Gibran Joki Jokowi

Mestinya, bila dipahami demikian, maka bani-bani yang telah berkarakter, baik Fir’aunisme maupun berdinasti kekinian secara akademis an sich, mesti siuman untuk saling mencerahkan. Termasuk, tuduhan terkesankan kepada Gibran joki Jokowi pun tidak mestinya akan terjadi. Namun, dengan kejujuran apa adanya menjadi cerminan__ hampa dari silumanan berkuda troya ala bani zionisan warisan joki Fir’aunan.- Maman A Majid Binfas -


-------

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 25 November 2023

 

Gibran Joki Jokowi

 

Oleh: Maman A. Majid Binfas

(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)

 

Joki merupakan orang yang bermain terselubung di dalam mengerjakan tugas untuk orang lain dengan menyamar guna mendapatkan imbalan. Perlakuan joki-jokian, biasanya dilakukan secara senyapan, baik di dalam ujian kepegawaian maupun ujian nasional. Termasuk, mafia proyekalisasi kenegaraan dan politikalisasi lelang jabatan, serta pemilihan apapun, sehingga memenangkan orang lain, dan hingga mendapat transaksi upeti dari yang didagelaninya.

Semuanya, esensi upeti berorientasi untuk kelangsungan dinasti kehidupannya, baik bagi yang didagelani maupun berdagelan itu sendiri.

Dinasti atau wangsa berarti kelanjutan kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh satu garis keturunan, bersifat turun-temurun.

Hal itu dikesankan sebagai sistem reproduksi kekuasaan yang menurut logika google (2023) bersifat primitif dikarenakan hanya mengandalkan darah dan keturunan dari beberapa orang.

Politik dinasti ini yang mengarahkan proses regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu negara.

Hal itu dilakukan raja-raja yang mewariskan kepada keturunannya yang berkuasa atas suatu pemerintahannya pada garis keturunan biologisnya. Dalam Islam, sekalipun tidak pernah dicerminkan oleh Rasulullah SAW, bahkan baru terjadi setelah empat sahabat Nabi wafat sebagai khalifah.

Kehadiran dinastian, awalnya dibuat sendiri oleh Muawiyah sekaligus sebagai khalifah pertama Bani Umayyah. Dari Bani Umayyah kemudian diwujudkan menjadi Dinasti Muawiyah, dan diwariskan kepada putranya yang bernama Yazid, yang dibudidayakan secara turun-temurun menjadi raja-raja berhingga bani Abbasiyah, dll.

Membudidayakan bani kedinastian ini, bukan hanya terjadi di Timur Tengah, namun ada juga di Barat yang menganut sistem monarki atau kerajajaan, seperti Inggris, Belanda, Spanyol, Swedia, Norwegia, Denmark, dan Jepang.

Kemudian di ASEAN, negara yang mengekalkan budidaya tradisi monarki di dalam struktur pemerintahannya, yakni Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, dan Thailand.

Dulu, Indonesia sebelum merdeka pun mengalaminya. Hampir seluruh wilayah dan daerah menganut sistem dinasti kerajaan, namun atas kecerdasan Bung Karno yang melenturkan untuk bergabung menjadi NKRI __hingga kini menjadi harga mati.

Sekalipun, kini dilumatin dan telanjangi komitmen kebangsaan yang sesungguhnya oleh joki pelakon pemburu upeti liar yang masif terbungkus dengan sistem demokrasi an sich, sehingga muncul boneka-boneka modern. Boneka demikian bisa menjadikan bom waktu yang melumpuhkan sistem demokrasi dibangun dengan darah juang sejati.

Darah juang telah mengorbankan jiwa raganya guna memperjuangkan kemerdekaan sejati, agar terbebas dari boneka penjajahan berdagelan bani fira'unisme yang merusak sendi-sendi kebangsaan berkedaban bani ilahiyah.

 

Bani Fir’aunisme

 

Bola liar boleh jadi bom waktu__akan terbentur boneka dinasti berpantul ketat dari keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)__ maka berimbas pada kesan pelakon hukum tertinggi pun, seperti Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bisa dipercaya lagi karena telah menodai hingga tanpa karuan dalam penegakan sistem hukum kenegaraan.

Walaupun, sistem kenegaraan sudah nyata di dalam UUD 45, pasal 1 ayat 3: Negara Indonesia adalah negara hukum. Namun, masih saja tak karuan dalam tindakan nyata__bahkan dikentutin oleh pemimpinnya sendiri tanpa malu sekalipun sangat memalukan !

Namun, tidak mesti dialamatkan kepada bani Jokowi yang lagi Presiden saat ini, sekalipun kebetulan Anwar Usman, Ketua MK yang diberhentikan oleh MKMK, merupakan iparnya plus juga pamannya Gibran.

Walaupun demikian, kesannya tidak terlepas tetap berimbas kepada Presiden Jokowi pula. Wajar, manakala muncul goresan berdiksi “Gigi gergaji joki Jokowi memang jitu”, tak mesti dituduhi dinasti segala karena juga hampir semua cerminan partai politik saat ini pun demikian.

Diksi bercermin demikian, hadirnya dikarenakan konten yang boleh jadi berasumsi dari keresahan publik atas kegalauan para pelakon partai yang mencurigai akan pasangan lain akan menghalau suara pemilihan nantinya.

Hal itu, saya pernah menggores diksi sebelum ada kepastian dari dua paslon cawapres, yakni:

Kalau Gibran jadi cawapresnya Prabowo,  maka menguntungkan Anies, dan mempuntungi Ganjar __

Sesungguhnya, tidak terlalu keliru bila muncul pikiran waras demikian, namun disesalkan manakala kebuntuan berpikis hanya demi menguntungkan dinatian keluarganya semata sekalipun mengidap majnun akutan secara sial, lalu dipaksakan seakan konten akademisan.

Hal itu, tentu super sial dalam kesialan cara berpikirnya, dipaksakan sekalipun logikanya beradius buntu berbatu cadasan. Manakala pola pikiran cadasan yang seakan hanya demi rumpun keluarganya saja yang boleh eksisan, maka akan merusak sistem kenegaraan dan berbangkai kronisan, dan hal demikian mesti amputasi dengan sesegera mungkin.

Apalagi, karakter kronisan akut yang hanya menghalangi orang lain yang lebih potensial. Hal itu, sangat berbahaya bagi peradaban bangsa yang beradab santun dan bertauhid ke-Tuhan-an sebagai keyakinan utamanya, dan anti kepada karakter Fir’aunisme.

 

Bani Berkarakter Fir’aunisme

 

Penyakit majnun kronisan hampa siuman begini, kini bukan hanya terjadi pada negara dunia belantara, tetapi juga sungguh sangat disesalin dalam lumbung akademisan pun teradiasi. Bahkan mewarisi secara santun sifat berkarakter Fir’aunisme__ sebagaimana dikisahkan di dalam Obrolan Daeng Tompo’ dan Daeng Nappa’ tentang Fir’aun Khawatir Kehilangan Kekuasaan (Asnawin Aminuddin, Pedoman Karya, 24/11/2023).

“Dikisahkan bahwa Fir’aun itu sesungguhnya khawatir kehilangan kekuasaan. Fir’aun mengatakan kepada para pembesar-pembesarnya bahwa dia ingin membunuh Nabi Musa, dan memerintahkan tentaranya membunuh semua bayi laki-laki yang baru lahir,” tutur Daeng Tompo’.

“Dia menyuruh membunuh bayi laki-laki yang baru lahir karena khawatir di antara bayi-bayi itulah nanti ada yang akan menggantikannya menjadi raja?” tanya Daeng Nappa’.

“Betul. Wakil Rektor IV bilang, sifat dan karakter Fir’aun yang khawatir kehilangan kekuasaan, itu terus-menerus terjadi di sepanjang sejarah peradaban manusia,” kata Daeng Tompo’.

Namun, Obrolan Daeng Tompo’ dan Daeng Nappa di atas, __yang mengutip dari kultum Wakil Rektor IV Unismuh Makassar, tentu kesannya mungkin berkaitan hangat dengan isu kedinastian saat ini.

Kesan hangat tersebut, tidak semata dialamatkan pada kondisi pimpinan Negara, tetapi juga terjadi pada institusi pendidikan, baik yang dikelola oleh negara, maupun swasta, yang bersifat umum atau berlabel keagamaan.

Semoga apa yang dikultumkan oleh Warek IV Unismuh Makassar di atas, tidak hanya bersifat pencerahan keagamaan di masjid kampus, dan mungkin juga plus berakumulasi dengan kondisi realitas saat ini guna menampari alam sekitarnya yang lagi ditimpa el_nino pula.

Tidak dapat dihalau asumsi di saat el_nino pergantian musim begini akan dapat memunculkan karakter panas alam di sekitaran tak dapat dihindari. Hal itu, hawa panas yang berkepanasan ganda sehingga akan membawa dampak signifikan kepada alam Fir’aunisme tanpa dapat dihindari.

Apalagi kesan bangunan demikian, telah bertapak alam ghaib dan nyata di dalam kebani-banian menjadi benih karakter dagelan untuk merebut kue kekuasaan__ guna melanggengkan karakter bani kefir'aunan secara santun__ sekalipun kesannya akademis an sich dilakonkan.

Kesan an sich demikian, tentu tidak lain berdurasi mengekalkan karakter homoni lupus/memangsa manusia yang lain, sebagaimana anonim karakter Fir’aunisme diobrolkan lebih lanjut oleh Daeng Tompo dan Daeng Nappa;__

“Penguasa dengan karakter Fir’aun berupaya membungkam dan membunuh karier orang-orang yang dipandang akan menjadi saingan, menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan, serta menyiapkan anaknya atau anak buahnya untuk menggantikan dirinya menjadi penguasa, tetapi dia tetap sebagai pengendali kekuasaan dari balik layar,” tutur Daeng Tompo’.

Esensi obrolan boleh saja diidentikkan kondisi dagelan politikalisasi negara saat ini. Mulai dari payung hukum yang sedang diobok-obok hingga tak karuan, dan tidak terlepasin dari wajah MK saat ini.

Bahkan sinonim MK bukan juga dipanjangin Mahkamah Keluarga atau Muka Kampungan atau apa saja diledekin oleh publik yang sangat kesal akan lakon kelakuannya.

Walaupun demikian, wajah para pelakon MK dan pimpinan institusi yang lain pun, adalah hasil produk dari institutsi akademis berkampusan juga. Sekalipun, produknya terkesan kelepotan dan brewokan dalam joki MK/Memulusin Keponakan disinonimkan saat ini.

Kini, muncul lagi ketua KPK; Komisi Pemberantas Korupsi juga sedang dilindas jadi tersangka pemerasan korupsian. Muncul plesetan akronim KPK sebagai kepanjangan dari Komisi Pemerasan Korupsian, dan bagian-bagian lain pun terimbas bangkai kebusukan tanpa bisa dipungkiri.__Bah kepala ikan hingga ekor pun mungkin mulai berbau busuk dan berbangkai__ semoga negara ini tak terlalu mengerikan bah filosofis ikan pula. Kalau ya, maka El_nino bisa jadi neraka kehidupan berbangsa berkedaban.__

Maka, sungguh melukai martabat bangsa yang telah merdeka. Hal itu, terjadi akibat dari joki-jokian diperankan oleh para penggemarnya. Namun, tidak mesti disalahin kondisi politikalisasi sehingga di_dinastikan hanya dialamatkan kepada bani Jokowi saja, dikarenakan anaknya, Gibran, dicalonkan Wapres Prabowo.

 

Gibran Koq Disalahin

 

Tak mesti disentilin Gibran akibat dari dinastian__logisnya hadirnya, ia dikarenakan ketakberdayaan political will kita di dalam berpanggung apa adanya. Mungkin, selama ini telah lelah, dan di mana selalu saja dipertontonkan setingan dagelan sandiwara kebohongan.

Mestinya, kehadiran Gibran sebagai Cawapres yang berumur belia, sudah pantasnya kita bersyukuran dan menjadi tamparan dahsyat kepada para pelakon politikalisasi transasi money politic selama ini.

Termasuk, tamparan kepada Prabowo juga para pelakon berwarisan wawasan ketuaan, dan bagi para pengamat politikalisasi negeri ini__Gibran mestinya tidak disalahin karena ketakberdayaan diri kita dong!

Kehadiran goresan diksi ini, bukan berarti suporter Gibran loh! Soal memilih nanti urusan rahasia dalam hati__luber: langsung, umum, bebas, dan rahasia bro!

Jadi eloknya, dikarenakan budaya telah berkarakter bani-banian, maka dicerahkan dengan logika mata hati untuk merangkul tanpa mesti saling memukul hingga mencekalinya. Hal itu, sebagai cerminan yang dilakukan oleh Muhammad SAW sebelum menjadi Rasulullah, di saat mengangkat batu Aswad.

Beliau meminta selendang lalu meletakkan Hajar Aswad tepat di tengah-tengah selendang. Kemudian, beliau meminta para pemuka berbani kabilah yang saling berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang, lalu beliau memerintahkan mereka mengangkatnya bersama-sama.

Mestinya, bila dipahami demikian, maka bani-bani yang telah berkarakter, baik Fir’aunisme maupun berdinasti kekinian secara akademis an sich, mesti siuman untuk saling mencerahkan. Termasuk, tuduhan terkesankan kepada Gibran joki Jokowi pun tidak mestinya akan terjadi. Namun, dengan kejujuran apa adanya menjadi cerminan__ hampa dari silumanan berkuda troya ala bani zionisan warisan joki Fir’aunan.

 

Wallahu a’lam


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama