------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 21 November
2023
Berebut
Ruang Perkotaan Siapa Menang, Siapa Malang
Oleh:
Yudhistira Sukatanya
(Sastrawan, Budayawan)
Memperingati Hari Tata
Ruang Nasional Tahun 2023, Ma’REFAT Institute ( Makassar Research for Advance
Transformation) menggelar agenda rutinnya Ma’REFAT INFORMAL MEETING
(REFORMING#7).
Tema yang dibincangkan,
“Catatan Kritis Penyelenggaraan Penataan Ruang di Indonesia (Perspektif
Birokrat, Budayawan dan Planolog)”. Diselenggarakan pada Ahad, 19 November 2023,
di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT Kota Makassar.
Hadir narasumber
sebagai pemantik Arifin SAP MAP (Birokrat Perencana Bappeda Kabupaten Takalar),
Yudhistira Sukatanya (sastrawan, budayawan Sulawesi Selatan), serta Mohammad
Muttaqin Azikin (Planolog yang juga pemerhati tata ruang).
Berikut catatan
pemantik diskusi dari Yudhistira Sukatanya.
***
Hari itu, Senin, 13
Februari 2023, rumah saya di kawasan Jalan Gotong Royong IV, Kelurahan
Tamamaung, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, mendapat kiriman berlimpah.
Air hujan bagai tumpah dari langit, air kanal ruah meluap. Pada saat yang sama,
dari arah barat, datang kiriman air dari Pantai Losari, akibat terjangan
gelombang laut pasang naik. Banjir.
Prediksi terjadinya
banjir telah dirilis BMKG beberapa hari sebelum kejadian. Mengingatkan warga
akan ancaman badai hidrometrologi (hujan deras, angin puting beliung, tanah
longsor, dan rob) di kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Prediksi itu benar jadi
kenyataan. Tercatat sebagai bencana banjir terbesar, terparah yang pernah terjadi
di Kota Makassar dan sekitarnya, dalam kurun 40 tahun terakhir.
Dengan rada enteng
Walikota Makassar Danny Pomanto berkomentar; “Semua kecamatan kena banjir,”
usai ia meninjau banjir di kawasan Pecinan, Jalan Sulawesi, Jalan Nusantara, di
Kecamatan Wajo, Senin itu. Ketinggian genangan mencapai ambang ketinggian 40 cm
hingga 120 cm.
Sejarah banjir di Kota
Makassar telah tercatat dalam rentang yang panjang. Sebut saja tahun 1981,
2022, 2022, dan lagi 2023. Di tahun 1981 banjir menggenangi rumah saya di Jalan
Gunung Lompobattang No 175, Kelurahan Pisang Selatan, Kecamatan Ujung Pandang.
Banjir di rumah lama
saya itu, membenamkan sejumlah tumpukan dos berisi buku yang tak berhasil saya
singkirkan dari genangan banjir. Ketinggian genangan air sekira 40 cm. Saya
kehilangan harta kekayaan yang sulit dinilai. Sejumlah buku koleksi langka yang
terbit bertahun lampau, tumpas sudah.
Tahun 2014, saya memutuskan
pindah rumah (resettlement) dari alamat lama di Kampung Pisang ke alamat baru
di Tamamaung. Menurut riwayat kampung Tamamaung- bermula dari peristiwa
kegundahan Sultan Gowa, mendengar keluhan warganya yang berebut hak untuk
menempati lahan pemukiman. Tamamaung diartikan jangan gaduh.
Di alamat baru, saya
berharap sudah bisa terelak dari ancaman banjir. Nyatanya, tak selang lama
setelah jalan tol layang selesai dibangun di tahun 2022 yang mengokupasi
keberadaan pulau jalan juga jalur selokan air di sekitarnya.
Sebelumnya beberapa
apartemen, mall telah dibangun, dengan menimbun lokasi yang dulunya jadi
wilayah serapan air di Panakukang berganti dengan bangunan beton menjulang.
Warga lama Panakukang kian terpinggirkan ke wilayah urban. Meski tetap mencari
pekerjaan di sekitar wilayah rumah yang ditinggalkan.
Tetapi, bukan hanya
banjir yang mulai rajin hadir di kawasan “baru” hunian saya di Tamamaung.
Diketahui bahwa di masa lalu wilayah ini memang langganan tergenang ketika
masih berupa lahan pesawahan, tempat penampungan air.
Kini kawasan ini
mendapat tambahan beban masalah. Di wilayah jalan raya sekira dua ratus meter
arah jalan AP Pettarani, jalan raya ke selatan mulai jadi wilayah langganan
macet. Jadi bukan hanya masalah banjir genangan air hujan, tapi kini ditambah
lagi luapan jumlah kendaraan, terpaksa saya hadapi.
Ratusan meter jelang
simpang Jalan Boulevard, saban sore hari dijejali ratusan kendaraan bermotor
roda dua, roda tiga-bentor, roda empat hingga truk roda delapan dan seterusnya.
Warga laksana serigala buas, saling berebut ruang dengan garang untuk melintas,
lepas dari kemacetean lalu lintas.
Jika dua fenomena yang
digunakan sebagai parameter, menjadi indikator permasalahan dikota Makassar
sebagaimana ungkapan diatas, maka yang sungguh sungguh terjadi adalah
mengurangi kepercayaan bahwa indeks kebahagiaan warga kota Makassar mencapai
angka 76% lebih.
Sebagaimana diketahui
bahwa tingkat kebahagiaan warga diukur melalui penilaian atas tiga dimensi
yaitu kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup
(eudaimonia).
Terkait dimensi kepuasan
hidup terhadap lingkungan sosial dan keamanan, perasan orang tersingkirkan,
kehilangan makna hidup yang manusiawai maka perlu dipertanyakan segala prestasi
yang telah dicapai oleh Pemerintah Kota Makassar.
Memang sederet prestasi
penghargaan, telah dipublikasi dalam satu halaman penuh di salah satu media
mainstream di Makassar. Juga penghargaan kategori Pengembangan Infrastruktur
Penunjang Fasilitas Publik.
Penghargaan yang
diberikan sebagai apresiasi terhadap upaya pemerintah daerah dalam merancang, membangun,
dan memelihara fasilitas untuk membentuk pondasi bagi masyarakat yang sejahtera
dan berkelanjutan.
Sungguh ironis, antara
apa capaian prestasi sebagaimana yang terpublikasi di media massa dibanding
sejumlah realita kota sehari-hari. Kemacetan lalulintas, sampah, banjir, air
limbah, sengketa lahan, pemukiman padat dan banyak lagi lainnya.
Dengan pernyataan itu,
pantaslah jika ada pendapat, bahwa ada yang salah urus dengan perencanaan tata
ruang kota Makassar. Dengan penilaian atas dua aspek saja, sudah patut
dipertanyakan bagaimana dengan tata ruang (spacial) wilayah kota Makassar.
Buku
di Tengah Banyak Gugatan
Pada 26 Agustus 2023,
selepas diskusi buku “Rihlah Ke Mancanegara” karya Prof Ahmad Sewang di LT
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin, Makassar, saya bertemu sahabat
penulis Muhammad Muttaqin Azikin. Ia baru saja menerbitkan buku setebal 343
halaman dengan judul; “Tata Ruang dan Problem-Problem Planologis.”. Cetakan I,
Mei 2023 di cetak Chamranpress.
Pada kesempatan tersebut
saya dihadiahi satu eksemplar buku bercover warna hitam putih. Sang penulis
meminta respon saya dari sudut pandang budaya atas problema yang intrinsik pada
karyanya. Peristiwa selanjutnya memantik ingatan-ingatan saya pada sejumlah
permasalahan tata ruang kota Makassar.
“Dari frame kebudayaan
dan tata ruang, apa permasalahan yang disandang warga kota Makassar,” tanya
saya dalam hati.
Dalam perjalanan pulang
saya mengamati sisi-sisi kota yang potensial jadi masalah sosial budaya. Saya
melihat ruang-ruang publik seperti pedestrian-trotoar yang diokupasi dan
dijadikan ruang tempat usaha.
Bahkan ada yang got
yang ditutup untuk dijadikan pondasi bilik tempat tinggal dan tempat berjualan.
Keberadaan rumah-rumah itu dibangun semi permanen di pinggir jalan menjadi
runag privat. Ada parkir semraut, merebut ruang publik yang dijadikan lahan
mata pencarian para juru parkir.
Pada kesempatan lain,
saya bertemu dengan petugas Satpol PP yang menindak tegas okupator ruang
publik. Pembongkaran bangunan “liar” dilakukan tanpa ampun. Perlawanan orang
pinggiran yang memanfaatkan ruang publik itu tak berlangsung lama. Mereka kalah
dalam segala hal. Utamanya hak dan kuasa.
Dalam benak saya,
kejadian demi kejadian itu sekilas menggambarkan perebutan ruang-ruang kota.
Kali ini antara warga dengan pemerintah. Lalu di lain waktu antara warga dan
pemilik modal. Warga dengan warga. Gambaran nyata problem sosial dengan dimensi
ekonomi, kuasa, budaya, moral, hukum dan lainnya.
Di belantara masalah
itu, Muttaqin Azikin, dalam bukunya menggugat komunitas planologi serta pelaku
pembangunan wilayah dan kota, mengapa tidak secara tegas mengadopsi nilai-nilai
Pancasila secara lebih eksplisit dalam perencanaan dan proses pembangunan kota
dan wilayah. (Azikin,2023,98.)
Muttaqin Azikin meyakinkan
para perencana tata ruang, bahwa “lima prinsip utama atau nilai dasar Pancasila
sebagai titik temu, titik tumpu, titik tuju, negara-bangsa Indonesia, saya
ingin internalisasi dan transformasikan secara sederhana menjadi landasan
etis-filosofis penataan ruang kita.”
Azikin dalam uraiannya
perlu eloknya lebih memperjelas dan mempertegas usulan solusi ini dalam
diskripsi dan narasi. Terlalu ringkas untuk diungkapkan dalam 10 halaman. Andai
disertai contoh kongkrit, tentu pembaca bisa lebih tercerahkan akan maksudnya.
Tema buku ini memang
membicarakan semesta yang luas, sangat umum, sehingga apa yang jadi sorotannya,
ibarat ingin menerangi kegelapan di ruang-ruang planonogis yang permasalahannya
kompleks di Indonesia.
Kembali ke soal
perencanaan tata ruang kota Makassar, Azikin pun masih terlalu irit
menyumbangkan gagasan. Terbilang hanya empat judul yang secara spesifik menyoal
kota Makassar.
Soal karakter khas
warga kota Makassar bagian yang nyaris tak tersentuh. Bagaimana nilai-nilai
luhur budaya seperti Sipakatau, Sipakainga, Sipakalabbirik. Sipakatau -
menciptakan hubungan yang saling memanusiakan, saling menghormati, saling
menghargai, saling mendukung satu dengan yang lainnya.
Nilai sipakainga,
saling mengingatkan, saling mendengar pendapat menghormati pendapat lain dengan
tulus, membangun sikap saling memahami guna menciptakan kerukunan bersama dalam
berbagai hal. Nilai Sipakalabbirik adalah penghormatan, saling memuliakan pada
keberadaan sesama guna menciptakan kedamaian.
Nilai-nilai tersebut seperti
hilang di tengah perbincangan hiruk pikuk kota yang menyemat predikat sebagai
kota dunia. Pun, nilai Siri na Pacce- malu, harga diri dan empati tak diungkap.
Seolah dibiarkan menjadi pemanis kata-kata, jauh dari tindakan. Dan banyak lagi
nilai-nilai luhur budaya yang tidak dijadikan pemicu kebaikan dan menumbuhkan
sikap positif warga kota.
Mungkin karena sudah
tak dikenali, jarang ditemui dalam praktik kehidupan warga kota. Nyaris semua
nilai-nilai luhur budaya lokal mengambang dalam lalu lintas budaya era modern,
post modern dan post truth. Problem nyata yang bisa jadi semacam setrika yang
menggerus nilai-nilai budaya bangsa, nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Begitulah adanya warga
kota yang dalam perjalanan sejarah keterbukaan budaya, sesungguhnya telah
terjadi pergulatan nilai-nilai, antara budaya etnik, budaya nasional dan global
atau modern.
Keadaan kota Makassar,
dapat dijadikan salah satu contoh kekeliruan dalam kebijakan perencanaan tata
ruang yang mengakibatkan banyak perubahan sosial-budaya. Kekayaan budaya lokal
semakin tergerus kemajuan peradaban terkini dan meninggalkan warga yang tidak
memiliki kemampuan beradaptasi, tidak memiliki kebanggaan dalam mewarisi
keunggulan budaya untuk pembangunan berkelanjutan.
Tentu kejadian miris
seperti itu tidak hanya terjadi di kota, juga di wilayah urban hingga pedesaan.
Kini di sejumlah wilayah pemukiman tengah berlangsung eforia gaya hidup
metropolitan.
Warga kian
individualistis, hedonis, egois, manipulatif, bebas semaunya, abai pada
pendapat orang lain, anti kritik, senang meremehkan, membully, menghina,
emosional dan sejumlah kosa kata lagi. Terlihat seperti kompetisi, persaingan
yang berujung pada siapa menang, siapa kalah.
Inilah petanda semakin
krusialnya kehadiran masalah budaya. Konflik budaya lama dan modern. Keadaan
yang menuntut kemampuan adaptasi pada perubahan dan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dalam kecepatan informasi. Kenyataan itu memerlukan
peningkatan kualitas, harkat dan martabat manusia yang beradab.
Untuk mengelola tata ruang
yang lebih beradab, guna memperbaiki interaksi antar-warga, pemerintah dan para
pihak, perlu juga ditilik dari sisi sosiologis dan budaya. Diperlukan sumbang
saran, solusi yang melengkapi. Salah satunya melalui penataan ulang tata ruang
yang melibatkan partisipasi stakeholder dari unsur budaya. Agar cita-cita
bersama, hidup berbahagia yang berkeadilan sosial secara berkelanjutan dapat
terwujud adanya.
“Mengubah kebiasaan dan
menciptakan kebiasaan, sama susahnya,” ujar Rudolf Puspa- pimpinan Teater Keliling.
Semoga.
Medio November 2023
Banta-bantaeng,
Rappocinik, Makassar