat
muslim Indonesia ketika mendengar kabar atau berita bahagia. Tahniah artinya
adalah: ucapan selamat.
Selanjutnya dalam
kebudayaan Islam, masing-masing umatnya diajarkan untuk menyampaikan kalimat
kebaikan saat mendapatkan karunia atau nikmat yang menggembirakan. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara menyampaikan tahniah termasuk oleh dan/atau kepada
burung gagak sekali pun, kendati burung ini oleh kebanyakan orang sering
diidentikkan dengan sifatnya yang suka mematuk alias mengganggu burung elang.
Menarik disimak narasi
senior saya, Dr. Maman A Majid Binfas, seorang akademisi dan budayawan bahkan
sastrawan terkait ucapan tahniah oleh burung gagak. Ia pun menuliskan bahwa
setelah dari Singapura, kemudian tiba di Kualalumpur malam hari. Setelah shalat
subuh, sejenak menghirup angin segar di depan teras hotel penginapan. Namun,
tak disangkanya burung gagak pun datang menghampiri seakan menyapa di pagi hari
tanpa jarak.
Lanjutnya, burung gagak
tersebut seolah ingin menyambut dengan lembut__ salam tahniah__telah datang di
Hentian kajang Selangor Malaysia guna dikenang kembali__ di masa study S3, kenangnya setelah berlalu
delapan tahun silam.
Ternyata dipandangnya,
alam di sini masih bersih, biar burung pun bebas hampa ketakutan berhabitat apa
adanya __ sekalipun di sela gedung dengan keramaian manusia yang tak saling
perduli satu sama lainnya. Tetapi sirkulasi perkembangan habitat pun tetap
menjulang, baik manusia maupun burung-burung berlainan warna juga suku dan ras
negeri.
Bang Maman -demikian
saya menyapanya- seolah mendapat sambutan hangat burung gagak seolah berujar “Tahniah,
tuan telah kembali melancong dengan kebiasan menukil diksi akademis, __selalu
ternamakan seminari antarbangsa. Mungkin, itu yang ingin disampaikan Tahnia
oleh burung Gagak.”
Sayangnya penelitian
saya di Malaysia bersama Dr. Fakhrurrazi, dosen Universitas Kebangsaan Malaysia
dibatalkan rektor selalu pejabat TUN sehingga tidak bisa menerima ucapan
tahniah dari burung gagak di negeri luar tersebut, tapi tak apalah demi
tegaknya Juknis, kata penjabat dimaksud, namun tetap diuji di persidangan, he..he..
Hikmahnya yang dapat
dipetik dalam kehidupan dan kebudayaan dan peradaban manusia dari kisah sastrawan
di atas yakni hendaknya jangan remehkan burung gagak sebagai simbol perlawanan
termasuk oleh mereka yang merasa dirinya paling fokus bekerja dan
mempersonifikasi dirinya laksana burung elang yang gagah perkasa. Karena di
atas langit masih ada langit. Saya pun berucap serupa: “Tahniah burung gagak,
tetaplah mematuk burung elang, jika ia sombong.”
Jadi, manakala esensi
aturan hukum apapun dibuat, kalau hanya demi melanggengkan logika kesombongan
guna mendesain rumpun kekuasaan an sih, maka reingkarnasi Lucian dan Qabil akan
menjadi gembok senjata makan tuannya.
Tentu, tapak jejak
tersebut, tidak mesti diindahkan kalau hanya menjadi banteng tergembok, dan
akan lebih bermutu burung gagak yang hitam pekatan tanpa dimitoskan. Namun,
akan lebih elokan saling beriring sehingga hukuman dibuatkan tidak tergembokan
yang memakan tuannya.__, berhingga saling bertahniah dalam salaman bersenyuman
menawan sungguh aduhai, indahnya persaudaraan tanpa dusta di antara kita
berhingga jadi idaman dipurnamakan.
Purnamakan
Ya Ilahi Rabbi, tolong
jangan bosan curahkan denyutan dzikir akan purnama kesabaran kepada hambaMu__
tiada bertepi, sekalipun bulan purnama selalu berganti muncul tenggelam.
Tetapi ijinkan
zikirullah nan selalu menerangi nurani ini berkalam.
Tolong jangan biarkan
muncul tenggelam__ hiburkan diri hamba dengan purnama wirid doa tiada berganti,
tetapi semakin terus meningkat menyatupadu dalam Arsy KemahasempurnaanMu
tanpa ruas
menghampa__berhingga maut tergenggam
bersalaman dengan
diksi__
“Ya ayyatuhan nafsul
muthmainnah, irji'i ila rabbiki radhiyatan mardhiyah, fadhulii fi 'ibadi
wadhuli jannati”:
“Wahai jiwa yang
tenang,
kembalilah kepada
Tuhanmu dengan ridho
dan diridhoi-Nya
dan masuklah ke dalam
surgaKu.”
Semoga, dapat diamini tak berhingga dan hingga dipurnamakan hamba dalam keharibaan yang berhusnul khatimah menjadi pilihanMu__tanpa gembokan apapun berhadapan denganMu Yang Maha Sempurna, aamiin, aamiin, aamiin.....
Wallohu a’lam bissawab