PEDOMAN KARYA
Ahad, 08 Oktober 2023
Karya
Itu Berjiwa
Oleh:
Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi,
Budayawan)
Hampir semua pakar
dalam berkarya apapun, adalah hasil ekspresi pribadi untuk diungkapkan secara
logika guna didesain menjadi pengetahuan. Esensi ekspresi karya tersebut, bisa
berakar dari denyutan bisikan emosional terdalam maupun simbol-simbol dirupakan
dari rasa terilhamkan, sehingga berjiwa yang diaktualisasikan secara nyata.
Aktualisasi diri
dilogikakan sehingga terbentuk atau berwujud karya sebagai upaya untuk
mendesain eksistensi pikiran pribadi melalui ungkapan atau gerakan sehingga
berbentuk ciptaan__
Apapun dinamakan karya
cipta adalah sebuah perwujudan dari perenungan yang mendalam, dari seorang
pencipta karya, baik berupa seni budaya maupun buku serta karya ilmiah lainnya.
Namun, dalam narasi ini saya hanya menukilkan goresan karya buku dan berkaitan dengan
domain ilmiah lainnya, baik dari hasil karya sendiri yang bersifat alami, maupun
yang dibuatin oleh orang lain.
Keenjoyan
Berkarya Akademis
Pada bagian sub ini,
saya mengutip kembali sebagian goresan tentang “Sumbatan Logika Idealisme”
(9/2023). Komentar saya terhadap joingan artikel sahabat yang telah berniat
untuk membantu, dan menolong bagi yang terkendala, baik yang kenaikan kum
pangkat akademisnya maupun menyelesaikan S3 sesuai linearisasinya.
Namun, saya jujur akan
beragumentatif logis, seperti berikut ini.__ Selama saya menjadi mahasiswa, mulai
S1 hingga S3, maupun setelah menjadi dosen, masalah karya memang belum terlalu
berenjoy dengan karya dituliskan oleh orang lain.
Dan saat mengajar pun,
baik pada mahasiswa S1 maupun di pascasarjana, saya selalu menyarankan kepada
mereka, kiranya idealis dalam mempertahankan karya sendiri itu menjadi harga
diri yang bermuruah jatidiri keilmuwan. Sekalipun, tulisan atau goresan masih
dinilai dengan sifat ecean-ecean, namun dapat dipertanggungjawabkan secara
jantan, secara akademis dan memuaskan rasa logika jatidiri kita.
Dan entahlah kini, luar
biasa angka akreditasi dikarenakan tuntutan administratif kepangkatan.
Sekalipun, terkesan jebakan melalui aturan UU/PP_kata merdeka, namun melukai
dan menyedihkan esensi daripada akar tutwuri handayani itu sendiri, kini telah
ditelanjangi pula.
Memang aturan tuntutan
menjadi patokan akreditasi keilmuan, mungkin sebaiknya mesti dikaji ulang agar
pamong edukasi lebih elegan dan merdeka plus mumpuni__ tak lagi merasa terpaksa
dan dipaksa mengkaji keilmuwan yang sesungguhnya__
Hal ini sebenarnya
secara jujur logika batinku memberontak, dengan segala hormat kepada teman dan
sahabatku yang saling membantu, dikarenakan domain akrobatin kondisi negeri
saat ini. Terutama, di arena dagelan grap proyekalisasi pendidikan makin meraja
berdasarkan kuantitatif saham menjadi hasil lelangan jabatan
diperankannya.
Saham lelangan
berdasarkan angka kuantatif sehingga dapat mempundaki jabatan tertentu secara
politis an sih __sekalipun sebagai pecundang yang hanya mampu mengkadalisasi
sistem pendidikan yang bermartabat kemanusiaan dan berke-Tuhan-an Yang Maha
Esa.
Kini, terkesan sistem
pendidikan bobol karena diobok-obok dengan logika mesin robotan dalam durasi
online angka-angka dimainkan. Sekalipun, dimensi durasinya dapat merusak saraf
nurani pikiran berperikemanusiaan tulen dalam kerangka memanusiakan manusia
yang sesungguhnya.
Rusak memang, bila
logika robotan dari hasil lelangan saham politikalisasi jabatan dipertuankan.
Salam kejujuran jiwa
raga, yang lagi sedang galau akan arah orientasi pendidikan negeri ini yang
kita cintai_ dan kini semakin tak berjiwa nurani. Bahkan, dalam berkarya pun
diproyekalisasi dengan angka-angka lelang politikalisasi an sih yang hanya
dijiwainya.
Buku
Bukan Sekadar Karya
Mengawali goresan
bagian ini, saya mengutip apa yang diuraikan oleh tim editor pada buku karya
Bunyamin (2021). Buku tersebut berjudul “Belajar dan Pembelajaran: Konsep Dasar,
Inovasi, dan Teori”, dan kebetulan saya terlibat menjadi tim pembaca Ahli.
Sebelum menukilkan
lebih lanjut mengenai pengantar editor buku yang dimaksudkan, mungkin perlu
saya paparkan selintas mengenai tim yang juga penting dilibatkan untuk menilai
tentang kadar kualitas buku, yakni tim Ahli.
Selain tim editor dalam
mengediting buku, juga mesti dibutuhkan tim pembaca ahli agar terkoreksi secara
holistik, tentu setelah diturnitin atau penelusuran keaslian naskahnya.
Dikarenakan esensi karya ilmiah yang berupa buku dapat dipertanggungjawabkan
secara akademis, sebagaimana dinyatakan oleh pengantar editor di dalam buku
Bunyamin (2021), yakni, sbb;
Kehadirannya__ Buku
bukan sekadar buku dari tumpukan google Copy pastean tetapi menjadi harkat diri
penulis itu sendiri, terutama tentang kevalidan data tanpa plagianisme__
Memang penerbit bila
telah ada permohonan penulis untuk diterbitkan menjadi buku, maka akan memilih
atau menunjuk tim editor dan pembaca ahli. Maka, tim setelah diberi kepercayaan
oleh pernerbit, tentu akan membaca dan menelaah, serta mengoreksi setiap
rangkaian kalimat, dan mendeteksi sumber literature yang sangat esensial di
dalam menulis buku.
Keesensial sebuah karya
buku mesti ditelaah secara dalam, terutama mengenai kevalidan literatur
dan kemampuan penulis di dalam mendesain logika naskahnya menjadi rangkaian
data keilmuan yang mesti dipertanggung-jawabkan secara akademis, baik di dunia
maupun di akhirat kelak.
Tentu keberadaannya,
buku tidak sekadar menjadi buku saja yang kemudian dipoles secara akademis tanpa
disadari akan kualitasnya dari segi isi dan setting bangunan, sehingga berwajah
karya ilmiah yang patut atau berkelayakan pula.
Kemudian, memberi saran
secara santun, dengan kalimat: kami sebagai editor menyadari bahwa esensi
rangkaian tulisan di dalam mendesain sebuah karya tulis hingga menjadi buku,
tentu esensinya dilihat pada kelayakan pesan menjadi sebuah karya bernilai
akademis.
Muaranya berdimensi
kepada asas manfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan, dan tentu mesti
berkualitas. Bahkan tim editor buku tersebut, mengutip goresan, yakni sebagaimana
dinyatakan oleh Maman A. Majid Binfas di dalam sekapur sirih Proceedings;
International Seminar & Book Review of Mamonism” (2021), bahwa; “... Kadar
kualitas sebuah karya buku mesti diperhatikan dan menjadi esensi utama yang
dipertimbangkan oleh pihak penerbit di dalam menerbitkannya. Termasuk,
mempertimbangkan aspek aktualitas topik yang disampaikan kepada khalayak, baik
secara khusus maupun bersifat umum.
Aktualitas yang
dimaksud, tentu berkaitan dengan topik yang diangkat; apakah masih sesuai atau
tidak dengan perkembangan masyarakat atau publik saat ini. Aktualitas menjadi
idetintas harga diri, baik pada nilai bobot buku itu sendiri maupun menjadi
nilai tanggungjawab pengarangnya secara akademis di dalam menghadirkan sebuah
karya.
Oleh karena itu, harga
identitas diri pengarangnya mesti selaras dengan kualitas nilai tanggung-jawabnya
dalam kelayakan sebuah karya, baik bertaraf regional, nasional maupun
internasional.
Namun, walaupun
demikian akan status esensinya, bukan berarti mesti kaku di dalam menilai
standar yang diberlakukannya, seperti mengkalkulasikan kehadiran sebuah karya
ilmu multidispliner yang lahir secara alami.
Budaya ilmu yang lahir
bebas alami__berbasis kemerdekaan dari ilham Tuhan tidak semata diukur secara
kaku, berdasarkan kalkulasi formalin akademis saja. Tetapi, mesti luas dan
luwes, berdasarkan setting jejak logis kehadirannya, baik berupa tulisan
ataupun goresan yang dimaknai sebagai nuansa keilmuan_sesungguhnya, ia mesti dinamik yang terus dikembangkan.
Kehadirannya, tidak statis
kaku bergaya mesin lapuk dengan arogansi otomatisasi terkunci mati-matian,
tetapi mesti tetap dinamik dan lentur yang berkualitas.
Kualitas
Karya Berjiwa
Rusdi Tompo (2023),
menulis narasi agak menarik tentang 14 Kunci Menjadi Editor, tentang Catatan
Pengalamannya di media daring Pedoman
Karya dan boleh baca pada https://www.pedomankarya.co.id/2023/09/14-kunci-menjadi-editor.html.
Namun, di sini saya
hanya mengutip poin yang keempatbelas, yakni masalah Kualitas Produk. “Demi
menjaga kualitas pengeditan, saya menerapkan standard quality control, tentu
dalam versi saya.”
Lebih lanjut, dinyatakan
bahwa “editor itu seorang pekerja kreatif. Jangan membayangkan bahwa dia akan
melakukan pengeditan selalu berdasarkan urutan halaman. Jangan pula
membayangkan waktu kerja seorang editor itu sama dengan jam pekerja kantoran.”
Kemudian, saya
mengomentari narasi di atas, yang dibagi oleh pimpinan redaksi Pedoman Karya di group Maman AM Binfas
Centre. Lebih kurang begini, di samping 14 poin tersebut menjadi dasarnya, sang
editor juga mesti memahami orientasi arah penulis buku, dan juga menjiwai
dengan wawasan multidispliner.
Dijiwai untuk
dipertanggungjawabkan secara akademis, maka karya buku adalah menjadi harga
diri penulisnya dan editornya. Memang mesti dipahami bahwa menulis buku__bukan
sekadar dijadikan buku saja, namun karya buku manakala sudah diterbitkan
menjadi roh jiwa jati diri penulisnya. Termasuk, esensi kehadiran karya
tersebut, akan terbaca secara tajam sehingga dapat diukur kualitas kadar
tingkat kecerdasan si penulisnya.
Lebih lanjut saya
berkomentar, yakni sekadar, tidak terlalu keliru mungkin saya berbagi
pengalaman. Jujur, sudah beberapa kali, saya pernah menarik diri /mundur jadi
editor, dikarenakan penulisnya tidak memperbaiki editan saya tentang data yang
sangat vital secara akademis mesti diindahkan.
Bahkan pernah beberapa
kali, saya juga diminta untuk menjadi pemberi kata pengantar buku. Namun, saya
minta dikirim dulu naskahnya untuk dibaca. Setelah membaca naskahnya, saya
menolak secara halus dengan berkata bukan bidang saya, __dan kalau boleh saran,
ada sahabat saya yang sesuai dengan bidang mengenai draf buku ini untuk menjadi
pengantarnya yang tepat. Namun, tolong nama beliau di dalam naskah draf buku
tersebut, yang anda copypaste tolong dicantumkan__😊__sembari dengan
senyum manis.
Menjadi editor dan
penulis itu memang menarik, tetapi tanggungjawab moralnya__ dunia
akhirat__mesti dipertaruhkan.
Jadi, silakan berkarya tetapi jangan juga mencuri__minimal santun mengutip sebagai bukti tapak jejak literature__menjadi pertanda radius kecerdasan secara jantan dapat dipertanggung-jawabkan dunia akhirat mencerahkan logika berjiwa. Wallahu a’lam bissawab.***