-------
Senin, 06 November 2023
Bukan
Ahli tapi Pandai Bicara, Ahli Hanya Diam Mengamati
SINJAI,
(PEDOMAN KARYA). Media sosial bagai warung kopi. Di
dalamnya, ada beraneka rupa karakter. Di dalam warung kopi itu, ada orang yang
sebenarnya bukan ahli tapi pandai berbicara, sedangkan para ahli hanya diam
mengamati.
“Ini sebenarnya membahayakan,
terlebih di era yang disebut sebagai era post-truth (pasca-kebenaran, red) seperti
kini. Pasalnya, di era ini, kebenaran tidak lagi penting, asalkan sesuai dengan
selera perasaan konsumen. Akhirnya pendapat yang salah bisa dianggap sebagai
kebenaran,” kata Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah, Prof Muchlas.
Hal itu ia ungkapkan
saat menjadi pembicara pada seminar nasional dalam Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil)
Terpadu Majelis Tabligh, Majelis Pustaka dan Informasi (MPI), dan Lembaga
Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel, di Kampus Universitas
Islam Ahmad Dahlan (UIAD) Sinjai, Sulawesi Selatan, Sabtu, 04 November 2023.
“Sekarang kita berada
di era dimana sudah ada kecerdasan buatan, Artificial Intelligence, disingkat
AI atau IA. Juga ada big data. AI dan
big data ini menjadi suatu hal yang lumrah di era sekarang ini, bahkan saya
bisa mencari bagaimana shalat tarawih menurut Muhammadiyah dan rupanya ada yang
benar, ada yang salah,” kata Muchlas yang tampil berbicara via zoom.
Big data atau mahadata,
data raya, data raksasa, atau data bandang adalah istilah umum untuk segala
himpunan data dalam jumlah yang sangat besar, rumit, dan tak terstruktur, sehingga
menjadikannya sukar ditangani apabila hanya menggunakan perkakas manajemen
pangkalan data biasa atau aplikasi pengolah data tradisional belaka.
Terkait dengan kondisi tersebut, Muchlas yang sehari-hari Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta mengatakan, kelemahan dakwah Muhammadiyah adalah ketidakmampuan muballighnya menggunakan media digital secara optimal.
“Kita belum bisa
memerankan diri kita sebagai influencer, sebuah akun yang bisa memengaruhi,
bisa memperoleh banyak pengikut, kemudian secara psikologis mampu memengaruhi
batin para followers-nya,” kata Muchlas.
Para da’i Muhammadiyah,
katanya, harus membuat konten-konten yang nantinya memintarkan Artificial Intelligence,
membuat sumber-sumber yang nantinya diakses AI, kemudian mengkompilasi,
sehingga menjadi pengetahuan baru.
“Konten-konten itu
menyajikan informasi yang benar terkait Muhammadiyah,” kata Muchlas.
Para da’i Persyarikatan
Muhammadiyah, lanjutnya, harus memperkuat konten di seluruh platform digital,
terlebih di media sosial dan laman (web).
Majelis Pustaka dan
Informasi (MPI), kata dia, telah menyebarluaskan pendekatan narasi alternatif
dalam membuat konten. Pendekatan yang telah disebarluaskan oleh MPI itu,
termasuk terkait bagaimana menghadikan tampilan-tampilan yang tidak reaktif.
“Pendekatan itu membuat
Muhammadiyah tidak langsung menjawab atau berhadap-hadapan dengan materi yang
dipersoalkan,” ungkap Muchlas.
Kemasan konten yang
dihadirkan, lanjutnya, juga harus sesuai dengan karakter sasaran dakwah masa
kini, terutama generasi Z (generasi yang lahir antara tahun 1995 hingga 2010,
red) yang saat ini sudah mencapai 30 persen di Indonesia. (asnawin)