Muhammad Syamsi Ali atau Imam Shamsi Ali. (dok pribadi) |
------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 16 November 2023
Pembicaraan
Jujur dengan Tokoh Yahudi di AS
Oleh:
Shamsi Ali
(Imam di Islamic Center
of New York / Direktur Jamaica Muslim Center, New York, AS)
Rabu sore, 15 November
2023, saya bertemu dan berdiskusi dengan salah seorang tokoh Yahudi di Kota New
York. Sebenarnya pertemuan ini karena ajakan dia setelah menonton wawancara
saya di MSNBC tiga hari sebelumnya. Kita ketemu sambil ngopi di sebuah restoran
kosher di Manhattan.
Di pertemuan yang
santai tapi serius itu, kita banyak berbicara tentang konflik Palestina-Israel,
khususnya apa yang terjadi di Gaza saat ini. Selain itu, kami juga banyak
berbicara tentang dampak perang Israel-Palestina pada komunitas Muslim dan
Yahudi dengan meningginya Islamophobia dan Anti-semitism.
Sambil menikmati
secangkir kopi dan cheese cake (kosher tentunya), kami saling menimpali. Kadang
sepakat tapi tidak jarang juga terpaksa apa adanya dengan berterus-terang:
“sorry but I disagree with you” (maaf tapi saya tidak sependapat dengan Anda)
dalam banyak hal.
Dalam hal perang Gaza
saat ini, kami sepakat menentang pembunuhan rakyat sipil; anak-anak, wanita,
dan masyarakat sipil secara umum. Apa yang dilakukan oleh Israel saat ini tidak
dapat diterima oleh akal sehat dan “common sense” dan karenanya terkutuk.
Akan tetapi ketika
sampai kepada bagaimana harusnya menyikapi peperangan ini kita berbeda
pendapat. Saya tegas ingin agar sesegera mungkin menghentikan peperangan itu.
Namun dia berpendapat bahwa jika diadakan genjatan senjata saat ini, maka Hamas
kembali akan membangun kekuatan untuk menyerang Israel.
Karena menurutnya,
adalah kewajaran jika Israel terus melemahkan bahkan dalam istilah dia
“mengeliminer” Hamas seraya menjaga agar rakyat sipil tidak lagi menjadi
korban.
Saya hanya menimpali
bahwa pendapat itu sulit diterima. Karena kenyataannya, peperangan yang telah
berlangsung sekitar sebulan itu telah menelan 12.000 lebih rakyat sipil. Empat
ribu lebih adalah anak-anak dan bayi. Rumah-rumah penduduk, rumah sakit-rumah
sakit, sekolah-sekolah bahkan rumah-rumah ibadah juga dihancurkan. Lalu di mana
logika pemikiran itu?
Mendengar itu, dia
hanya terdiam sambil menatap saya agak dalam. Tokoh Yahudi (Rabbi) ini adalah
salah seorang dari 50 tokoh Yahudi yang paling berpengaruh di Amerika. Dia memang
mengaku bukan bukan Zionis. Tapi jujur jika dia adalah pendukung negara Israel
untuk eksis sebagai satu-satunya negara Yahudi (Jewish state).
Ketakutan
itu Nyata
Sebenarnya yang ingin
saya sampaikan kali ini adalah apa yang saya sebut sebagai “a friend to friend
talk”. Saya menyampaikan kepada teman itu bahwa apa yang dilakukan oleh Israel
saat ini, Anda sadari atau tidak, justru menjadi ancaman besar dan nyata (a clear threat) bagi Israel di masa
mendatang.
Saya menyebutnya
“Israel sedang membuat luka yang sangat dalam di hati dan benak (hearts and minds) generasi muda dunia
Islam, khususnya di Timur Tengah. Karenanya Israel telah membuka pintu bahaya
besar dan ancaman yang nyata bagi masyarakat Yahudi di tahun-tahun mendatang.
Saya sampaikan, umat
Yahudi di dunia saat ini hanya sekitar 15-16 juta, sedangkan umat Islam sedunia
minimal sekitar 1.8 milyar. Memang tak disangkal, saat ini Israel nampak sangat
kuat. Hal itu karena masih didukung oleh segelintir negara kuat, termasuk
Amerika. Selain itu juga karena beberapa pemerintahan Islam/Arab masih
baik-baik saja (punya hubungan diplomasi) dengan Israel.
Tapi saya ingatkan:
“nothing is certain but the change itself” (Tidak ada yang pasti kecuali
perubahan itu sendiri).
Karenanya saya ingatkan
bahwa Amerika tidak selamanya akan seperti saat ini (membela Israel). Ada
masanya pembelaan membuta (blind support) kepada Israel ini akan berubah.
Minimal akan ada masanya Amerika akan sadar tentang nilai-nilai keadilan untuk
semua (justice for all) sepert slogan yang kita banggakan.
Walaupun saya sadar
bahwa hal ini sangat sensitif untuk disampaikan, tapi saya tetap sampaikan.
Bahwa sebelum peristiwa Holocaust, masyarakat Yahudi pernah mendapat perlakuan
Istimewa di Eropa.Tapi semua itu berakhir pada masanya. Hal serupa tidak
mustahil, dan semua fenomena yang ada mengatakan bahwa hal sama akan terjadi di
Amerika.
Lalu saya ingatkan,
pemerintahan Arab/Islam yang masih bersahabat (punya hubungan diplomasi) dengan
Israel saat ini, juga cepat atau lambat akan mengalami perubahan. Ada masa-masa
ke depan generasi muda yang saat ini sedang terluka yang dalam akan mengambil
alih pemerintahan itu.
Saya kemudian ingatkan:
“as a friend, this is an honest talk. Aren’t you worried or afraid of your
future and the future of your generation?” (Sebagai teman, saya menyampaikan
secara jujur: tidakkah Anda khawatir atau takut dengan masa depan Anda dan masa
depan generasi Anda?).
Si Rabbi ini lama
terdiam, seolah memikirkan sesuatu. Seraya menatap saya dia menjawab: “thank
you”, tanpa menyambung dengan satu kata pun selain itu.
Waktu kami berdua tidak
lama. Tapi saya sempat mengingatkan dua hal. Satu, tentang kisah Umar yang
memberikan izin kepada masyarakat Yahudi kembali ke Yerusalem setelah diusir
oleh Kristen Romawi.
Dua, mengingatkan
kembali jika yang menyelamatkan banyak Yahudi dari kejaran Nazi di Eropa saat
itu adalah Komunitas Muslim Eropa. Saya menyebutkan Albania secara khusus. Satu-satunya
negara Eropa saat itu yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Mendengar itu sang
Rabbi itu nampak terheran, atau kemungkinan terkejut atau mungkin juga tidak
percaya.
Saya sesungguhnya tidak
peduli. Saya hanya ingin mengingatkan sejarah mereka yang pernah merasakan
pengalaman pahit, seperti apa yang dialami oleh warga Gaza saat ini.
Saya tidak lupa
mengakhiri pertemuan itu dengan ajakan untuk bersama-sama mendorong
pemerintahan Biden agar lebih serius lagi menekan Israel untuk menghentikan
serangan ke Gaza. Dia hanya diam. Seolah kebingungan untuk merespon ajakan saya
itu.
Saya kemudian menyalami
dia seraya meminta izin untuk pulang karena waktu untuk shalat magrib telah
tiba. Alaa fahal qad ballaghtu?
Manhattan, 15 November 2023