Berebut Ruang Perkotaan Siapa Menang, Siapa Malang

TATA RUANG. Untuk mengelola tata ruang yang lebih beradab, guna memperbaiki interaksi antar-warga, pemerintah dan para pihak, perlu juga ditilik dari sisi sosiologis dan budaya. Diperlukan sumbang saran, solusi yang melengkapi. Salah satunya melalui penataan ulang tata ruang yang melibatkan partisipasi stakeholder dari unsur budaya. Agar cita-cita bersama, hidup berbahagia yang berkeadilan sosial secara berkelanjutan dapat terwujud adanya. - Yudhistira Sukatanya -


------

PEDOMAN KARYA

Selasa, 21 November 2023

 

Berebut Ruang Perkotaan Siapa Menang, Siapa Malang

 

Oleh: Yudhistira Sukatanya

(Sastrawan, Budayawan)

 

Memperingati Hari Tata Ruang Nasional Tahun 2023, Ma’REFAT Institute ( Makassar Research for Advance Transformation) menggelar agenda rutinnya Ma’REFAT INFORMAL MEETING (REFORMING#7).

Tema yang dibincangkan, “Catatan Kritis Penyelenggaraan Penataan Ruang di Indonesia (Perspektif Birokrat, Budayawan dan Planolog)”. Diselenggarakan pada Ahad, 19 November 2023, di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT Kota Makassar.

Hadir narasumber sebagai pemantik Arifin SAP MAP (Birokrat Perencana Bappeda Kabupaten Takalar), Yudhistira Sukatanya (sastrawan, budayawan Sulawesi Selatan), serta Mohammad Muttaqin Azikin (Planolog yang juga pemerhati tata ruang).

Berikut catatan pemantik diskusi dari Yudhistira Sukatanya.

***

Hari itu, Senin, 13 Februari 2023, rumah saya di kawasan Jalan Gotong Royong IV, Kelurahan Tamamaung, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, mendapat kiriman berlimpah. Air hujan bagai tumpah dari langit, air kanal ruah meluap. Pada saat yang sama, dari arah barat, datang kiriman air dari Pantai Losari, akibat terjangan gelombang laut pasang naik. Banjir.

Prediksi terjadinya banjir telah dirilis BMKG beberapa hari sebelum kejadian. Mengingatkan warga akan ancaman badai hidrometrologi (hujan deras, angin puting beliung, tanah longsor, dan rob) di kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Prediksi itu benar jadi kenyataan. Tercatat sebagai bencana banjir terbesar, terparah yang pernah terjadi di Kota Makassar dan sekitarnya, dalam kurun 40 tahun terakhir.

Dengan rada enteng Walikota Makassar Danny Pomanto berkomentar; “Semua kecamatan kena banjir,” usai ia meninjau banjir di kawasan Pecinan, Jalan Sulawesi, Jalan Nusantara, di Kecamatan Wajo, Senin itu. Ketinggian genangan mencapai ambang ketinggian 40 cm hingga 120 cm.

Sejarah banjir di Kota Makassar telah tercatat dalam rentang yang panjang. Sebut saja tahun 1981, 2022, 2022, dan lagi 2023. Di tahun 1981 banjir menggenangi rumah saya di Jalan Gunung Lompobattang No 175, Kelurahan Pisang Selatan, Kecamatan Ujung Pandang.

Banjir di rumah lama saya itu, membenamkan sejumlah tumpukan dos berisi buku yang tak berhasil saya singkirkan dari genangan banjir. Ketinggian genangan air sekira 40 cm. Saya kehilangan harta kekayaan yang sulit dinilai. Sejumlah buku koleksi langka yang terbit bertahun lampau, tumpas sudah.

Tahun 2014, saya memutuskan pindah rumah (resettlement) dari alamat lama di Kampung Pisang ke alamat baru di Tamamaung. Menurut riwayat kampung Tamamaung- bermula dari peristiwa kegundahan Sultan Gowa, mendengar keluhan warganya yang berebut hak untuk menempati lahan pemukiman. Tamamaung diartikan jangan gaduh.

Di alamat baru, saya berharap sudah bisa terelak dari ancaman banjir. Nyatanya, tak selang lama setelah jalan tol layang selesai dibangun di tahun 2022 yang mengokupasi keberadaan pulau jalan juga jalur selokan air di sekitarnya.

Sebelumnya beberapa apartemen, mall telah dibangun, dengan menimbun lokasi yang dulunya jadi wilayah serapan air di Panakukang berganti dengan bangunan beton menjulang. Warga lama Panakukang kian terpinggirkan ke wilayah urban. Meski tetap mencari pekerjaan di sekitar wilayah rumah yang ditinggalkan. 

Tetapi, bukan hanya banjir yang mulai rajin hadir di kawasan “baru” hunian saya di Tamamaung. Diketahui bahwa di masa lalu wilayah ini memang langganan tergenang ketika masih berupa lahan pesawahan, tempat penampungan air.

Kini kawasan ini mendapat tambahan beban masalah. Di wilayah jalan raya sekira dua ratus meter arah jalan AP Pettarani, jalan raya ke selatan mulai jadi wilayah langganan macet. Jadi bukan hanya masalah banjir genangan air hujan, tapi kini ditambah lagi luapan jumlah kendaraan, terpaksa saya hadapi.

Ratusan meter jelang simpang Jalan Boulevard, saban sore hari dijejali ratusan kendaraan bermotor roda dua, roda tiga-bentor, roda empat hingga truk roda delapan dan seterusnya. Warga laksana serigala buas, saling berebut ruang dengan garang untuk melintas, lepas dari kemacetean lalu lintas.

Jika dua fenomena yang digunakan sebagai parameter, menjadi indikator permasalahan dikota Makassar sebagaimana ungkapan diatas, maka yang sungguh sungguh terjadi adalah mengurangi kepercayaan bahwa indeks kebahagiaan warga kota Makassar mencapai angka 76% lebih.

Sebagaimana diketahui bahwa tingkat kebahagiaan warga diukur melalui penilaian atas tiga dimensi yaitu kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia).

Terkait dimensi kepuasan hidup terhadap lingkungan sosial dan keamanan, perasan orang tersingkirkan, kehilangan makna hidup yang manusiawai maka perlu dipertanyakan segala prestasi yang telah dicapai oleh Pemerintah Kota Makassar.

Memang sederet prestasi penghargaan, telah dipublikasi dalam satu halaman penuh di salah satu media mainstream di Makassar. Juga penghargaan kategori Pengembangan Infrastruktur Penunjang Fasilitas Publik.

Penghargaan yang diberikan sebagai apresiasi terhadap upaya pemerintah daerah dalam merancang, membangun, dan memelihara fasilitas untuk membentuk pondasi bagi masyarakat yang sejahtera dan berkelanjutan.

Sungguh ironis, antara apa capaian prestasi sebagaimana yang terpublikasi di media massa dibanding sejumlah realita kota sehari-hari. Kemacetan lalulintas, sampah, banjir, air limbah, sengketa lahan, pemukiman padat dan banyak lagi lainnya.

Dengan pernyataan itu, pantaslah jika ada pendapat, bahwa ada yang salah urus dengan perencanaan tata ruang kota Makassar. Dengan penilaian atas dua aspek saja, sudah patut dipertanyakan bagaimana dengan tata ruang (spacial) wilayah kota Makassar.

 

Buku di Tengah Banyak Gugatan

 

Pada 26 Agustus 2023, selepas diskusi buku “Rihlah Ke Mancanegara” karya Prof Ahmad Sewang di LT Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin, Makassar, saya bertemu sahabat penulis Muhammad Muttaqin Azikin. Ia baru saja menerbitkan buku setebal 343 halaman dengan judul; “Tata Ruang dan Problem-Problem Planologis.”. Cetakan I, Mei 2023 di cetak Chamranpress.

Pada kesempatan tersebut saya dihadiahi satu eksemplar buku bercover warna hitam putih. Sang penulis meminta respon saya dari sudut pandang budaya atas problema yang intrinsik pada karyanya. Peristiwa selanjutnya memantik ingatan-ingatan saya pada sejumlah permasalahan tata ruang kota Makassar.

“Dari frame kebudayaan dan tata ruang, apa permasalahan yang disandang warga kota Makassar,” tanya saya dalam hati.

Dalam perjalanan pulang saya mengamati sisi-sisi kota yang potensial jadi masalah sosial budaya. Saya melihat ruang-ruang publik seperti pedestrian-trotoar yang diokupasi dan dijadikan ruang tempat usaha.

Bahkan ada yang got yang ditutup untuk dijadikan pondasi bilik tempat tinggal dan tempat berjualan. Keberadaan rumah-rumah itu dibangun semi permanen di pinggir jalan menjadi runag privat. Ada parkir semraut, merebut ruang publik yang dijadikan lahan mata pencarian para juru parkir.

Pada kesempatan lain, saya bertemu dengan petugas Satpol PP yang menindak tegas okupator ruang publik. Pembongkaran bangunan “liar” dilakukan tanpa ampun. Perlawanan orang pinggiran yang memanfaatkan ruang publik itu tak berlangsung lama. Mereka kalah dalam segala hal. Utamanya hak dan kuasa.

Dalam benak saya, kejadian demi kejadian itu sekilas menggambarkan perebutan ruang-ruang kota. Kali ini antara warga dengan pemerintah. Lalu di lain waktu antara warga dan pemilik modal. Warga dengan warga. Gambaran nyata problem sosial dengan dimensi ekonomi, kuasa, budaya, moral, hukum dan lainnya.

Di belantara masalah itu, Muttaqin Azikin, dalam bukunya menggugat komunitas planologi serta pelaku pembangunan wilayah dan kota, mengapa tidak secara tegas mengadopsi nilai-nilai Pancasila secara lebih eksplisit dalam perencanaan dan proses pembangunan kota dan wilayah. (Azikin,2023,98.)

Muttaqin Azikin meyakinkan para perencana tata ruang, bahwa “lima prinsip utama atau nilai dasar Pancasila sebagai titik temu, titik tumpu, titik tuju, negara-bangsa Indonesia, saya ingin internalisasi dan transformasikan secara sederhana menjadi landasan etis-filosofis penataan ruang kita.”

Azikin dalam uraiannya perlu eloknya lebih memperjelas dan mempertegas usulan solusi ini dalam diskripsi dan narasi. Terlalu ringkas untuk diungkapkan dalam 10 halaman. Andai disertai contoh kongkrit, tentu pembaca bisa lebih tercerahkan akan maksudnya.

Tema buku ini memang membicarakan semesta yang luas, sangat umum, sehingga apa yang jadi sorotannya, ibarat ingin menerangi kegelapan di ruang-ruang planonogis yang permasalahannya kompleks di Indonesia.

Kembali ke soal perencanaan tata ruang kota Makassar, Azikin pun masih terlalu irit menyumbangkan gagasan. Terbilang hanya empat judul yang secara spesifik menyoal kota Makassar.

Soal karakter khas warga kota Makassar bagian yang nyaris tak tersentuh. Bagaimana nilai-nilai luhur budaya seperti Sipakatau, Sipakainga, Sipakalabbirik. Sipakatau - menciptakan hubungan yang saling memanusiakan, saling menghormati, saling menghargai, saling mendukung satu dengan yang lainnya.

Nilai sipakainga, saling mengingatkan, saling mendengar pendapat menghormati pendapat lain dengan tulus, membangun sikap saling memahami guna menciptakan kerukunan bersama dalam berbagai hal. Nilai Sipakalabbirik adalah penghormatan, saling memuliakan pada keberadaan sesama guna menciptakan kedamaian.

Nilai-nilai tersebut seperti hilang di tengah perbincangan hiruk pikuk kota yang menyemat predikat sebagai kota dunia. Pun, nilai Siri na Pacce- malu, harga diri dan empati tak diungkap. Seolah dibiarkan menjadi pemanis kata-kata, jauh dari tindakan. Dan banyak lagi nilai-nilai luhur budaya yang tidak dijadikan pemicu kebaikan dan menumbuhkan sikap positif warga kota.

Mungkin karena sudah tak dikenali, jarang ditemui dalam praktik kehidupan warga kota. Nyaris semua nilai-nilai luhur budaya lokal mengambang dalam lalu lintas budaya era modern, post modern dan post truth. Problem nyata yang bisa jadi semacam setrika yang menggerus nilai-nilai budaya bangsa, nilai-nilai dasar kemanusiaan.

Begitulah adanya warga kota yang dalam perjalanan sejarah keterbukaan budaya, sesungguhnya telah terjadi pergulatan nilai-nilai, antara budaya etnik, budaya nasional dan global atau modern.

Keadaan kota Makassar, dapat dijadikan salah satu contoh kekeliruan dalam kebijakan perencanaan tata ruang yang mengakibatkan banyak perubahan sosial-budaya. Kekayaan budaya lokal semakin tergerus kemajuan peradaban terkini dan meninggalkan warga yang tidak memiliki kemampuan beradaptasi, tidak memiliki kebanggaan dalam mewarisi keunggulan budaya untuk pembangunan berkelanjutan.

Tentu kejadian miris seperti itu tidak hanya terjadi di kota, juga di wilayah urban hingga pedesaan. Kini di sejumlah wilayah pemukiman tengah berlangsung eforia gaya hidup metropolitan.

Warga kian individualistis, hedonis, egois, manipulatif, bebas semaunya, abai pada pendapat orang lain, anti kritik, senang meremehkan, membully, menghina, emosional dan sejumlah kosa kata lagi. Terlihat seperti kompetisi, persaingan yang berujung pada siapa menang, siapa kalah.

Inilah petanda semakin krusialnya kehadiran masalah budaya. Konflik budaya lama dan modern. Keadaan yang menuntut kemampuan adaptasi pada perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dalam kecepatan informasi. Kenyataan itu memerlukan peningkatan kualitas, harkat dan martabat manusia yang beradab.

Untuk mengelola tata ruang yang lebih beradab, guna memperbaiki interaksi antar-warga, pemerintah dan para pihak, perlu juga ditilik dari sisi sosiologis dan budaya. Diperlukan sumbang saran, solusi yang melengkapi. Salah satunya melalui penataan ulang tata ruang yang melibatkan partisipasi stakeholder dari unsur budaya. Agar cita-cita bersama, hidup berbahagia yang berkeadilan sosial secara berkelanjutan dapat terwujud adanya.

“Mengubah kebiasaan dan menciptakan kebiasaan, sama susahnya,” ujar Rudolf Puspa- pimpinan Teater Keliling.

Semoga.

 

Medio November 2023          

Banta-bantaeng, Rappocinik, Makassar


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama