-------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 02 November 2023
Catatan
dari Diskusi Buku “Setadah Puisi; Embusan LA RUHE Dari Tampangeng” (2):
Banyak
Puisi Tidak Memiliki Impresi dan Perenungan
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Banyak orang sudah
memulai menulis puisi ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, tapi tidak
banyak yang menyimpan dengan rapi puisi-puisinya, apalagi menulis tanggal,
bulan, dan tahun saat puisi itu ditulis, serta tempat atau kota dimana puisi
itu ditulis.
Salah seorang di antara
yang tidak banyak itu ialah Andi Ruhban. Pria kelahiran Tampangeng, Wajo, 05
Juni 1965, menyimpan dengan rapi puisi-puisinya sejak masih duduk di bangku
SMP, di tahun 80-an, lengkap dengan tanggal, bulan, dan tahun penulisannya.
Jumlahnya cukup banyak.
Dan Andi Ruhban yang sehari-hari bekerja sebagai dosen Politeknik Kesehatan
Kemenkes Makassar (Polkesmas), masih terus berkarya hingga hari ini.
Puisi-puisi yang
ditulisnya pada periode 1980 hingga 1997 kemudian ia bukukan dan ia beri judul “Setadah
Puisi: Embusan LA RUHE Dari Tampangeng.” Ada 101 puisi karya Andi Ruhban dalam buku
puisi tersebut.
Puisi pertama ia beri
judul “Kerinduan” yang ditulis di Tampangeng, pada 01 November 1980, sedangkan
puisi ke-101 berjudul “Citra”, yang ditulis di Makassar, 09 Juli 1997.
Menariknya, dari 101 puisi
dalam buku tersebut, ada beberapa di antaranya yang ia tulis pada hari yang
sama. Malah pernah, Andi Ruhban menulis 10 puisi dalam satu hari.
“Saya mencatat, pada 22
Juni 1991, ada 10 puisi yang dibuat. Kalau kita, dua puisi (yang ditulis) dalam
satu hari, telermaki’,” kata Rusdin Tompo sambil tersenyum saat tampil sebagai
pembicara pada Diskusi Buku “Setadah Puisi: Embusan LA RUHE Dari Tampangeng”,
karya Andi Ruhban, di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Sabtu, 28 Oktober 2023.
Ke-10 puisi Andi Ruhban
yang ditulis pada 22 Juni 1991, yaitu “Berita Buku”, “Diknakes”, “DKM”, “Fajar”,
“Parfi Sulsel”, “Pedoman Rakyat”, “RRI”, “TVRI”, “Taman Budaya”, dan “Taman Ria
Makassar.”
Rusdin Tompo
mengatakan, banyak puisi yang ditulis tapi tidak memiliki impresi (kesan, efek
atau pengaruh yang dalam terhadap pikiran dan perasaan), tidak memiliki
perenungan, sekadar hiburan.
“Yang kita harapkan,
ketika membaca sebuah puisi, ada sesuatu yang melekat di pikiran kita. Istilah
saya, ada tanda tangan yang menandakan ciri khas puisi atau sesuatu yang
berkesan dari diri, dari karya-karya seorang penyair. Khairil Anwar tanda
tangannya ‘Aku Ini Binatang Jalang’, ‘Aku Mau Hidup Seribu Tahun Lagi’. Andi
Ruhban mungkin juga sudah punya tanda tangan,” kata Rusdin Tompo yang Koordinator
Perkumpulan Penulis Satupena Sulawesi Selatan.
Saat Rusdin Tompo hendak
melanjutkan ucapannya, sastrawan dan sutradara Yudhistira Sukatanya langsung
memotong pembicaraan dan dengan tersenyum ia mengatakan, “Panggil Aku Daeng.”
“Panggil Aku Daeng”
adalah salah puisi karya Rusdin Tompo, yang ia tulis di Makassar, pada 27 Maret
2017. Puisi ini sudah sering dibacakan dalam berbagai kegiatan dan juga banyak
beredar pembacaan puisinya di Youtube.
Yudhistira secara tidak
langsung ingin mengatakan, puisi “Panggil Aku Daeng” adalah tanda tangan dari
seorang Rusdin Tompo sebagai penyair.
Rusdin Tompo mengaku
mengenal Andi Ruhban sejak dirinya bekerja sebagai penyiar Radio Venus, lebih
dari 20 tahun silam. Ketika itu, Andi Ruhban menjadi Ketua Fans Club Radio
Venus dan sering datang ke Tempat Penyiaran Radio Venus.
“Andi Ruhban menulis
puisi sejak masih SMP. Dan dia bikin puisi cinta,” kata Rusdin sambil tersenyum.
Mantan Ketua Komisi
Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawei Selatan mengatakan dirinya banyak
membaca buku, dan dari bacaan tersebut ia menemukan bahwa dalam kaitannya dengan
karya sastra dan kepenyairan, ada bahasa umum, ada bahasa puisi, ada bahasa
penyair.
Dikaitkan dengan
puisi-puisi karya Andi Ruhban dalam buku “Setadah Puisi: Embusan LA RUHE Dari
Tampangeng”, Rusdin mengaku belum bisa mengambil kesimpulan atau pun memberi
penilaian, apakah karya-karya puisinya masuk dalam bahasa umum, bahasa puisi,
atau bahasa penyair.
“Saya tidak berani
menilai posisi Andi Ruhban,” kata Rusdin lagi-lagi sambil tersenyum.
Dalam Diskusi Buku “Setadah
Puisi: Embusan LA RUHE Dari Tampangeng”, karya Andi Ruhban, yang digelar Forum
Sastra Indonesia Timur (Fosait), di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Sabtu, 28
Oktober 2023, Rusdin Tompo tampil sebagai pembicara bersama Asia Ramli Prapanca
(akademisi, sastrawan, budayawan, sutradara).
Diskusi dihadiri sejumlah sastrawan, wartawan, akademisi dan pencinta seni budaya, antara lain Muhammad Amir Jaya, Mahrus Andis, Prof Hamdar Arraiya, Idwar Anwar, Bahar Merdu, Syahriar Tato, Andi Marliah, Fadli Andi Natsif, Rusdy Embas, dan Arwan Awing. (bersambung)
-------
Artikel sebelumnya: