--------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 05 November 2023
Catatan
dari Diskusi Buku “Setadah Puisi; Embusan LA RUHE Dari Tampangeng” (5):
Dinamika
Baru Penulisan Puisi di Tahun 80-an
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Periodisasi keberadaan
karya sastra di Indonesia sering berdasar pada kronologi tahun kehadirannya.
Dalam perjalanan sejarah karya sastra tersebut, biasanya dikelompokkan atas
masanya dalam dekade atau kurun waktu tertentu.
“Di Indonesia dikenal
beberapa angkatan kesusastraan, misalnya Angkatan Balai Pustaka, Angkatan
Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan ’66, Angkatan `70, dan Angkatan 2000,”
sebut sastrawan dan sutradara Yudhistira Sukatanya.
Hal itu ia tulis dalam
epilog buku kumpulan puisi “Setadah Puisi: Embusan LA RUHE Dari Tampangeng”
karya Andi Ruhban, yang didiskusikan oleh Forum Sastra Indonesia Timur
(Fosait), di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Sabtu, 28 November 2023.
Yudhistira mengatakan, dalam
101 judul puisi karya Andi Ruhban tersebut, setidaknya merangkum 34 judul puisi
era tahun 1980-an, dan kurang lebih 68 puisi era tahun 1990-an.
Dengan demikian pembaca
dapat menelusuri gambaran perambahan jalan pencapaian estetika ala kurun waktu
tersebut pada puisi La Ruhe, nama versi penulis penyair kelahiran Tampangeng,
05 Juni 1965.
“Pada periode tahun
80-an, lintasan sejarah sastra Indonesia mencatat adanya dinamika baru dalam
penulisan puisi. Terjadi pergeseran wawasan estetik, khususnya pada kata yang
mulai menekankan pada pemikiran dan cara penyajian karya sastra. Periode ini
melahirkan konsepsi improvisasi dan eksperimentasi dalam penggarapan karya
sastra baru,” papar Yudhistira.
Para sastrawan mengikuti
perkembangan zaman yang menuntut adanya keberanian dan kreativitas berkarya.
Semangat eksperimentasi dalam berekspresi, kian kerap merekam kehidupan
masyarakat yang mulai menampakkan keragaman masalah sosial dan telaah
keberagaman pemikiran dan penghayatan atas modernitas.
Yudhistira kemudian
mengajak menyimak puisi berjudul “Kerinduan” pada halaman 1 dalam buku “Setadah
Puisi: Embusan LA RUHE Dari Tampangeng” karya Andi Ruhban.
KERINDUAN
Air
mata sudah berbau
Nun
di dasar samudera
Diri
ini rindukan kau
Ingin
jumpa si Mutiara
Rias
muka sudah di angkasa
Ujung
dunia sedang berapi
Hujan
zenith tetap di tepi
Biar
saya tidak perkasa
Akan
kuhibur hati yang sepi
Nanti
malam kita bermimpi
Terbaca dalam puisi ini ‘Hujan zenith tetap di tepi’ semangat eksperimentasi. Jika zenith diartikan sebagai puncak, lalu mengapa tetap di tepi. Mengapa zenit jadi pilihan diksi, estetik apa yang ingin dicapai oleh Andi Ruhban, yang dosen, lektor di Poltekkes Kemenkes Makassar (PolKesMas). Pemikiran apa yang ditawarkan dalam semangat eksperimentasi ini. Semangat modernitas?
Selanjutnya dua kuplet puisi “Tampomas Karam” (halaman 2):
TAMPOMAS
KARAM
Detik-detik
memakan waktu
Sampai
tiba di dasar laut
Dengan
kejam tergelincir bayu
Terus,
terus agni menjilat
Indra
kenapa kau lain
Kabut
kenapa kau invalid
Hingga
manusia, kapal, dan kain
Bersatu
dengan kebulatan tekad
“Terus, terus agni
menjilat”. Agni adalah nama Dewa Api dalam bahasa Sanskerta. Lanjut “Kabut kenapa
kau invalid”. Jika arti invalid ditelusuri dalam KBBI, maka adalah lemah atau
cacat anggota badan karena sakit atau luka; cedera. Contoh: ia menjadi invalid
karena kecelakaan. Bagaimana konteksnya dengan Kabut kenapa kau……..
Pada kasus ini, kat
Yudhistira, jika dicermati telah terjadi pergulatan pemikiran baru (baca: baru
ketika itu) dalam tampilan estetika sastra puisi ala era 1980-an.
Ia menilai Andi Ruhban
yang ayah dari dua orang putra, agaknya telah ikut terseret dalam arus besar
fenomena sastra masa tersebut.
“Puisi era tahun 80-an memaksa
pembacanya memahami ungkapan sang penyair. Puisi semacam itu sengaja dibuat berlarik-larik
yang membentuk bait, berkait dalam kalimat-kalimat yang membentuk paragraf,
padat dan lebih puitis, serta makna yang ditampilkan simbolik,” ujar Yudhistira.
Kemudian pada generasi 1990-an puisi menjadi semacam alat pencatat peristiwa ketika lahir fenomena kegamangan. Para penyair era ini mengusung peristiwa luar sastra ke dalam larik puisinya.
Berikutnya telaah puisi “Keridaan” (halaman 32):
KERIDAAN
Ramadan...
Oh.... Ramadan
Ungkapanmu,
kami menahan
Hari-harimu
diridhai Tuhan
Bahanamu
meluaskan lahan
Adanya
dikau kutabung bahan
Namun,
engkau bak pelabuhan
Nuansa religius juga
tampak pada puisi “Agamaku” ( Halaman 11 )
AGAMAKU
Allah...
Tuhan yang disembah
Napas
muslim adalah Al-Qur’an
Dunia
ditempati untuk beribadah
Islam
itu dienul......bukan dokumen!
Rasulullah
yang dipedomani
Usaha
ikhlas dari nurani
Hidup
bukan untuk tertawa
Badan-jiwa
dipakai bertakwa
Amalan
kini masih berjalan
Nyawa
dalam genggaman Tuhan
(Tampangeng, 01 Oktober
1981)
Yudhistira menilai di
sini suasana dienul Islam sebagai suatu sistem hidup komprehensif yang Allah
SWT turunkan melalui rasul-Nya, dapat disimak pada larik puisi ‘Keridhaan’, ‘Ramadhan...Oh....
Ramadhan, Ungkapanmu kami menahan, Hari-harimu diridhai Tuhan, Bahanamu meluaskan
lahan.
Dan larik: Hidup bukan
untuk tertawa, Badan-jiwa dipakai bertakwa, Amalan kini masih berjalan, Nyawa
dalam genggaman Tuhan, pada puisi “Agamaku.”
Dua puisi itu
mengungkap makna denotatif yang memainkan rima dalam kalimat; Suasana gamang
dan suram terlihat pada puisi; “Kesuraman” halaman 13, dan puisi “Peradaban Kita
“ (Halaman 22).
KESURAMAN
Angin
berkisar ke gunung tinggi
Nada
melayang ditelan udara
Diriku
ini tak tentu lagi
Ini
pertanda akan sengsara
Ruang
hantu gemetar raga
Untung
ada di bawah surga
Hampa
ini mematikan
Balas
jasa di perbatasan
Aliran
darah kini sayup
Nuraniku
pun jadi gelap
(Tampangeng, 23
Desember 1981)
PERADABAN
KITA
Resah
semakin mengalir
Ujian
alam mulai menyatu
Hampir
saja tinggalkan kasih
Barangkali
lingkungan yang biadab!
Aneh....tapi
kita terpesona
Nyaman
katanya berselimut embun
Aturan
berkarya cenderung tersiksa
Namun
semangatnya semakin mengalun
Dengarlah
wahai yang bertekad!
Impianmu
senantiasa bersemi
Rangkaian
kata hendak manjur
Ukiran
wajah sosial....tak terpaku
Haruskah
kita turut melangkah
Bentuk
penyejuk hati yang lembab
Apakah
tak pernah ada bertanya?
Nyatanya.tersisa
serumpun pesan
Amati
dulu fenomena yang melanda
Nuansa
hidup memang cemerlang-kian
Dalam
makna putaran abad
Individu
beradab kini mencari
(Tampangeng, Bulan I
Pelita V, Akhir Desember 1981)
Kesuraman dan kemuraman
yang sungguh telah lama dirasakan oleh Andi Ruhban yang Koordinator Dosen PBAK
(Pendidikan Budaya Antikorupsi) PolKesMas periode 2017-2022, mengekspresikan
kegamangan dalam lintas perada ban.
“Di mana setiap insan
niscaya akan melintas di sana, di antara berbagai perubahan. Baik saat siap
atau tidak siap dalam menyikapi fenomena peradaban yang terjadi. Pesan yang
tersirat adalah bagaimana seseorang harus selalu siap beradaptasi di segala
kondisi. Tersirat harapan, kegamangan yang dirasakan sang penyair dapat
terkonfirmasi,” tutur Yudhistira.
Pada halaman 121, ada
puisi “Citra” yang merupakan puisi terakhir dalam buku “Setadah Puisi: Embusan
LA RUHE Dari Tampangeng.”
CITRA
CITRA
adalah
Corong
Indikator
Tayangan-Tontonan
Rekan-Rakyat-Rumpun
Artis-Atlit-Anda-Aktor
Caranya
Cukup Cerdik
Istilahnya
Isi
Ilmu
Tampilnya
Tetap Tegar
Responnya
Ria Runtut
Analisanya
Asuh Awam
Cirimu
Catat Cerita
Ilhammu
Inti Informasi
Tuntunanmu
Tiada Telat
Redaksimu
Rekayasa Resmi
Amalanmu
Akrab Alam
Curahkan
Impianmu
Torehkan
Rencanamu
A
m i n ...
(Makassar, 09 Juli 1997
Puisi ini, kata
Yudhistira, mengukuhkan bentuk pemberontakan La Ruhe, Pembina UKM SIPARATA
(Seni Pemuda Darah Kesehatan) PolKesMas 2017-2022, atas estetika lama.
Tampilannya yang
menunjukkan huruf kapital pada setiap kata boleh dikata suatu ‘pemberontakan’
atas estetika bentuk lama. Meski pada puisi ini setiap kata masih denotatif.
Pengelanaannya bukan pada pergulatan estetika bahasa, melainkan kali ini pada
bentuk tampilan puisi.
“Begitulah Setadah Puisi La Ruhe periode 80-an dan 90-an. Kumpulan puisi ‘Embusan La Ruhe Dari Tampangeng’ ini telah memberi pengetahuan tentang salah satu jejak sastra Sulawesi Selatan yang telah diawetkan dalam buku. Sungguh layak dibaca oleh peminat sastra,” kata Yudhistira. (bersambung)
-----
Artikel sebelumnya: