-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 03 November 2023
Catatan
dari Diskusi Buku “Setadah Puisi; Embusan LA RUHE Dari Tampangeng” (3):
Tidak
Semua Orang Mampu Menuliskan Puisinya dengan Bagus
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Kritikus sastra Mahrus
Andis menulis prolog pada buku puisi “Setadah Puisi; Hembusan LA RUHE dari
Tampangeng”, karya Andi Ruhban. Prolog tersebut ia beri judul “Menadah Momen
Puitik Andi Ruhban.”
Buku “Setadah Puisi;
Hembusan LA RUHE dari Tampangeng”, katanya, mengajak kita bersikap arif dalam
berliterasi.
“Penyair yang menyebut
dirinya La Ruhe ini seakan ingin menghibur diri, tentu kita juga sebagai
pembaca, melalui atraksi akrobatik berliterasi. Atau sebutlah bahwa puisi-puisi
di buku ini menjadi totalitas ekspresi yang intens mengusung ideologi La Ruhe
melalui ‘kebesaran’ dunia kata-kata,” kata Mahrus.
Meskipun demikian,
bukan berarti buku tersebut hanya menampung catatan kata-kata biasa. Namun
sesungguhnya, ini merupakan serentetan memori perjalanan hidup Andi Ruhban
sebagai penyair selama kurun waktu sekian tahun untuk menemukan diri melalui
bahasa puisinya.
“Penyair nasional asal Sulsel (1970), Husni Djamaluddin, mengatakan, semua orang bisa berpuisi. Namun, tidak semua orang mampu menuliskan puisinya dengan bagus. Pernyataan ini bersifat momental, sesuai suasana batin di saat puisi itu lahir. Artinya, adakalanya hari ini kita berhasil menulis puisi dengan bagus. Tapi di lain saat, puisi kita tidak sanggup mencapai level seperti itu,” ungkap Mahrus.
Sebagai sampel, Mahrus
mengutip salah satu puisi Andi Ruhban yang berjudul “Cintaku” seperti berikut.
CINTAKU
Luasnya seperti jala
Tingginya seperti
menara
Cintaku kini merajalela
Asmaraku kini sedang
membara
Tawa meledak dengan
geli
Tangis menderu menjerit
Perut bumi terus kugali
Walau sampai akhir
hayat
Karena dorongan naluri
Kubujuk, kurayu hati si
dia
Sebab kemauan nurani
Hingga kucapai hidup
bahagia
(Tampangeng, 2 Mei
1981)
Puisi “Cintaku” ini,
kata Mahrus, cukup mewakili keseluruhan puisi di buku ini. Boleh disebut jenis
puisi ini diafan. Padanya melekat sifat lugas, yaitu memanfaatkan konvensi
bahasa semiotika di level pertama (first order semiotics).
Andi Ruhban tampak berupaya
membangun efek puitis melalui rima dan majas perbandingan, namun moral pada
bait puisinya tetap transparan. Ideologi yang diusung puisi tersebut sangat
mudah terkomunikasi ke wilayah pemahaman pembaca.
Dengan kata lain, tanpa
butuh perenungan, kesan cinta platonis Si Aku Lirik kepada seorang (tentu lawan
jenis) sangat terbaca lewat pilihan-pilihan kata yang polos.
“Lantas, apakah puisi
ini gagal? Tentu tidak. Menurut saya, sesuai teori neuropsikologinya Roger W
Sperry, Filsuf penerima Hadiah Nobel 1960, tentang fungsi otak kiri dan otak
kanan, puisi ini termasuk kategori ‘baik’. Ia lahir dari proses pemikiran otak
kiri. Karenanya, ia sistematis dengan
penggunaan sintaksis yang bersifat baku, realistis dan cenderung verbal. Teknik
penggarapan fisik puisi semacam ini biasa pula disebut produk bahasa digital,”
papar Mahrus.
Secara semiotika, puisi
“Cintaku” membuka peluang ‘sentuhan lebih’ dari penyairnya. Sentuhan kreatif
berupa intensitas kontemplasi batin penyair untuk menjadikan puisinya ‘bagus’,
sebagai bentuk produk otak kanan.
Agar sampai ke level
tersebut, tentu dibutuhkan suplemen pelengkap, yakni cara ungkap yang lebih
imajinatif, estetis, kreatif dan kaya dengan penggunaan bahasa figuratif
(figurative language). Jenis puisi yang tergolong ‘bagus’ atau memuisi (istilah
Sapardi Djoko Damono 1970-an), memiliki keutuhan organis antara struktur fisik
dengan batin puisi.
Jenis puisi semacam
ini, oleh Kritikus Sastra Narudin (2019), memanfaatkan teknik penggarapan
melalui semiotika pada bahasa di level kedua (Second Order Semiotics).
Salah satu puisi La
Ruhe yang, menurut Mahrus, patut pula direnungi pembaca adalah sebagai berikut.
MAKNA
PUSTAKA DAN TOILET
Pustaka adalah
jantungnya sekolahan
Begitu pendapat warga
terdidik
Toilet adalah
jantungnya pemukiman
Demikian visi orang
cinta kesehatan
Pustaka mengoleksi
karya ilmiah
Sebagai medan olahan
rohaniah
Toilet menampung produk
alamiah
Sebagai lahan cucian
jasmaniah
Pelajar tanpa pustaka
Melahirkan kepicikan
Manusia tanpa toilet
Mengundang kesakitan
Pustaka adalah jendela
lingkungan
Begitu persepsi orang
pendidikan
Toilet adalah jendela
kebersihan
Demikian konklusi orang
kesehatan
Pustaka mengoleksi
hasil pemikiran
Dan bukan hanya tempat
membaca koran
Toilet menampung wujud
kotoran
Dan bukan hanya wadah
mengaca badan
Pustaka memerlukan
pengunjung
Dengan penekanan pada
jiwanya
Toilet dibutuhkan semua
orang
Dengan penekanan pada
raganya
Dengan memanfaatkan
pustaka
Kita lestarikan sains,
teknologi, dan seni
Dengan menggunakan
toilet
Kita hindarkan
kekumuhan dan polusi
Makassar, 05 Juni 1993
“Seperti sebelumnya,
puisi ini pun menjadi sebuah catatan yang menarik direnungi isinya. Pointer
perenungannya terletak pada ungkapan dialektika tentang fungsi perpustakaan dan
toilet. Entah pikiran apa, maka penyair mendikotomikan makna keduanya untuk
disodorkan sebagai wacana dalam puisi,” ujar Mahrus.
Dari dimensi
linguistik, mungkin kedua teks ini tidak bermakna apa-apa selain arti
fungsionalnya. Namun, secara semantis-pragmatis, makna pustaka dan toilet
memiliki hubungan koherensif dengan dunia ilmu dan sanitasi.
Pustaka sebagai wahana
literasi teknologi sangat berkait dengan relasi kesehatan lingkungan. Karena
itu, fungsi pustaka dan toilet menjadi penting bagi dunia kehidupan umat
manusia.
“Puisi-puisi yang terhimpun di dalam buku La Ruhe ini menawarkan pesan keruhanian kepada pembaca. Paling tidak, buku ini menjadi persentuhan awal bagi pembaca untuk mencoba menadah momen-momen puitik yang terhembus dari alam kesadaran imaji La Ruhe,” kata Mahrus. (bersambung)
-----
Artikel sebelumnya: